Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Rama, ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Sherly menatap Rama secara dalam setelah kepergian Lily dan Brian. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan lelaki itu. Sementara Ines sudah kembali bekerja.
"Ada apa?" Rama menjawab ketus. Pikirannya sedang kacau. Keinginannya untuk menyusul Lily sangat besar, tetapi ia sadar bahwa Brian memiliki kekuasaan yang lebih besar.
"Kamu sangat mencintai gadis itu?" tanya Sherly lirih.
"Bukankah kamu sudah tahu jawabannya." Rama masih saja bersikap ketus.
"Apa aku tidak memiliki kesempatan untuk kembali denganmu? Aku masih menaruh perasaan yang sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah." Pada akhirnya, Sherly berusaha memberanikan diri untuk mengatakan semua itu. Walaupun terkesan murahan, tetapi Sherly tidak ingin ia pergi dengan sesuatu hal yang mengganjal di hati.
"Sudahlah. Jangan membahas seperti ini. Kita hanyalah sebatas masa lalu. Aku dan kamu telah selesai. Perasaanku bukan lagi untukmu," ujar Rama tanpa peduli apakah ucapannya tersebut menyakiti Sherly atau tidak.
"Aku tahu itu. Kalau begitu, mungkin ini adalah terakhir kali kita bertemu. Setelah ini aku akan pergi dan mungkin tidak akan kembali."
Ucapan Sherly berhasil mengalihkan perhatian Rama. Lelaki itu menatap Sherly dengan sangat tajam. Walaupun mengatakan telah usai, tetapi Rama masih menyimpan sisa perasaan. Ia hanya kecewa terhadap Sherly karena dulu sudah pergi meninggalkan dirinya di saat ia sedang sangat mencintai wanita itu.
"Tapi sebelum aku pergi, mungkin ada hal yang ingin aku katakan padamu. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dulu. Aku pergi bukan tanpa alasan. Bukankah kita berteman baik dulu. Aku pergi darimu karena sesuatu hal." Wajah Sherly mendadak sedih. Hal itu membuat Rama menjadi penasaran.
"Apa kamu yakin? Aku mencarimu, orang suruhanku bilang kalau kamu dengan seorang pria. Mereka bahkan mengirimkan foto kalian padaku." Rama masih ingat. Tentang masa lalu mereka yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
"Dia orang suruhan papaku." Sherly menyahut cepat. "Papa ingin aku jauh darimu untuk beberapa waktu agar aku bisa fokus mengejar cita-citaku. Bahkan, papa mengancam tidak akan memberikan izin untuk bertemu denganmu lagi. Itulah kenapa aku lebih memilih untuk menurut."
"Kamu tidak mengatakan semua itu padaku. Lalu kamu anggap aku sebagai apa waktu itu?" Masih tersirat jelas kekecewaan dari nada bicara Rama.
"Aku tidak bisa. Papa memintaku untuk tidak mengatakan semuanya padamu. Sekarang, papa sudah mengizinkan aku untuk kembali. Itulah kenapa aku sengaja masuk dalam komunitas untuk dekat denganmu lagi. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Tapi asal kamu tahu, perasaanku masih sama seperti dulu."
"Tapi tidak denganku." Rama menimpali. Membuat Sherly tertunduk dalam. "Kamu pergi tanpa penjelasan. Padahal hubungan kita bukan hanya satu atau dua tahun saja. Kamu tidak pernah tahu betapa aku memikirkanmu."
"Akupun sama. Aku ingin menghubungimu, tetapi papa benar-benar menutupi semua aksesnya. Aku sudah membuatmu kecewa dan mungkin ini adalah balasan yang harus aku terima." Sherly berusaha mendongak untuk menatap Rama.
Tatapan gadis itu begitu sayu. Rama pun menatapnya. Ada rasa tidak tega saat tatapan mereka saling beradu. Namun, kekecewaan yang ia rasakan hampir menghapus semua perasaannya.
"Sepertinya aku terlalu lama kembali untuk menjelaskan semuanya. Aku tahu perasaanmu bukan lagi untukku. Hubungan kita hanyalah sebatas masa lalu. Tapi perasaanku padamu tidak akan pernah berubah. Rama ... aku selalu berdoa semoga kamu bahagia dan bisa mengejar cinta barumu. Bolehkah aku memelukmu sebelum pergi?" Sherly begitu meminta. Keputusannya untuk kembali pada sang papa telah bulat. Ia tidak memiliki harapan untuk tetap berada di sana. Hati Rama bukan lagi untuknya.
"Peluklah jika itu maumu. Tapi aku tidak akan pernah membalas pelukanmu lagi," kata Rama. Sherly mengangguk lemah. Ia memeluk Rama sangat erat. Meluapkan segala rindu dan perasaan di sana. Tanpa terasa air mata membasahi dada bidang Rama.
Inilah akhirnya, Rama benar-benar tidak membalas pelukan itu. Lelaki itu hanya diam. Tanpa sedikit pun menenangkan. Betapa sakit hati Sherly. Tersadar bahwa ia memang sekarang hanya mencintai sendirian. Cukup lama Sherly memeluk pria itu, sebelum akhirnya melepaskan. Menghapus air mata sebelum akhirnya berpamitan pergi dari sana.
Selepas kepergian Sherly, Rama terduduk lemas di kursi. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Ada perasaan suka dan sayang kepada Lily, tetapi tidak dipungkiri bahwa perasaan untuk Sherly masih tetap ada. Walaupun sudah tidak sedalam dulu. Apalagi ketika mendengar penjelasan Sherly tadi. Seketika hati Rama meragu untuk menghapus nama wanita itu dari hatinya.
"Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan setelah ini." Rama mengusap wajah. Seperti orang yang sedang frustrasi. Ia benar-benar bimbang.
***
"Om, mau bawa gue ke mana, astaga!" Lily mendengkus sangat kesal karena Brian sama sekali tidak menjawab. "Percuma Tuhan ngasih Om mulut kalau ada orang nanya enggak jawab."
"Hotel Amazone." Brian menjawab singkat sambil berusaha fokus pada setir kemudi. Telinganya cukup sakit mendengar pertanyaan Lily yang tidak ada habisnya sejak mereka masuk mobil.
"Om beneran mau anu-anuin gue? Om ..." Lily takut. Ia mengaduh ketika Brian sudah menyentil kepalanya. "Sakit loh, Om."
"Itu supaya otak kamu sadar. Berhentilah berpikiran kotor."
"Habisnya Om bawa gue ke hotel. Bukankah hotel itu tempat buat icik-icik ehem?"
"Astaga, bisakah kamu menggunakan bahasa yang baik dan benar?" Brian kesal sendiri. "Turun sekarang."
Lily terdiam menatap hotel mewah di depannya. Brian tidak berbohong. Mereka saat ini benar-benar berada di depan hotel mewah itu. Belum juga membuka mulut, Brian sudah menarik tangan Lily masuk ke sana. Menuju ke lantai paling atas di mana Brian sudah memesannya.
Ketika masuk kamar, tubuh Lily panas dingin. Bayangan ia beradu desah*n dengan Brian seketika membuat tubuhnya bergidik ngeri. Ia hendak kabur, tapi Brian sudah mencekal tangannya. Tetap mengajak masuk tanpa banyak bicara.
"Om." Lily duduk di ranjang. Menutup barang berharganya karena takut disentuh Brian. Melihat hal itu justru membuat Brian tersenyum mengejek.
"Aku tidak berna*su dengan gadis kurus sepertimu."
"Om yakin? Syukurlah." Lily mengembuskan napas lega. Namun, ia dibuat terkejut saat wajah Brian sudah sangat dekat dirinya.
"Tapi, semua tidak berlaku kalau kamu masih mau macam-macam. Awas saja kalau kamu masih menggoda pria lain," kata Brian setengah berbisik.
"Siapa yang menggoda siapa, Om?" Lily tampak ketus. Ia kesal dengan tuduhan Brian.
"Aku hanya heran saja. Kenapa Arvel dan Rama mereka semua suka pada gadis menyebalkan sepertimu. Memang tidak ada gadis lain?" Brian sedikit mengejek Lily.
"Om, jangan lupa. Bukan hanya Arvel dan Pak Rama saja. Om harus jujur, Om juga suka sama gue 'kan?" Pertanyaan Lily membuat Brian seketika memalingkan wajah. Brian gugup sendiri.