Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Meninggalkan Desa
Kereta melaju membelah pagi, meninggalkan asap putih yang menari di udara. Roda-roda besi berderit mengikuti irama rel, menciptakan melodi yang asing di telinga Arjuna. Ia melirik jam dinding yang tergantung di ujung gerbong - baru pukul tujuh pagi.
Aroma tempe goreng menguar ketika Arjuna membuka bungkusan dari Yu Minah. Perutnya langsung berbunyi, mengingatkan bahwa ia belum sarapan. Ada enam potong tempe goreng yang masih hangat, tiga butir telur dadar, dan selembar daun pisang berisi nasi.
"Makanlah, Nak," tiba-tiba bapak di sebelahnya yang tadi tertidur membuka mata. "Masih jauh sampai Jakarta."
Arjuna tersenyum canggung. "Bapak mau berbagi?"
"Ah, tidak usah. Bapak sudah sarapan tadi." Bapak itu tersenyum ramah. "Pertama kali ke Jakarta?"
Arjuna mengangguk sambil mengunyah tempe gorengnya perlahan. Rasanya persis seperti buatan neneknya - renyah di luar, lembut di dalam.
"Mau kerja atau sekolah?"
"Dua-duanya, Pak," jawab Arjuna. "Kalau bisa dapat beasiswa kuliah, sambil kerja part time."
"Hmm..." bapak itu mengangguk-angguk. "Namamu siapa, Nak?"
"Arjuna, Pak. Arjuna Wicaksono."
"Wicaksono?" alis bapak itu terangkat. "Seperti pernah dengar... Ah, mungkin cuma perasaan Bapak saja. Omong-omong, saya Pak Hadi."
Pemandangan di luar jendela terus berganti. Sawah-sawah hijau membentang hingga kaki gunung, sesekali terputus oleh desa-desa kecil dan stasiun-stasiun tua. Arjuna mengunyah makanannya pelan-pelan, berusaha menghemat bekal yang masih panjang perjalanannya.
"Sudah ada tempat tinggal di Jakarta?" tanya Pak Hadi lagi.
"Sementara numpang di rumah sepupu teman, Pak. Di Bekasi."
"Bekasi?" Pak Hadi tersenyum. "Kebetulan Bapak juga tinggal di Bekasi. Kalau butuh bantuan, ini..." ia mengeluarkan kartu nama lusuh dari dompetnya, "simpan saja. Siapa tahu nanti perlu."
Arjuna menerima kartu nama itu dengan kedua tangan. "Terima kasih banyak, Pak."
Kereta terus melaju, kini memasuki area persawahan yang lebih luas. Beberapa penumpang mulai tertidur, ada yang mendengarkan musik dari radio kecil, dan beberapa ibu mengipasi anak-anaknya yang kepanasan.
Cincin di jari Arjuna terasa hangat. Ia memandanginya sejenak, teringat pesan kakeknya dalam mimpi. Batu birunya berkilau samar terkena cahaya matahari yang menerobos jendela.
"Cincin yang bagus," komentar Pak Hadi tiba-tiba. "Peninggalan keluarga?"
"Iya, Pak. Dari kakek."
"Jaga baik-baik," Pak Hadi tersenyum misterius. "Benda pusaka biasanya punya ceritanya sendiri."
Arjuna tertegun. Ada sesuatu dalam nada bicara Pak Hadi yang membuatnya penasaran. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, pedagang asongan lewat dengan teriak lantang:
"Air mineral! Kopi! Roti! Air mineral dingin!"
"Stasiun Gambir... Stasiun Gambir... Perhatian, kereta api ekonomi dari Semarang telah tiba di Stasiun Gambir!"
Arjuna tersentak dari tidurnya. Pak Hadi menepuk bahunya pelan, "Sudah sampai, Nak. Selamat datang di Jakarta."
Dengan langkah sedikit terhuyung, Arjuna turun dari kereta. Kakinya terasa kaku setelah duduk berjam-jam. Mengikuti arus penumpang, ia berjalan menyusuri peron yang jauh lebih besar dan ramai dari stasiun di Temanggung.
"Hati-hati ya, Nak," Pak Hadi menepuk pundaknya sebelum berpisah. "Jangan lupa simpan nomor Bapak. Dan ingat, di Jakarta ini, jangan terlalu cepat percaya sama orang."
"Terima kasih banyak, Pak Hadi," Arjuna membungkuk dalam-dalam.
Ketika melangkah keluar stasiun, Arjuna terpaku. Mulutnya setengah menganga, lehernya mendongak tinggi. Di hadapannya, gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh menembus awan. Kaca-kaca berkilau memantulkan cahaya matahari, membuat matanya silau. Deru kendaraan dan hiruk pikuk manusia memenuhi udara - suara-suara yang tak pernah ia dengar di desanya.
"Ya Allah..." bisiknya takjub.
Mobil-mobil mewah berlalu lalang di jalanan, berhimpitan dengan bus dan motor yang seolah tak ada habisnya. Papan iklan raksasa menghiasi gedung-gedung, menampilkan gambar-gambar yang berkedip penuh warna. Trotoar dipenuhi orang-orang berpakaian rapi yang berjalan cepat, tas kerja di tangan, ponsel di telinga.
Arjuna menelan ludah. Tiba-tiba ia merasa sangat kecil. Di saku celananya, kartu nama Pak Hadi dan alamat kos di Bekasi terasa berat. Cincin di jarinya berdenyut hangat, seolah memberinya keberanian.
"Permisi, Mas," ia memberanikan diri bertanya pada satpam stasiun. "Kalau mau ke Bekasi, naik apa ya?"
"Ke Bekasi? Bisa naik KRL dari Stasiun Jakarta Kota, atau bus TransJakarta. Mau yang mana?"
"Yang... paling murah, Pak."
"KRL aja kalau gitu. Naik angkot 45 ke Jakarta Kota, dari sana naik KRL jurusan Bekasi."
Arjuna mengangguk, mencatat dalam hati. Ransel di pundaknya terasa semakin berat. Tapi tekadnya sudah bulat. Inilah Jakarta, kota yang akan menjadi saksi perjuangannya.
"Bismillah," gumamnya pelan, melangkah ke arah deretan angkot oranye yang berjajar di depan stasiun. Di belakangnya, gedung-gedung tinggi seolah mengamati, menunggu apa yang akan dilakukan anak desa ini di rimba beton Jakarta.
"Kopi dulu kali ya..." gumam Arjuna, mengusap keringat di dahinya. Terik Jakarta ternyata jauh lebih menyengat dari di desanya.
"COPEEEET! TOLONG! COPEEEET!"
Teriakan itu memecah hiruk pikuk jalanan. Arjuna menoleh, melihat seorang wanita muda berpakaian kantoran berlari terengah-engah sambil menunjuk ke arah depan. Sekitar lima puluh meter di sana, seorang pria berbaju hitam melesat gesit di antara kerumunan orang.
Tanpa pikir panjang, Arjuna melempar ranselnya ke tepian trotoar. Kakinya bergerak sendiri, memacu tubuhnya mengejar si copet. Anehnya, ia merasa sangat ringan, seolah ada energi asing yang mengalir dari cincin di jarinya.
"Minggir! Permisi!"
Arjuna berlari semakin cepat. Kerumunan orang seolah membuka jalan untuknya. Jarak dengan si copet yang tadinya jauh kini semakin dekat. Ia sendiri tak mengerti bagaimana bisa secepat ini - selama di desa, ia bahkan bukan pelari yang handal.
"AWAS!"
Sebuah mobil melaju kencang menghadang. Tanpa sempat berpikir, tubuh Arjuna bergerak refleks. Ia melompat, tinggi melayang di atas kap mobil, membuat pengemudinya terperangah. Mendarat mulus di sisi lain, Arjuna bahkan tak sempat terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Ya Allah..." bisiknya sambil terus berlari. "Bagaimana bisa..."
Si copet menoleh ke belakang, matanya membelalak kaget melihat Arjuna yang semakin dekat. Ia berbelok tajam ke gang sempit, menabrak gerobak pedagang hingga terjungkal.
"Berhenti!" teriak Arjuna, kini hanya beberapa meter di belakang copet itu.
Cincin di jarinya berdenyut semakin hangat. Tangannya terulur, dan dalam satu gerakan yang bahkan tak ia sadari, ia melompat dan menangkap kaki si copet. Keduanya berguling di aspal.
"Lepas! Lepasin gue!" copet itu memberontak.
Tapi entah dari mana, Arjuna memiliki kekuatan untuk mengunci gerakan pria yang jauh lebih besar darinya itu. Tas hitam yang dicuri terlepas dari tangan si copet.
"Itu dia! Itu copetnya!"
Wanita korban copet akhirnya tiba, diikuti beberapa orang termasuk satpam dan polisi yang berpatroli. Arjuna bangkit, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana ia bisa berlari secepat itu? Melompati mobil? Dan mengalahkan pria yang lebih besar?
"Makasih ya mas! Makasih banget!" wanita itu mengambil tasnya, matanya berkaca-kaca. "Mas hebat banget bisa ngejar dia! Kayak superhero aja tadi loncatin mobil!"
Arjuna hanya tersenyum canggung, tak tahu harus menjawab apa. Cincin di jarinya kini terasa dingin seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.
biar nulisny makin lancar...💪