❗️Kisah hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama atau tempat itu ketidaksengajaan
Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea. Namun takdir membawanya menikah dengan laki-laki tampan dan kaya di korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake.
Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nesya Sakit
Pagi itu, Jae Hyun melangkah masuk ke gedung perusahaannya dengan penuh wibawa. Setelan jas mahalnya terpasang rapi, menunjukkan aura seorang pemimpin sejati. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya langsung menundukkan kepala dan memberikan salam hormat.
“Selamat pagi, Tuan Jae Hyun.”
Ia hanya membalas dengan anggukan kecil tanpa memperlambat langkahnya. Tatapannya tajam dan fokus, namun di balik ketegasan itu, pikirannya masih dipenuhi bayangan seseorang—Nesya.
Setelah kejadian kemarin, Jae Hyun sadar bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Namun, ia menepis perasaan itu dan terus berjalan menuju ruangannya. Saat ia tiba, sekretarisnya sudah menunggunya di depan pintu.
“Tuan, jadwal meeting dengan tim manajemen akan dimulai dalam lima belas menit.”
Jae Hyun mengangguk lagi. “Baik. Siapkan semua yang dibutuhkan.”
Sekretarisnya langsung bergerak cepat, sementara Jae Hyun memasuki ruangannya yang luas. Ia duduk di kursinya, menyandarkan tubuhnya sejenak, lalu menatap langit-langit dengan napas panjang. Hari ini harus berjalan seperti biasa, tanpa gangguan, tanpa pikiran yang mengganggu… tapi entah mengapa, hatinya merasa kosong.
¤______________♡
Di dalam kamar, Nesya meringkuk di tempat tidur, memegangi perutnya yang terasa perih. Dokter sudah memberinya obat, tetapi rasa sakit di lambungnya masih mengganggu. Ia hanya ingin beristirahat dan tidak ingin bertemu siapa pun—terutama Jae Hyun.
Sementara itu, di ruang tamu, Jae Hyun duduk dengan gugup. Ini pertama kalinya ia masuk ke rumah Nesya. Suasana sederhana tetapi hangat. Tak lama kemudian, Ayah Nesya yang baru saja pulang kerja muncul.
"Siapa ini?" tanya Ayah Nesya, menatap Jae Hyun dengan penuh selidik.
Ibu Nesya tersenyum kecil. "Namanya Jae Hyun, Yah. Dia teman Nesya dari kantor, datang menjenguk."
Jae Hyun segera berdiri dan membungkuk dengan sopan. "Salam hormat, Pak. Saya Jae Hyun."
Ayah Nesya memperhatikan pemuda itu dengan tatapan tajam. "Kenapa repot-repot datang ke sini? Nesya baik-baik saja?"
Jae Hyun menelan ludah. "Saya mendengar dia sakit dan ingin memastikan keadaannya."
Ayah Nesya menghela napas lalu duduk. "Nesya sudah ke dokter. Dia hanya butuh istirahat."
"Kalau begitu... apakah saya bisa menemuinya sebentar?" Jae Hyun bertanya hati-hati.
Ibu Nesya menoleh ke kamar putrinya. "Sejak tadi dia tidak mau bertemu siapa pun. Mungkin lebih baik kamu pulang dulu, Nak Jae Hyun."
Jae Hyun tampak kecewa, tetapi ia tidak bisa memaksa. "Baik, Ibu. Kalau begitu, bisakah Ibu menyampaikan pesan saya? Tolong bilang pada Nesya... jangan terlalu keras pada dirinya sendiri. Saya berharap dia lekas sembuh."
Ibu Nesya tersenyum lembut. "Tentu, Nak."
Jae Hyun menundukkan kepala sekali lagi, lalu berpamitan. Saat keluar dari rumah itu, hatinya terasa semakin gelisah.
"Kenapa aku harus sekhawatir ini pada Nesya?" gumamnya dalam hati.
Min Ji yang sudah lama bekerja dengan Jae Hyun bisa membaca ekspresi bosnya dengan mudah. Sejak pagi, pria itu terlihat gelisah meski berusaha tetap tenang. Biasanya, Jae Hyun selalu fokus pada pekerjaannya, tetapi kali ini, pikirannya jelas melayang entah ke mana.
Saat Min Ji meletakkan dokumen di atas meja, ia melihat Jae Hyun melirik ponselnya berkali-kali, seolah menunggu sesuatu.
"Tuan, apakah Anda sedang menunggu kabar dari seseorang?" tanya Min Ji hati-hati.
Jae Hyun mendongak dan menatap asistennya sebentar sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak. Aku hanya..." Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, "Nesya tidak masuk kerja hari ini?"
Min Ji tersenyum tipis. Ternyata benar dugaannya. "Ya, dia izin karena sakit," jawabnya santai.
Jae Hyun mengernyit. "Sakit?" Ada nada khawatir di suaranya yang bahkan tidak ia sadari sendiri.
"Sepertinya begitu. Saya mendengar teman-temannya mengatakan bahwa dia tidak enak badan sejak kemarin," jelas Min Ji.
Jae Hyun mendesah pelan, lalu tanpa berpikir panjang, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan. Namun, setelah beberapa detik, ia menghapusnya lagi. Min Ji yang memperhatikan itu hanya bisa mengulum senyum.
"Jika Anda khawatir, kenapa tidak langsung menjenguknya?" goda Min Ji.
Jae Hyun menatap Min Ji tajam, tetapi bukannya marah, ia malah terlihat semakin ragu.
"Aku hanya... Tidak, ini bukan urusanku," gumamnya sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu—itu memang urusannya.
Tanpa sadar, Jae Hyun bangkit dari kursinya. Seakan ada sesuatu yang menariknya untuk pergi dari kantor. Min Ji hanya bisa tersenyum kecil melihat bosnya yang tampak gelisah, tetapi tidak berkata apa-apa.
Jae Hyun masuk ke dalam mobilnya, menginstruksikan sopir untuk menuju alamat rumah Nesya. Selama perjalanan, pikirannya terus berkecamuk.
"Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku peduli? Bukankah aku seharusnya fokus pada pekerjaanku?"
Namun, bayangan Nesya yang menangis kemarin masih terukir jelas di benaknya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus mendesaknya untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Begitu mobil berhenti di depan rumah sederhana milik keluarga Nesya, Jae Hyun sempat ragu. Dia duduk diam sejenak, menatap rumah itu dari balik kaca mobil.
"Apa yang akan aku katakan? Bagaimana jika dia tidak mau menemuiku?"
Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, pintu rumah terbuka, dan seorang wanita keluar—bukan Nesya, tetapi seseorang yang mirip dengannya. Kakaknya, Nisya.
Mata Nisya langsung tertuju pada mobil mewah yang terparkir di depan rumah. Keningnya berkerut, lalu ia berjalan mendekat dengan hati-hati.
Jae Hyun akhirnya mengambil napas dalam dan keluar dari mobil.
Nisya menatapnya dengan penuh tanya. "Anda siapa?" tanyanya sopan, tetapi ada sedikit kewaspadaan di matanya.
Jae Hyun berdeham, mencoba bersikap tenang. "Aku... Jae Hyun. Aku datang untuk menjenguk Nesya. Apakah dia ada di rumah?"
Nisya masih terlihat ragu, tetapi sebelum ia bisa menjawab, suara ibu Nesya terdengar dari dalam rumah.
"Siapa, Nisya?"
Nisya menoleh ke dalam dan menjawab, "Tampaknya teman Nesya, Bu."
Sejurus kemudian, ibu Nesya muncul di ambang pintu. Begitu melihat Jae Hyun, wanita itu tampak terkejut.
"Jae Hyun?"
Jae Hyun membungkuk sedikit sebagai tanda hormat. "Selamat siang, Ibu. Saya mendengar Nesya sakit, jadi saya ingin menjenguknya. Jika tidak keberatan."
Ibu Nesya saling pandang dengan Nisya, lalu mengangguk kecil. "Silakan masuk, Nak."
Jae Hyun melangkah masuk dengan perasaan campur aduk. Ia tak tahu apa yang akan terjadi, tetapi satu hal yang pasti—dia ingin melihat Nesya.
Di dalam kamar, Nesya berbaring tempat tidur, memegangi perutnya yang terasa perih. Dokter sudah memberinya obat, tetapi rasa sakit di lambungnya masih mengganggu. Ia hanya ingin beristirahat dan tidak ingin bertemu siapa pun—terutama Jae Hyun.
Sementara itu, di ruang tamu, Jae Hyun duduk dengan gugup. Ini pertama kalinya ia masuk ke rumah Nesya. Suasana sederhana tetapi hangat. Tak lama kemudian, Ayah Nesya yang baru saja pulang kerja muncul.
"Siapa ini?" tanya Ayah Nesya, menatap Jae Hyun dengan penuh selidik.
Ibu Nesya tersenyum kecil. "Namanya Jae Hyun, Yah. Dia teman Nesya dari kantor, datang menjenguk."
Jae Hyun segera berdiri dan membungkuk dengan sopan. "Salam hormat, Pak. Saya Jae Hyun."
Ayah Nesya memperhatikan pemuda itu dengan tatapan tajam. "Kenapa repot-repot datang ke sini? Nesya baik-baik saja?"
Jae Hyun menelan ludah. "Saya mendengar dia sakit dan ingin memastikan keadaannya."
Ayah Nesya menghela napas lalu duduk. "Nesya sudah ke dokter. Dia hanya butuh istirahat."
"Kalau begitu... apakah saya bisa menemuinya sebentar?" Jae Hyun bertanya hati-hati.
Ibu Nesya menoleh ke kamar putrinya. "Sejak tadi dia tidak mau bertemu siapa pun. Mungkin lebih baik kamu pulang dulu, Nak Jae Hyun."
Jae Hyun tampak kecewa, tetapi ia tidak bisa memaksa. "Baik, Ibu. Kalau begitu, bisakah Ibu menyampaikan pesan saya? Tolong bilang pada Nesya... jangan terlalu keras pada dirinya sendiri. Saya berharap dia lekas sembuh."
Ibu Nesya tersenyum lembut. "Tentu, Nak."
Jae Hyun menundukkan kepala sekali lagi, lalu berpamitan. Saat keluar dari rumah itu, hatinya terasa semakin gelisah.
"Kenapa aku harus sekhawatir ini pada Nesya?" gumamnya dalam hati.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak