Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Gue pengen bilang ini nggak canggung, tapi ya... canggung banget. Dia jelas nggak nyangka bakal nemuin gue di sini, dan gue juga sebenarnya nggak tahu ngapain gue datang.
Asta garuk-garuk tengkuknya, matanya ke mana-mana kecuali ke gue.
"Gimana kabar lo?" Gue akhirnya nanya, berusaha menghapus kecanggungan ini. "Lo kelihatan stres."
"Kayaknya sih gara-gara banyak hal. Gue kangen keluarga, terus di kelas juga berat, lo tau sendiri."
Jawaban itu bikin gue penasaran.
"Keluarga lo kayak gimana sih? Yang gue tau cuma mereka kaya dan terkenal."
Padahal aslinya gue tau lebih dari itu. Gue pernah kepo, nyari info tentang keluarganya. Dia punya dua saudara, orang tuanya udah pisah. Semua itu gampang banget dicari karena keluarga Batari sering muncul di berita.
"Keluarga biasa aja, gue rasa," katanya santai. "Kakak gue, Antari, udah nikah. Gue punya keponakan cewek namanya Ailsa, lucu banget. Terus, kakak gue yang lain, Anan, lagi kuliah kedokteran. Dia udah lama pacaran sama salah satu sahabat gue. Bokap gue ya… gitu deh, standar bapak-bapak pada umumnya. Nyokap gue…"
Dia tiba-tiba berhenti, bibirnya mengatup rapat sejenak sebelum lanjut ngomong.
"Terus ada kakek gue, yang paling gue sayang. Kalau bukan karena dia, mungkin gue udah jadi orang yang beda banget sekarang."
"Jadi, lo melihat diri lo gitu? Cuma sebagai manusia yang biasa aja?"
"Gue suka mikir gitu, sih."
"Menurut gue, lo lebih dari itu. Lo luar biasa."
Gue bilang itu tanpa ragu, karena ya, emang gitu. Sejak kenal Asta, gue lihat dia selalu baik sama orang. Salah satu bukti paling jelas adalah gimana dia selalu ada buat Phyton, padahal mereka baru kenal, dan Phyton itu keras kepala banget.
Asta langsung merah. Biasa banget buat dia, kayaknya dia masih susah nerima pujian. Padahal kalau dipikir, dia tuh ganteng, pasti sering banget dapet pujian. Kenapa masih kikuk gini tiap dipuji sama hal baik?
"Lo sendiri gimana?" Dia balik nanya, bikin gue tarik napas panjang.
"Capek dan..." Kepikiran lo terus, nungguin lo chat, bingung kenapa tiba-tiba lo menghilang padahal gue pikir kita temanan. "Dan..."
Asta nunggu, tapi gue nggak lanjut.
"Dan?"
Mata kita ketemu. Tatapan dia bikin gue lemah.
"Gue kangen lo." Gue kaget sendiri pas kata-kata itu meluncur keluar, langsung nutup mulut. Asta juga kaget. Muka kita jadi merah padam.
"Maksud gue, gue kangen ngobrol sama lo." Gue buru-buru klarifikasi.
"Maaf, gue ke-distract sama kuliah."
"Lo nggak harus jelasin, gue ngerti kok."
Tapi, jujur aja, gue benci perasaan ini. Gue jarang merasa seterbuka ini sama orang. Biasanya gue nggak gampang goyah gara-gara seseorang. Tapi Asta... dia beda. Ada sesuatu di mata hangatnya yang bikin gue merasa kayak nggak punya pertahanan.
Asta mengisi keheningan dengan nunjuk ke sofa.
"Film?"
Gue ngangguk, akhirnya bisa santai sedikit. Kita jalan ke sofa, siap buat nonton bareng. Asta masukin popcorn ke microwave dan nyiapin beberapa minuman di meja depan TV.
"Gue nggak tau lo sama Dino punya tradisi gini," kata gue.
"Awalnya ide Vey," jawabnya, terus dia tiba-tiba kayak inget sesuatu. "Lama-lama kita jadi kebiasaan."
"Vey tuh pacarnya Dino, ya?"
Asta sempet ragu sebelum akhirnya ngangguk. Dia balik ke dapur buat ambil popcorn. Pas semuanya udah siap, dia duduk di ujung sofa, jauh banget dari gue. Gue tau dia mungkin nggak mau bikin gue risih, tapi segini jauh juga kayaknya berlebihan. Tapi yaudah, gue nggak komentar.
"Nonton apa?" tanyanya.
Gue angkat bahu. "Terserah lo."
"Serius?"
Otak gue langsung muter nyari judul film. Kalau gue pilih film romance, bakal ketahuan banget, nggak sih?
Gue gigit bibir sambil melirik ke pintu kaca yang mengarah ke balkon. Dari situ, kelihatan lampu-lampu kota yang berkilauan.
"Selma." Suara Asta bikin gue balik memandang dia. "Benaran, terserah lo. Gue nggak bakal nge-judge."
"Oke," jawab gue akhirnya.
Gue pilih Love, Rosie. Film yang bikin emosi naik turun soal sahabat yang selalu ketemu di waktu yang salah. Salah satu favorit gue.
Asta matiin lampu dan mulai muter filmnya. Dia duduk sambil melepaskan tangannya di belakang sandaran sofa. Tangan dia jadi lebih dekat ke gue, dan gue langsung sadar akan keberadaannya. Duduk lebih dekat ke arahnya. Gue nggak mikir panjang, cuma refleks aja.
Kaos putihnya naik sedikit, kelihatan sekilas perutnya. Warna dari layar TV bikin bayangan di mukanya berubah-ubah. Gue lihat dia dari samping, tapi buru-buru alihkan pandangan ke layar, tangan gue menggenggam di pangkuan. Untung tadi pilih pake dress longgar, enak buat duduk di meja. Cuma sekarang, duduk di sofa malah bikin roknya naik terus, jadi harus gue turunin lagi.
Asta ngeh gerakan gue, terus dia noleh pas gue lagi lihat dia. Tatapan dia turun ke paha gue, ke tangan gue yang lagi narik ujung dress. Bibirnya sedikit terbuka, terus gue senyum sambil melepaskan kainnya. Gue nggak mau dia mikir gue sengaja atau bagaimana.
“Eh…,” dia berdehem, trus ngubek-ngubek sesuatu di sebelahnya. Dia nyodorin selimut ke gue. “Ini bersih, sumpah.”
Gue terima sambil senyum. “Gue percaya.”
Gue nutupin paha gue pake selimut, terus lanjut nonton. Kadang kita komen soal filmnya, kadang ketawa. Pas adegan si tokoh cewek panik gara-gara kondomnya nyangkut, kita ngakak. Udah hampir setengah jalan, tiba-tiba ada suara guntur di luar.
Asta langsung tegang. Gue otomatis lihat ke arah balkon. Hujan mulai turun deras, menetesi kaca dan lantai luar. Susah buat fokus ke film pas gue bisa merasakan ketegangannya. Tangannya mengepal, urat di leher dan lengannya mulai kelihatan, rahangnya kenceng banget.
Pikiran gue balik ke momen itu, malam waktu gue nemuin dia di tengah hujan, nyaris nggak sadarkan diri. Gue nggak bisa bayangin apa yang dia rasain tiap kali hujan kayak gini. Gue juga nggak tahu harus ngomong apa. Sama kayak malam itu, gue cuma diam, otak gue penuh sama berbagai pikiran, tapi nggak ada satu pun yang bisa gue keluarin dari mulut.
Akhirnya, gue nggak banyak mikir. Gue melepas selimut, terus bergeser makin dekat ke dia.
Gue tarik selimut, terus merangkul dia dari samping, tangan gue melewati punggungnya buat kasih pelukan tipis. Asta menyandarkan kepalanya ke bahu gue, tapi dia nggak lihat ke arah gue.
"Semua bakal baik-baik aja," bisik gue, tangan gue usap pelan rambutnya.
Perlahan, ketegangan di tubuhnya mulai menghilang. Nafasnya lebih tenang, ototnya nggak sekaku tadi. Tangannya turun ke paha gue, masih ada selimut di antara kita, tapi tetap saja, sentuhan itu bikin gue sadar. Gue bisa merasakan tiap inci tubuhnya yang nempel ke gue, aroma dia, kehangatannya.
Asta geser posisi, terus noleh. Hidungnya melewati leher gue, dan di detik itu juga, gue berhenti napas.
"Wangi lo... nenangin gue, Selma," suaranya pelan, serak dan berat.
.....
Gue melewati lidah di bibir gue sendiri, nggak tahu harus jawab apa. Karena jujur, tiap syaraf di tubuh gue bereaksi sama kata-katanya. Kita terlalu dekat. Napas gue terlalu kacau.
Gue telan ludah, berusaha fokus, tapi filmnya udah abis. Sekarang cuma ada layar gelap dari credit scene, suara hujan di luar, dan momen ini... yang tiba-tiba terasa kayak sesuatu yang lebih dari sekadar momen.
Asta gerak lagi, tapi kali ini bukan hidungnya yang menyentuh kulit gue. Bibirnya. Lembut, basah. Cuma sekilas, tapi cukup buat jantung gue kebut-kebutan.
Dia berhenti.Seperti menunggu reaksi gue.
Gue nggak nolak. Malah, gue miringin kepala sedikit, kasih akses lebih buat dia. Itu jawaban gue.
Bibirnya terbuka lagi, kali ini dia nyium pelan di antara bahu dan leher gue. Nyedot dikit, lidahnya melintas di kulit. Gue harus nahan diri biar nggak keluarin suara.
Sejak kapan gue yang seharusnya nenangin dia, malah jadi kayak gini?
Kenapa ini enak banget?
Mulutnya naik ke telinga gue, napasnya yang berat kedengaran jelas, bikin badan gue lemas.
"Asta..." suara gue nyaris nggak keluar.
Dia mundur dikit, cukup buat kita saling lihat. Mata dia penuh sesuatu yang gue nggak nyangka, keinginan, kebutuhan. Tatapannya turun ke bibir gue.
Kita nggak butuh kata-kata. Kita udah tahu apa yang kita mau. Sekarang juga. Jadi di sini, di sofa ini, dengan suara hujan yang terus bergaung di luar, Asta Batari resmi nyium gue
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗