NovelToon NovelToon
Cincin Peninggalan Kakek

Cincin Peninggalan Kakek

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Kebangkitan pecundang / Menjadi Pengusaha / Anak Lelaki/Pria Miskin / Balas Dendam / Mengubah Takdir
Popularitas:26k
Nilai: 5
Nama Author: RivaniRian21

Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 Meninggalkan Desa

Kereta melaju membelah pagi, meninggalkan asap putih yang menari di udara. Roda-roda besi berderit mengikuti irama rel, menciptakan melodi yang asing di telinga Arjuna. Ia melirik jam dinding yang tergantung di ujung gerbong - baru pukul tujuh pagi.

Aroma tempe goreng menguar ketika Arjuna membuka bungkusan dari Yu Minah. Perutnya langsung berbunyi, mengingatkan bahwa ia belum sarapan. Ada enam potong tempe goreng yang masih hangat, tiga butir telur dadar, dan selembar daun pisang berisi nasi.

"Makanlah, Nak," tiba-tiba bapak di sebelahnya yang tadi tertidur membuka mata. "Masih jauh sampai Jakarta."

Arjuna tersenyum canggung. "Bapak mau berbagi?"

"Ah, tidak usah. Bapak sudah sarapan tadi." Bapak itu tersenyum ramah. "Pertama kali ke Jakarta?"

Arjuna mengangguk sambil mengunyah tempe gorengnya perlahan. Rasanya persis seperti buatan neneknya - renyah di luar, lembut di dalam.

"Mau kerja atau sekolah?"

"Dua-duanya, Pak," jawab Arjuna. "Kalau bisa dapat beasiswa kuliah, sambil kerja part time."

"Hmm..." bapak itu mengangguk-angguk. "Namamu siapa, Nak?"

"Arjuna, Pak. Arjuna Wicaksono."

"Wicaksono?" alis bapak itu terangkat. "Seperti pernah dengar... Ah, mungkin cuma perasaan Bapak saja. Omong-omong, saya Pak Hadi."

Pemandangan di luar jendela terus berganti. Sawah-sawah hijau membentang hingga kaki gunung, sesekali terputus oleh desa-desa kecil dan stasiun-stasiun tua. Arjuna mengunyah makanannya pelan-pelan, berusaha menghemat bekal yang masih panjang perjalanannya.

"Sudah ada tempat tinggal di Jakarta?" tanya Pak Hadi lagi.

"Sementara numpang di rumah sepupu teman, Pak. Di Bekasi."

"Bekasi?" Pak Hadi tersenyum. "Kebetulan Bapak juga tinggal di Bekasi. Kalau butuh bantuan, ini..." ia mengeluarkan kartu nama lusuh dari dompetnya, "simpan saja. Siapa tahu nanti perlu."

Arjuna menerima kartu nama itu dengan kedua tangan. "Terima kasih banyak, Pak."

Kereta terus melaju, kini memasuki area persawahan yang lebih luas. Beberapa penumpang mulai tertidur, ada yang mendengarkan musik dari radio kecil, dan beberapa ibu mengipasi anak-anaknya yang kepanasan.

Cincin di jari Arjuna terasa hangat. Ia memandanginya sejenak, teringat pesan kakeknya dalam mimpi. Batu birunya berkilau samar terkena cahaya matahari yang menerobos jendela.

"Cincin yang bagus," komentar Pak Hadi tiba-tiba. "Peninggalan keluarga?"

"Iya, Pak. Dari kakek."

"Jaga baik-baik," Pak Hadi tersenyum misterius. "Benda pusaka biasanya punya ceritanya sendiri."

Arjuna tertegun. Ada sesuatu dalam nada bicara Pak Hadi yang membuatnya penasaran. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, pedagang asongan lewat dengan teriak lantang:

"Air mineral! Kopi! Roti! Air mineral dingin!"

"Stasiun Gambir... Stasiun Gambir... Perhatian, kereta api ekonomi dari Semarang telah tiba di Stasiun Gambir!"

Arjuna tersentak dari tidurnya. Pak Hadi menepuk bahunya pelan, "Sudah sampai, Nak. Selamat datang di Jakarta."

Dengan langkah sedikit terhuyung, Arjuna turun dari kereta. Kakinya terasa kaku setelah duduk berjam-jam. Mengikuti arus penumpang, ia berjalan menyusuri peron yang jauh lebih besar dan ramai dari stasiun di Temanggung.

"Hati-hati ya, Nak," Pak Hadi menepuk pundaknya sebelum berpisah. "Jangan lupa simpan nomor Bapak. Dan ingat, di Jakarta ini, jangan terlalu cepat percaya sama orang."

"Terima kasih banyak, Pak Hadi," Arjuna membungkuk dalam-dalam.

Ketika melangkah keluar stasiun, Arjuna terpaku. Mulutnya setengah menganga, lehernya mendongak tinggi. Di hadapannya, gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh menembus awan. Kaca-kaca berkilau memantulkan cahaya matahari, membuat matanya silau. Deru kendaraan dan hiruk pikuk manusia memenuhi udara - suara-suara yang tak pernah ia dengar di desanya.

"Ya Allah..." bisiknya takjub.

Mobil-mobil mewah berlalu lalang di jalanan, berhimpitan dengan bus dan motor yang seolah tak ada habisnya. Papan iklan raksasa menghiasi gedung-gedung, menampilkan gambar-gambar yang berkedip penuh warna. Trotoar dipenuhi orang-orang berpakaian rapi yang berjalan cepat, tas kerja di tangan, ponsel di telinga.

Arjuna menelan ludah. Tiba-tiba ia merasa sangat kecil. Di saku celananya, kartu nama Pak Hadi dan alamat kos di Bekasi terasa berat. Cincin di jarinya berdenyut hangat, seolah memberinya keberanian.

"Permisi, Mas," ia memberanikan diri bertanya pada satpam stasiun. "Kalau mau ke Bekasi, naik apa ya?"

"Ke Bekasi? Bisa naik KRL dari Stasiun Jakarta Kota, atau bus TransJakarta. Mau yang mana?"

"Yang... paling murah, Pak."

"KRL aja kalau gitu. Naik angkot 45 ke Jakarta Kota, dari sana naik KRL jurusan Bekasi."

Arjuna mengangguk, mencatat dalam hati. Ransel di pundaknya terasa semakin berat. Tapi tekadnya sudah bulat. Inilah Jakarta, kota yang akan menjadi saksi perjuangannya.

"Bismillah," gumamnya pelan, melangkah ke arah deretan angkot oranye yang berjajar di depan stasiun. Di belakangnya, gedung-gedung tinggi seolah mengamati, menunggu apa yang akan dilakukan anak desa ini di rimba beton Jakarta.

"Kopi dulu kali ya..." gumam Arjuna, mengusap keringat di dahinya. Terik Jakarta ternyata jauh lebih menyengat dari di desanya.

"COPEEEET! TOLONG! COPEEEET!"

Teriakan itu memecah hiruk pikuk jalanan. Arjuna menoleh, melihat seorang wanita muda berpakaian kantoran berlari terengah-engah sambil menunjuk ke arah depan. Sekitar lima puluh meter di sana, seorang pria berbaju hitam melesat gesit di antara kerumunan orang.

Tanpa pikir panjang, Arjuna melempar ranselnya ke tepian trotoar. Kakinya bergerak sendiri, memacu tubuhnya mengejar si copet. Anehnya, ia merasa sangat ringan, seolah ada energi asing yang mengalir dari cincin di jarinya.

"Minggir! Permisi!"

Arjuna berlari semakin cepat. Kerumunan orang seolah membuka jalan untuknya. Jarak dengan si copet yang tadinya jauh kini semakin dekat. Ia sendiri tak mengerti bagaimana bisa secepat ini - selama di desa, ia bahkan bukan pelari yang handal.

"AWAS!"

Sebuah mobil melaju kencang menghadang. Tanpa sempat berpikir, tubuh Arjuna bergerak refleks. Ia melompat, tinggi melayang di atas kap mobil, membuat pengemudinya terperangah. Mendarat mulus di sisi lain, Arjuna bahkan tak sempat terkejut dengan apa yang baru saja ia lakukan.

"Ya Allah..." bisiknya sambil terus berlari. "Bagaimana bisa..."

Si copet menoleh ke belakang, matanya membelalak kaget melihat Arjuna yang semakin dekat. Ia berbelok tajam ke gang sempit, menabrak gerobak pedagang hingga terjungkal.

"Berhenti!" teriak Arjuna, kini hanya beberapa meter di belakang copet itu.

Cincin di jarinya berdenyut semakin hangat. Tangannya terulur, dan dalam satu gerakan yang bahkan tak ia sadari, ia melompat dan menangkap kaki si copet. Keduanya berguling di aspal.

"Lepas! Lepasin gue!" copet itu memberontak.

Tapi entah dari mana, Arjuna memiliki kekuatan untuk mengunci gerakan pria yang jauh lebih besar darinya itu. Tas hitam yang dicuri terlepas dari tangan si copet.

"Itu dia! Itu copetnya!"

Wanita korban copet akhirnya tiba, diikuti beberapa orang termasuk satpam dan polisi yang berpatroli. Arjuna bangkit, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana ia bisa berlari secepat itu? Melompati mobil? Dan mengalahkan pria yang lebih besar?

"Makasih ya mas! Makasih banget!" wanita itu mengambil tasnya, matanya berkaca-kaca. "Mas hebat banget bisa ngejar dia! Kayak superhero aja tadi loncatin mobil!"

Arjuna hanya tersenyum canggung, tak tahu harus menjawab apa. Cincin di jarinya kini terasa dingin seperti biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

1
agus purnomo
kopi plus vote suhu
biar nulisny makin lancar...💪
Was pray
kalau merasa terbebani dengan cincin warisan kakeknya ya dilepas saja Juna, daripada kamu mengeluh terus, kayaknya gak ikhlas menerima takdirmu juna
Aman Wijaya
jooooz jooooz gandos lanjut terus
Aman Wijaya
lanjut terus Thor
Aman Wijaya
top markotop ceritanya Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll lanjut terus
4U2C
𝘆𝗮 𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗮𝘀𝗮𝗹 𝘂𝘀𝘂𝗹𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗿𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗸𝗶𝘀𝗮𝗵𝗺𝘂..
4U2C
𝗷𝗮𝘂𝗵𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴-𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗼𝘀𝗼𝗸 𝗸𝗼𝗻𝗴𝗹𝗼𝗺𝗲𝗿𝗮𝘁 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗵 𝗻𝘆𝗮,,𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗽𝗲𝗿𝘀𝘂𝗹𝗶𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗺𝘂 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮,,𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗺𝘂𝗻𝘀𝘂𝗵𝗺𝘂 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗱𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮..𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗮𝗺𝗽𝘂..𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗴𝗶𝘂𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗮𝘆𝗮..
4U2C
𝗽𝗮𝗰𝗮𝗿 𝗺𝗶𝗮 𝗥𝗜𝗔𝗡 𝗱𝗶𝗮𝗺𝗯𝗶𝗹 𝗦𝗜𝗡𝗧𝗔 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗗𝗜𝗢𝗡,,𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗗𝗜𝗢𝗡 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔 𝘆𝗮,,𝗱𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝘄𝗮𝗹 𝗶𝗯𝘂 𝗟𝗜𝗔𝗡𝗔 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗠𝗜𝗔,,𝗺𝗲𝗹𝗮𝗺𝘂𝗻,𝗮𝗽𝗮 𝗺𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗼𝗻𝗴𝗼..𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗿𝗮𝗻𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗱𝘂𝗻𝗶𝗮..𝗺𝗮𝘂 𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗔𝗥𝗝𝗨𝗡𝗔 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮 𝗮𝗷𝗮 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀,,𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗶 𝗴𝗮𝗱𝗶𝘀 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮,,𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗠𝗜𝗔 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗔𝗨𝗟𝗜𝗔,,𝗽𝘂𝘁𝗿𝗶 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮..
agus purnomo
kopi lagi suhu
Aman Wijaya
lanjut terus Thor semangat semangat ditunggu lagi updatenya 💪💪💪 sehat selalu untukmu Thor sehingga bisa berkarya terus
Aman Wijaya
Arjuna rasa disidak seperti seorang terpidana lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz pooolll Thor 💪💪💪
Aman Wijaya
babat semuanya Juna jangan beri ampun bikin mereka semua tidak bisa bangun
Aman Wijaya
top top markotop lanjut terus Thor semangat semangat semangat
Aman Wijaya
lanjut terus Thor lanjut
Aman Wijaya
jooooz jooooz pooolll Thor lanjut terus
Rita Natalia
Dion siapa ya ?
Achmad
ayo Thor lanjut semangat jangan kendor
Achmad
semangat Thor lanjut semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!