NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Mereka berlima keluar dari ruangan hampir bersamaan. Langkah kaki terdengar cepat namun teratur, menyusuri lorong kantor Alastair Group yang terasa begitu formal bagi Leora.

Ini pertama kalinya ia menuju ruang rapat utama.

Ruang rapat lantai lima…

Sementara sekarang mereka masih berada di lantai dua.

Selin berjalan di depan bersama Dimas dan Riani, saling berbisik kecil. Di belakang mereka, Leora melangkah sedikit kaku dan menyadari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

Arga berjalan terlalu dekat.

Jarak mereka nyaris sejajar, bahunya hampir bersentuhan. Leora refleks memperlambat langkah, mencoba menciptakan jarak. Namun Arga ikut memperlambat.

Leora menghela napas pelan.

Saat itulah HP Leora bergetar di tangannya.

Nama di layar membuat langkahnya terhenti sesaat.

AYAH

Arga menoleh.

“Siapa, Ra?”

Leora cepat-cepat mematikan getaran sementara.

“Oh—ini ada yang nelepon.”

Ia menatap ke arah Selin, Dimas, dan Riani yang sudah agak jauh di depan.

“Kalian duluan aja nggak apa-apa. Daripada nanti telat, kan?”

Selin menoleh sambil berjalan mundur sedikit.

“Beneran, Ra?”

“Iya,” jawab Leora cepat. “Nanti aku nyusul.”

Dimas mengangguk.

“Oke, kita tunggu di depan ruang rapat.”

Riani hanya tersenyum kecil sebelum mereka bertiga melanjutkan langkah, meninggalkan lorong yang kini terasa lebih sepi.

Leora baru saja ingin mengangkat telepon, ketika Arga melirik jam di pergelangan tangannya.

“Masih ada waktu,” katanya santai.

“Nggak apa-apa, aku tunggu.”

Leora menoleh cepat.

“Ng—nggak perlu, Ga. Kamu duluan aja.”

Arga mengangkat alis.

“Kenapa? Takut telat?”

“Bukan gitu,” Leora mendesah. “Ini cuma sebentar.”

“Sebentar juga nggak masalah.”

Nada Arga tenang, tapi jelas tidak berniat pergi.

Leora mengeratkan genggaman ponselnya.

“Kamu tuh keras kepala, ya.”

Arga tersenyum tipis.

“Kamu juga.”

Beberapa detik hening. Leora tahu ia kalah.

Akhirnya ia menyerah.

“Ya sudah,” katanya pelan. “Tapi aku agak menjauh dikit."

Ia melangkah beberapa meter, membelakangi Arga, lalu mengangkat telepon itu.

“Ya, Ayah?”

Suara Damian terdengar lebih tenang, namun tetap sarat perhatian.

“Suaramu terdengar baik… tapi Ayah ingin dengar langsung. Bagaimana keadaanmu sebenarnya, Leora?”

Leora terdiam sesaat.

“Aku baik, Yah. Aku bisa menyesuaikan diri.”

“Bukan hanya soal pekerjaan,” potong Damian lembut.

“Bagaimana kehidupanmu di sana? Di rumah… dengan suamimu.”

Jari Leora mengerat di sisi ponsel.

“Leonard—”

Ia berhenti, lalu menghela napas pelan.

“Dia tidak kasar, Yah. Dia menjaga batas. Sikapnya… dingin, tapi sopan.”

Damian menghela napas dari seberang.

“Ayah tahu itu pernikahan yang tidak mudah untuk kalian berdua.”

Leora tersenyum pahit.

“Tapi aku tidak diperlakukan buruk. Ibu Minjae baik padaku. Ayah Lee juga memperlakukanku dengan hormat.”

“Leonard?” tanya Damian lagi, kali ini lebih serius.

“Apakah dia sudah mulai berubah sikap padamu?”

Leora menatap pantulan dirinya di kaca jendela.

“Aku tidak tahu apakah itu bisa disebut berubah,” jawabnya jujur.

“Tapi… dia tidak setajam dulu. Tidak selalu dingin.”

Damian terdiam beberapa detik.

“Dia masih menjaga jarak?”

“Iya,” jawab Leora pelan. “Dia seperti… menjalani ini sebagai kewajiban. Tapi setidaknya dia tidak menolak keberadaanku.”

“Leora,” suara Damian mengeras sedikit, penuh wibawa seorang ayah.

“Jika kau merasa tertekan, atau disakiti—katakan pada Ayah.”

“Aku tahu, Yah.”

“Ayah tidak menitipkanmu untuk menderita.”

Leora menelan ludah.

“Aku tidak menderita. Aku hanya… belajar bertahan.”

Damian menarik napas panjang.

“Kau selalu seperti itu sejak kecil. Terlalu kuat untuk ukuran putriku.”

Leora tersenyum kecil.

“Itu karena Ayah.”

Damian terkekeh pelan.

“Kapan kau akan datang ke kantor Ayah?”

“Besok,” jawab Leora mantap.

“Aku ingin bicara langsung.”

“Baik,” sahut Damian. “Ayah akan menunggumu. Dan Leora—”

“Ya, Yah?”

“Jangan paksa dirimu mencintai. Tapi jangan tutup hatimu juga.”

Leora terdiam, lalu menjawab lirih,

“Iya, Yah."

Sementara itu, ruang rapat lantai lima telah dipenuhi orang-orang penting.

Meja bundar besar dari kayu gelap menjadi pusat ruangan. Di sana duduk para dewan direksi, beberapa kepala divisi, Bu Sherly, dan Adriel, sekretaris pribadi Leonard yang berdiri tenang di sisi kanan kursi utama.

Di kursi paling sentral, dengan punggung tegak dan ekspresi dingin, duduk Leonard Alastair Presiden Direktur Alastair Group.

Namun, dua kursi masih kosong.

Leonard melirik jam di pergelangan tangannya, lalu mengetukkan jarinya ke permukaan meja.

Sekali.

Dua kali.

Pelan, namun cukup untuk membuat udara di ruangan terasa menekan.

Bu Sherly menyadarinya.

Ia menoleh tajam ke arah Selin, tatapannya jelas memberi isyarat: panggil sekarang.

Selin menelan ludah, lalu beranjak berdiri dari kursinya.

“Permisi, Bu—”

Belum sempat ia melangkah keluar

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan pintu menggema.

Semua mata langsung tertuju ke arah pintu.

Pintu terbuka.

Di ambangnya berdiri Leora, dengan wajah sedikit pucat namun tetap berusaha tenang. Tepat di belakangnya Arga.

Pemandangan itu tidak luput dari pandangan Leonard.

Jarinya berhenti mengetuk.

Tatapan Leonard mengeras, lurus mengarah ke dua sosok yang baru masuk.

Sementara itu, di dalam hati Leora

“Mampussss…

dih, dih… najis banget lo sok setia.

Padahal sama istri sendiri juga”

“Cukup.”

Suara Bu Sherly memotong pikiran Leora.

Ia berdiri, menatap Leora dengan sorot mata tajam.

“Saudari Leora,” katanya dingin.

“Rapat ini dijadwalkan mulai sepuluh menit yang lalu. Di Alastair Group, waktu adalah bentuk penghormatan.”

Leora langsung menunduk sedikit.

“Maaf, Bu. Saya..”

“Bukan hanya Anda,” potong Bu Sherly, lalu menoleh ke Arga.

“Saudara Arga juga sama. Apa pun alasannya, keterlambatan seperti ini tidak bisa ditoleransi.”

Arga mengangguk.

“Saya minta maaf, Bu. Ini kesalahan saya juga.”

Leora tetap diam, menjawab seperlunya.

“Maaf, Bu. Tidak akan terulang.”

Ia tahu betul posisinya.

Di ruangan ini, ia hanya satu tingkat di atas karyawan biasa, sementara yang duduk mengelilinginya adalah orang-orang dengan kekuasaan nyata.

Hening sejenak.

Lalu

“Cukup.”

Suara itu rendah, tenang, namun tidak bisa dibantah.

Leonard akhirnya angkat bicara.

“Silakan masuk,” katanya singkat.

“Kita mulai rapatnya sekarang.”

Bu Sherly kembali duduk, meski ekspresinya masih keras.

Leora dan Arga melangkah masuk.

Leora berjalan pelan menuju kursi kosong di sisi meja. Saat melangkah, tanpa sadar matanya terangkat

dan bertemu dengan tatapan Leonard yang duduk di kursi utama.

Dingin. Tegas. Tak terbaca.

Leora segera menunduk, duduk dengan gerakan hati-hati, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Ini ruang rapat Alastair Group…

Dan aku terlambat di hadapan suamiku sendiri.

Suasana ruang rapat kembali hening setelah semua orang duduk di tempat masing-masing.

Leonard menyandarkan punggungnya sebentar, lalu kembali mengetukkan ujung jarinya ke meja—kali ini hanya sekali. Cukup untuk membuat seluruh perhatian tertuju padanya.

“Baik,” ucapnya datar.

“Kita mulai.”

Ia melirik jam tangannya sekilas, lalu mengangkat pandangan ke seisi ruangan.

“Saya menghargai waktu,” lanjut Leonard.

“Karena waktu yang terbuang adalah kerugian. Dan saya tidak menyukai kerugian dalam bentuk apa pun.”

Nada suaranya tenang, namun tegas.

Beberapa dewan terlihat mengangguk kecil.

“Rapat hari ini akan membahas kelanjutan kerja sama strategis dengan Yhop Group. Saya ingin diskusi yang fokus, relevan, dan langsung ke inti.”

Adriel berdiri sedikit ke depan.

“Baik, Tuan Leonard. Yhop Group mengajukan perluasan kerja sama di sektor distribusi dan logistik Asia Tenggara, dengan skema pembagian keuntungan lima puluh banding lima puluh.”

Seorang direktur keuangan angkat bicara.

“Dari sisi angka, penawaran mereka cukup agresif. Namun margin risiko masih tinggi, terutama pada jalur ekspansi tahun pertama.”

Kepala divisi operasional menyahut.

“Yhop punya jaringan kuat di Singapura dan Vietnam, tapi sistem internal mereka belum sepenuhnya stabil.”

Leonard menyilangkan kakinya, menautkan jemarinya di atas paha.

“Risiko selalu ada,” katanya.

“Pertanyaannya—apakah sebanding.”

Bu Sherly membuka map di depannya.

“Tim analisis internal menilai kerja sama ini menguntungkan jangka panjang, tapi perlu pengamanan klausul operasional. Terutama soal kendali manajemen dan transparansi laporan.”

Diskusi terus berlanjut.

Suara demi suara memenuhi ruangan—data, grafik, pro dan kontra.

Sementara itu, Leora hanya diam.

Ia duduk tegak, mencatat pelan, matanya berpindah dari satu pembicara ke pembicara lain. Tidak memotong, tidak menyela. Hanya mendengar.

Leonard sempat melirik ke arahnya sekilas.

Tenang sekali, pikirnya.

Setelah hampir satu jam, Bu Sherly menutup mapnya, lalu menoleh ke arah Leora.

“Saudari Leora,” katanya dengan nada datar yang nyaris menusuk.

“Apakah dari Anda ada masukan?”

Beberapa pasang mata langsung tertuju padanya.

Leora terdiam sesaat. Ia menarik napas, lalu mengangguk kecil.

“Jika diperbolehkan, Bu.”

“Silakan,” sahut Bu Sherly singkat.

Leora berdiri perlahan.

“Saya setuju bahwa kerja sama ini potensial,” ucapnya tenang.

“Namun pembagian lima puluh banding lima puluh terlalu berisiko jika tidak diimbangi dengan kontrol operasional.”

Seorang direktur mencondongkan tubuhnya.

“Maksud Anda?”

“Kita bisa mengusulkan skema bertahap,” lanjut Leora.

“Tahun pertama, Alastair Group memegang kendali audit dan logistik. Jika target tercapai, barulah pembagian diperluas.”

Ruangan mulai hening.

“Kita juga bisa memasukkan klausul evaluasi tiap kuartal,” tambahnya.

“Jika Yhop gagal memenuhi standar, kerja sama bisa dihentikan tanpa penalti besar.”

Beberapa kepala mulai mengangguk.

“Itu… masuk akal,” gumam salah satu dewan.

Leora menatap Bu Sherly.

“Dengan begitu, risiko tetap terkendali tanpa menutup peluang ekspansi.”

Hening sejenak.

Lalu—

tepuk tangan terdengar, pelan namun menyebar.

Satu orang.

Lalu dua.

Lalu hampir seluruh ruangan.

Ekspresi Bu Sherly tetap judes. Bibirnya mengatup rapat, matanya menilai tajam—namun ia tidak menyangkal apa pun.

Leonard masih duduk dengan kaki tersilang, menatap Leora tanpa berkedip.

Ada sesuatu di sorot matanya.

Bukan dingin.

Bukan marah.

Kagum.

Dalam hati Leonard terlintas satu pikiran yang tak bisa ia tepis.

“Aku jadi yakin…”

“Inilah alasan damian menjadikan Leora sebagai tangan kanan Damian Group.”

" Tapi dia sangat bodoh dalam waktu, ini bahkan tidak masuk daftar orang yang aku sukai"

dalam benak Leonard.

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!