Memiliki saudara kembar nyatanya membuat Kinara tetap mendapat perlakuan berbeda. Kedua orang tuanya hanya memprioritaskan Kinanti, sang kakak saja. Menuruti semua keinginan Kinanti. Berbeda dengan dirinya yang harus menuruti keinginan kedua orang tuanya. Termasuk menikah dengan seorang pria kaya raya.
Kinara sangat membenci semua yang terjadi. Namun, rasa bakti terhadap kedua orang tuanya membuat Kinara tidak mampu membenci mereka.
Setelah pernikahan paksa itu terjadi. Hidup Kinara berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
"Kenapa kamu cemberut seperti itu terus?" tanya Ibu Ratmi yang sejak pagi sudah menunggu Kinara.
"Entah, Ma. Aku kepikiran Kak Kinan terus. Dia sedang apa ya?" Kinara bergumam. Sembari mengusap jantungnya yang terasa berdegup kencang. Ada perasaan gelisah dan tak tenang ia rasakan. Terus saja kepikiran saudara kembarnya. Apalagi setelah Kinara menikah, mereka tidak pernah berhubungan dengannya.
"Coba kamu telepon saja. Mungkin kamu sedang kangen dia." Ibu Ratmi memberi usul.
"Aku tidak punya nomornya, Ma." Kinara menjawab lirih.
Ibu Ratmi pun mengambil ponselnya dan menghubungi orang tua Kinara. Bukan untuk meminta mereka datang, tetapi Ibu Ratmi hanya ingin meminta nomor Kinanti saja. Setelahnya, Ibu Ratmi pun menghubungi nomor Kinanti yang sudah didapat, tetapi tidak ada panggilan yang terhubung.
"Coba nanti kamu hubungi lagi. Mungkin saat ini Kinanti sedang tidur. Bukankah sekarang di sana hampir malam hari."
Kinara mengangguk lemah. Setelahnya, Ibu Ratmi menyuapi anak menantunya, tetapi Kinara menolak karena merasa sungkan. Lebih memilih untuk makan sendiri dan Ibu Ratmi cukup menemani sembari mengobrol banyak hal. Sungguh, bersama Ibu Ratmi, Kinara merasa diperlakukan dengan sangat hangat.
"Nyonya, ada tamu di luar mau mencari Nyonya Ara." Mbok Nah masuk kamar dan berbicara dengan sopan.
"Siapa, Mbok?" tanya Ibu Ratmi.
"Tidak tahu, Nya. Katanya sahabat baik, Nyonya Ara." Wanita itu menjawab lagi.
Kening Ibu Ratmi mengerut. Sementara Kinara justru diam. Sepertinya ia sudah bisa menebak siapa yang datang. Ibu Ratmi bangkit dan berjalan ke depan. Selang beberapa saat, wanita paruh baya itu sudah kembali dan meminta Kinara untuk ke ruang tamu.
"Danu?" panggil Kinara saat melihat sahabatnya sedang duduk di sofa. "Kamu kok bisa di sini?"
"Ara ... bagaimana keadaanmu. Apa masih sakit?" tanya Danu cemas tanpa menjawab pertanyaan sahabatnya.
"Aku sudah lebih baik. Dari mana kamu tahu aku sakit? Dari mana juga kamu tahu kalau aku tinggal ...."
"Suami kamu yang menyebalkan itu. Dia memberitahuku. Bisa-bisanya dia membuatmu masuk rumah sakit." Danu berbicara dengan sangat ketus. Seolah sedang meluapkan kekesalan. Ia bahkan tidak peduli meski ada Ibu Ratmi di samping Kinara sambil tersenyum simpul.
"Mas Rico? Aku tidak percaya dia bisa memberitahumu." Kinara duduk di depan Danu. Masih belum percaya.
"Kalau kamu tidak percaya ya sudah. Intinya memang dia sudah memberiku izin. Ara ... kamu yakin sudah lebih baik?" Danu masih saja cemas. Jika menyangkut Kinara, lelaki itu selalu saja protektif.
"Sudah. Lihatlah." Kinara tersenyum lebar. Membuat jantung Danu berdegup kencang. Namun, sebisa mungkin ia menahan diri.
"Kalau begitu kalian mengobrol dulu. Mama mau ke kamar untuk istirahat." Ibu Ratmi menyela pembicaraan mereka.
"Iya, Ma. Makasih banyak." Kinara berbicara sopan.
Ketika Ibu Ratmi sudah tidak terlihat. Danu segera menghela napas panjang. Ada raut kecewa dan cemas yang tampak bercampur menjadi satu. Sementara Kinara hanya diam karena sudah paham seperti apa sahabatnya.
"Aku baik saja. Bukankah itu sudah kewajibanku sebagai seorang istri." Kinara tersenyum getir. Senyuman yang tampak palsu di mata Danu.
"Haruskah aku memukulnya sampai babak belur karena sudah membuatmu terluka?" tanya Danu setengah berbisik.
"Jangan. Bagaimanapun juga, dia suamiku. Apalagi dia sudah memberi banyak bantuan untukku dan keluargaku." Kinara berbicara lirih.
Lalu keduanya mengobrol banyak hal. Kinara pun tampak bersemangat apalagi saat Danu berjanji akan mengajaknya jalan-jalan jika sudah benar-benar sehat nanti.
"Danu, tolong aku. Bisakah kamu menelepon Kak Kinan?" pinta Kinara memelas.
"Untuk apa?" Danu bertanya penuh penekanan.
"Entah kenapa, aku merasa tidak baik. Hatiku terus cemas karena memikirkan Kak Kinan. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dia." Kinara menjawab jujur. Sekali lagi, tidak ada yang ditutupi oleh Kinara jika bersama sahabatnya.
Danu pun mengambil ponsel dan menghubungi nomor Kinanti. Ada sahutan dari seberang telepon. Namun, kening Danu mengerut dalam ketika yang terdengar adalah suara lelaki. Bukan Kinanti. Dengan cepat, Kinara merebut ponsel itu.
"Di mana Kak Kinan?!" tanyanya keras.
"Dia sedang opname di rumah sakit karena tubuhnya lemah."
Sahutan dari seberang telepon seketika membuat tubuh Kinara membatu sesaat. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Danu yang memahami sahabatnya pun segera mengambil alih ponsel itu dan berbicara sebentar sebelum akhirnya panggilan itu pun terputus.
"Danu, aku mau menyusul Kak Kinan." Suara Kinara lirih sambil menahan tangis.
"Ara, tapi kamu belum sepenuhnya pulih. Terlebih lagi, perjalanan jauh. Aku tidak yakin suami kamu akan memberi izin," kata Danu. Merasa tidak tega saat melihat sahabatnya.
"Aku akan bilang padanya. Kalau tidak diberi izin, maka aku akan pergi sendiri!" Kinara mengancam. Tubuhnya gemetar karena hampir tidak bisa mengendalikan diri.
"Sabar, Ara. Kamu harus tenang. Baiklah, aku akan bilang pada suami kamu dulu."
****
Rico sudah melarang, tetapi Kinara terus saja memaksa sambil menangis. Hal itu membuat lelaki tersebut merasa tidak tega. Akhirnya, ia pun menuruti keinginan sang istri. Keesokan paginya, Rico langsung terbang ke luar negeri bersama Kinara juga Danu. Lelaki itu turut serta karena tidak tenang dan cemas dengan keadaan Kinara.
Penerbangan itu hampir menempuh waktu sepuluh jam. Selama di dalam pesawat, Kinara hanya diam. Tatapannya terus saja kosong. Hal itu membuat Rico semakin cemas.
"Aku yakin, kakakmu baik saja." Rico mengusap puncak kepala Kinara.
Sementara wanita itu memejamkan mata. Berusaha menahan tangis. Padahal Kinara sudah berusaha untuk tidak bersedih. Namun, hatinya terlalu lemah.
"Semoga saja. Saya sangat cemas sekali. Apalagi Kak Kinan jauh sekali." Suara Kinara begitu lirih nyaris tidak terdengar.
"Belum tentu. Mungkin saja orang tuamu sudah sampai di sana terlebih dahulu. Lebih baik kamu tidur saja. Kamu butuh banyak istirahat karena baru pulih."
"Saya tidak ngantuk."
"Tidurlah dulu. Aku akan membangunkanmu jika sudah hampir sampai," perintah Rico.
Kinara mengangguk lemah. Ia pun memejamkan mata dan membiarkan Rico yang menarik kepalanya agar bersandar pada pundak lelaki tersebut. Ketika Kinara sudah memejamkan mata, Rico pun mengecup puncak kepala wanita itu dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Sementara itu, Danu yang duduk di sebelah mereka, hanya bisa diam dan menahan rasa yang terasa bergemuruh dalam dada. Ada desiran sakit yang terasa ketika melihat pemandangan itu. Rasanya tidak ikhlas.
Andai bisa ... Danu ingin berada di tempat Rico sekarang. Memeluk sahabatnya untuk memberi ketenangan. Namun, hal itu tidak akan mungkin terjadi.
Danu menyentuh dada saat merasakan nyeri di sana. Ia memejamkan mata berusaha untuk tidur. Namun, semakin matanya terpejam, rasa sakit itu justru semakin terasa.
Ara ... aku tahu ini tidak mudah. Tapi aku akan berusaha ikhlas asal melihatmu bahagia. Ara ... aku mencintaimu.
jangan² nanti minta anak kakaknya diurus oleh ara kalau iya otw bakar rumahnya
kinara masih bisa sabar dan berbaik hati jangan kalian ngelunjak dan memanfaatkan kebaikan kinara jika gk bertaubat takut nya bom waktu kinara meledak dan itu akan hancurkan kalian berkeping" 😏😂