Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Kian dan Cindy serempak mengangkat pistol mereka, membidik ke arah belasan pria bersenjata tajam itu.
Namun, tanpa rasa takut, para pria itu justru melemparkan senjata tajam mereka dengan cepat dan presisi ke arah dua detektif tersebut!
"Hati-hati!" teriak Kian, saat ia menarik tubuh Jade ke samping, menghindari lemparan tajam yang hampir mengenai pundaknya.
Cindy berusaha menghindari serangan itu, sebuah pisau meleset tipis dari wajahnya dan tertancap keras di tiang tersebut.
Dalam hitungan detik, pertarungan jalanan pun pecah. Kian dan Cindy diserbu secara brutal oleh para pria bersenjata tajam itu. Suara benturan logam, teriakan, dan kursi yang beterbangan menggema di udara malam. Orang-orang di warung makan berhamburan kabur, meninggalkan makanan mereka dan kursi-kursi terbalik, sementara beberapa bagian warung mulai hancur karena bentrokan.
Jade yang adalah sasaran mereka, ikut diserang oleh dua pria bersenjata itu. Mereka mengayunkan pisau ke arahnya tanpa ampun. Tapi Jade—yang ternyata tidak selemah kelihatannya—menghindar lincah ke kiri dan kanan, dan melempar kursi kayu ke arah lawan, membuat salah satu dari mereka terhuyung.
“Dasar pengecut! Hanya ini yang kalian bisa?” bentak Jade, penuh amarah.
Dengan keberanian yang tak terduga, Jade melompat dan menendang tangan lawannya, membuat senjata mereka terlempar ke jalan. Tinju kerasnya menghantam wajah pria bertopeng itu.
Bruk! Pria itu roboh menabrak meja, pingsan.
Sementara itu, Cindy yang mencoba mengambil pistol yang sempat terjatuh tadi, tiba-tiba diserang dari belakang. Seorang pria tinggi mendorongnya ke tanah, menjatuhkan tubuhnya keras.
"Argh!" Cindy berteriak sambil mengguling ke samping, menghindari sabetan pisau yang nyaris menggores pipinya. Dia lalu bertarung tangan kosong, menangkis dan menendang, bertarung mati-matian.
Kian juga kesulitan. Meski bertubuh besar dan terlatih, jumlah lawan yang jauh lebih banyak membuatnya harus menggunakan segala benda di sekitarnya. Ia mendorong meja ke arah dua pria sekaligus, membuat mereka jatuh berantakan.
Seketika, Cindy berhasil meraih pistolnya kembali. Dengan tangan gemetar dan luka di lengan, ia berdiri dan melepaskan tembakan ke udara.
“DOR!!”
Suara tembakan itu menggema keras, membuat sebagian lawan menghentikan serangan untuk beberapa detik.
Namun, dari sudut gang lain, lebih banyak pria berdatangan—jumlah mereka makin ramai. Kini Jade, Kian, dan Cindy benar-benar terkepung.
"Kita harus keluar dari sini sekarang juga!" seru Kian, darah menetes dari pelipisnya.
Jade, dengan nafas memburu dan tangan berdarah, menggenggam kursi kayu sebagai senjata. Matanya tajam, penuh semangat bertahan.
"Sepertinya aku yang mereka incar," kata Jade lirih, matanya menyapu kerumunan pria bertopi dan masker hitam yang mengelilingi mereka dari segala arah.
Nafasnya mulai memburu. Keringat dingin mengalir di pelipis, namun sorot matanya tetap tajam.
"Siapa kalian sebenarnya? Kenapa ingin membunuhku? Siapa yang mengutus kalian?" tanya Jade dengan lantang.
Salah satu pria bertubuh besar melangkah maju, wajahnya tersembunyi di balik masker hitam. Suaranya dingin dan penuh ancaman.
"Kami tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Kau hanya perlu mati!" ucapnya, tajam seperti belati di tangannya.
"Ada kami di sini. Jangan berharap rencanamu akan berhasil!" seru Kian, berdiri tegap di depan Jade, melindunginya dengan tubuhnya sendiri.
"Hanya polisi lemah! Kalau kalian ingin mati demi gadis ini, maka jangan salahkan kami!" balas pria lain, mengangkat senjatanya tinggi-tinggi, memberi aba-aba kepada anak buahnya.
Jade melangkah setengah maju, tidak peduli pada rasa sakit dan ancaman kematian yang menyelimuti. Suaranya bergetar, tapi penuh tekad.
"Jumlah kalian memang banyak. Tapi setidaknya... sebelum aku mati, beri aku jawaban." Tatapannya tajam menantang. "Siapa yang mengirim kalian untuk membunuhku?"
Beberapa pria saling menatap satu sama lain, seolah mempertimbangkan apakah kata-kata Jade pantas dijawab.
Akhirnya, salah satu dari mereka tertawa dingin.
"Kau tidak berhak tahu. Tugas kami hanya satu—menghapus jejakmu dari dunia ini."
Jade menarik napas dalam, lalu tersenyum miris.
"Malam ini aku mungkin tidak akan bisa lolos." Ia menatap mereka satu per satu. "Tapi kalau aku memang harus mati... setidaknya biarkan aku tahu siapa yang menginginkan kematianku, "Dengan begitu... aku bisa mati dengan tenang."
ayo katakan yg sebenarnya