Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Jade yang masih setengah sadar, kelopak matanya berat, namun ia menangkap sosok yang berdiri gagah di depan pintu.
"Selamatkan aku..." bisiknya lemah, nyaris tak terdengar.
Leon menatap pria bertopeng itu dengan mata tajam, amarah meledak dalam dadanya.
"Berani membawanya pergi? Harus ada izin dariku dulu!" teriak Leon sebelum menghantam dada pria itu dengan tendangan kuat.
Bugh!
Tubuh pria itu terlempar ke belakang, dan Jade yang berada di pundaknya ikut terjatuh keras ke lantai.
Bruk!
Jade meringis pelan, tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan. Sementara itu, Leon tanpa ragu menghantam wajah si pria bertopeng dengan pukulan telak. Dentuman tinju itu cukup membuat pria tersebut roboh dan tak sadarkan diri.
Dengan cepat, Leon bergegas mendekati Jade. Ia merunduk, menatap wajah gadis itu yang masih diliputi lemah dan ketakutan.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya lembut sambil mengangkat tubuh Jade dengan hati-hati.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" gumam Jade, suaranya pelan dan goyah.
Leon menatapnya sesaat, lalu menjawab dengan serius.
"Karena aku tidak percaya pada detektif. Mereka juga jadi sasaran para penjahat." Tanpa membuang waktu, ia segera membawa Jade keluar dari apartemen yang kini dipenuhi ancaman.
Perjalanan.
Suasana terasa mencekam. Mobil melaju di jalan yang sepi. Di kursi belakang, Jade terbaring lemah dengan wajah pucat, sementara Leon menyetir dengan penuh kewaspadaan.
"Kita... ke mana?" tanya Jade, suaranya pelan namun cukup untuk didengar Leon.
Leon tak menoleh, pandangannya tetap lurus ke depan.
"Istirahatlah. Kau menghirup aroma pelemah otot. Aku akan mengantarmu ke tempat yang aman."
Jade perlahan mengeluarkan ponselnya dari saku, tangannya bergetar saat menekan layar. Dengan sisa tenaga, ia mengirimkan lokasi keberadaannya diam-diam, memastikan Leon tidak melihat dari kaca spion. Kemudian ia menekan tombol panggilan.
"Baiklah... aku tidur dulu. Nanti bangunkan aku," katanya sengaja, mencoba mengelabui.
Leon mengangguk tipis, ekspresinya tetap serius.
"Kamu dalam bahaya. Dan pelaku pembunuhan itu sudah mulai bergerak. Simpan tenagamu untuk pertarungan selanjutnya," ucapnya mantap sambil menekan pedal gas lebih dalam, mempercepat laju mobil.
Jade berpura-pura memejamkan mata, tetapi pikirannya terus berputar. Ia harus mencari tahu motif Leon. Apakah dia benar-benar menyelamatkannya... atau ada hal lain yang disembunyikan?
Beberapa menit berlalu.
Jade mengangkat tubuhnya dengan susah payah, duduk sambil menyandarkan diri ke jendela. Ia menatap keluar, mencoba mengenali jalan yang mereka lewati.
"Apakah masih jauh tempat itu?" tanyanya, curiga.
Leon melirik ke kaca spion, sedikit heran dengan sikap Jade.
"Tidak jauh lagi. Kenapa? Tidurlah. Kau butuh istirahat."
"Aku hanya lemah... bukan mengantuk. Jadi, aku tidak bisa tidur," jawab Jade pelan, namun matanya penuh tekad.
Tiba-tiba, Jade mengangkat kaki kanannya dan menendang kursi supir dengan kuat.
Dukk!
Leon terkejut, tubuhnya terdorong ke depan, pegangan setirnya terguncang. Mobil oleng ke kiri, dan dalam kekacauan itu, kepala Jade menghantam jendela samping.
"Akh!" desahnya pelan, darah mengalir tipis dari pelipisnya.
Leon segera menginjak rem mendadak.
Sreeetttt!
Ban mobil berdecit panjang di jalanan sepi, mobil berhenti dengan hentakan kasar. Asap tipis mengepul dari kap mobil akibat pengereman mendadak. Leon menoleh cepat ke belakang.
"Jade! Apa yang kau lakukan?! Kau bisa terbunuh!" serunya dengan nada panik.
"Bajingan! Kau mengira aku bodoh?" teriak Jade sambil membuka pintu mobil dengan susah payah. Tubuhnya lemah, kakinya nyaris tak sanggup menopang berat badan. Ia terjatuh dan merangkak keluar ke jalan beraspal yang kasar dan dingin.
Leon segera keluar dari mobil, langkahnya cepat dan penuh amarah. Ia meraih lengan Jade dan mencengkeramnya kuat, lalu menariknya dengan kasar.
"Jangan menguji kesabaranku!" geramnya dengan suara berat. "Kau benar-benar menyusahkan. Kenapa tidak mati saja, hah?"
Tubuh Jade terseret di atas aspal, lutut dan sikunya lecet, darah mulai merembes dari kulitnya. Ia menahan jeritan, matanya menatap tajam meski penuh luka.
"Apa yang kau inginkan sebenarnya?" tanyanya dengan suara terputus-putus karena kesakitan.
Langkah Leon terhenti. Ia menatap gadis itu dengan senyum miring, senyum yang menghapus topeng kepalsuannya.
"Kau cukup pintar untuk menyadari aktingku. Aku penasaran... sejak kapan kau mencium kebohonganku?" ucapnya dingin, penuh kesombongan.
Tanpa menunggu jawaban, ia mengayunkan tangannya dan—
"Bugh!"
Pukulan keras mengenai kepala Jade. Matanya terpejam seketika, tubuhnya terkulai lemas di pelukannya. Leon mengangkatnya dan membawanya ke mobil.
Namun, ia tak menyadari satu hal—ponsel Jade yang masih aktif terselip dalam sakunya. Layar yang sedikit menyala menunjukkan panggilan masih berlangsung. Seseorang di seberang sana mendengar semuanya.
Suara gemeretak langkah kaki Leon. Napasnya. Ucapan ancamannya.
Dan panggilan itu terus tersambung...
novel the best