#SiMujur
Bejo Fajar Santoso, atau Jo, adalah pria berumur 25 tahun yang selama hidupnya selalu diliputi kesialan. Namun, hidup Jo berubah drastis setelah dirinya bertemu dengan Athena Dewi Sarayu, wanita yang disebut-sebut sebagai wanita paling beruntung abad ini. Cantik, kaya, sukses, dan memiliki pacar seorang pengusaha tampan, Tina punya segalanya. Tapi, keberuntungannya lenyap saat nasib sial Jo berpindah kepadanya!
Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Dapatkah Tina mengembalikan keberuntungannya, atau akankah Jo akhirnya bisa merasakan keberuntungan seumur hidup? Ikuti kisah mereka disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Restu Papa
"Inget ya Jo, nanti apapun ucapan Papa Gue, jawabannya cuma dua, 'iya' dan 'nggak tau'," Tina menegaskan dengan nada serius sambil menatap tajam ke arah Jo. Saat ini mereka sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah orang tua Tina. "Kalau nanti Papa ngeluarin jokes bapak-bapak, Lo tinggal ketawa aja, oke?"
Jo, yang sedang didandani oleh pelayan di rumah Tina, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu, Tina berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Bertemu dengan papanya jauh lebih membuatnya gugup dibandingkan bertemu dengan kolega di perusahaannya.
Papa Tina dikenal sebagai seorang lelaki yang perfeksionis. Sama seperti Tina, Papa selalu memiliki standar yang tinggi dalam hal apapun. Termasuk bagi semua laki-laki yang mendekati Tina. Tidak semua pria yang pernah dikenalkan oleh Tina akan mendapatkan restunya. Bahkan Andra, yang dulu terkenal dengan kesempurnaannya pun tidak lolos penilaian ketatnya Papa. Jadi, saat ini Tina merasa was-was dengan Jo.
"Kamu udah siap Tina?" Yena bertanya dengan khawatir. "Apa rencana kamu supaya Papa mu merestui kalian berdua?"
"Gue akan melakukan apapun," tekad Tina. "Entah harus pura-pura hamil, pura-pura bucin akut, atau sampai pura-pura sakit seperti Mama. Pokoknya gue akan melakukan semuanya untuk mendapat restu Papa,"
"Kalau orang-orang mendengar ini, mereka pasti mengira kamu sudah jatuh cinta beneran sama Mas Jo sampai rela melakukan apapun," Yena tertawa, sedangkan Tina hanya menatapnya sinis.
Setelah selesai bersiap-siap, Jo dan Tina pun akhirnya pergi ke rumah orang tua Tina. Jo menelan ludahnya kasar saat menatap bangunan megah di depannya.
"Astaga, apa ini istana?" gumam Jo terkagum-kagum.
"Jo," Tina menggenggam erat tangan Jo. "Untuk kali ini, gue benar-benar butuh keberuntungan Lo,"
Jo menganggukkan kepalanya meski sebenarnya dia sendiri merasa ragu. "Baik Bu,"
Dengan tekad kuat, mereka berdua pun masuk ke rumah itu.
"Selamat datang," Orang yang menyambut mereka pertama kali adalah Mama. "Ayo, kami sudah menunggu kalian berdua dari tadi,"
Tina mengeratkan genggaman tangannya pada Jo, mengisyaratkan kalau saat ini dirinya sedang benar-benar gugup. Aneh memang, padahal ini adalah rumah orangtuanya sendiri, tapi Tina merasa canggung untuk masuk ke rumah itu.
Mama mengantarkan mereka berdua ke meja makan, dimana Papa sudah menunggu sambil membaca koran. Saat Tina dan Jo masuk, Papa langsung menurunkan korannya dan menatap mereka berdua.
"Hai Pa," Tina pura-pura bersikap biasa-biasa saja. Ia menghambur ke pelukan sang Papa, berharap hal itu akan mencairkan hati lelaki ini. "Papa sehat kan?"
"Hm," jawaban yang sangat singkat ditambah dengan tatapan tajam Papa pada Jo.
Tina menelan ludah. Waduh, kenapa suasananya sudah begini deh?
"Jo, salim sana sama Papa gue," Bisik Tina pada Jo. Jo pun maju untuk mendekati Papa. Sejak tadi Jo juga tidak berhenti untuk memandang ayah kandung Tina itu lekat-lekat. Saat sudah sangat dekat dengan Papa, barulah Jo menyeletuk.
"Agung Wira Salim kan?"
Tina dan Mama terbelalak. Bisa-bisanya Jo menyebut nama lengkap Papa begitu saja!
Kening Papa berkerut, rasa-rasanya kemarahannya sudah akan meledak sebelum Jo melanjutkan ucapannya.
"Legenda catur yang mendapatkan medali emas di usia dua belas tahun, kan?" senyum di wajah Jo merekah. "Saya sudah lama ngefans dengan Anda!"
"Hah?" Tina dan Mama tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut mereka. Kedua wanita itu tampak saling berpandangan khawatir. Suasana di ruang makan seketika berubah hening, semuanya menunggu respon dari Papa.
"Astaga," Tak disangka-sangka, Papa tersenyum lebar sambil menjabat tangan Jo. "Betul sekali, tidak banyak orang yang tahu tentang hal itu. Aku bahkan sudah pensiun dari dunia catur setelah pertandingan terakhir kali. Kamu kelihatannya masih muda, bagaimana kamu bisa tau?"
"Dulu waktu kecil, bapak saya sering mengajak saya main catur. Di saat itulah beliau sering menceritakan tentang kehebatan seorang Agung Wira Salim, bahkan mengajak saya menonton ulang pertandingannya lewat kaset. Kalau tau hari ini saya bertemu Anda, dia pasti senang sekali," Jo berkata jujur, sama sekali tak dibuat-buat.
"Ya Tuhan, aku benar-benar tersanjung. Kemarilah, duduk di sebelahku. Apa saja yang sudah diceritakan bapakmu tentangku?" Papa kelihatan antusias, ia bahkan menarikkan kursi di dekatnya agar Jo bisa duduk. Setelah itu, dua pria berbeda usia itu tampak larut dalam pembicaraan yang seru.
"Wah Tina, kamu hebat sekali merencanakan hal itu untuk meluluhkan hati papamu," Mama berbisik sambil menyenggol Tina. Tina memandang Mama sambil menggelengkan kepala.
"Tina sama sekali tidak merencanakan hal ini Ma. Tina bahkan tidak tau kalau dulu Papa pernah main catur,"
"Oh ya? Astaga, berarti calon menantu Mama itu benar-benar hebat," Mama memandang Jo dengan kagum. "Kamu harus bersikap baik padanya ya, Mama suka dengan dia,"
Tina melirik mamanya sinis. "Tidak untuk menjadikannya brondong Mama, kan?"
"Astaga Tina! Yang kemarin itu Mama cuma bercanda kali!" Mama tertawa terbahak-bahak. "Sudah ah! Ayo kita ikut bergabung dengan mereka!" ucap Mama sambil melangkah ke meja makan dimana Papa dan Jo masih mengobrol dengan seru.
"Pa, sudah dong ngobrolnya. Jo kan baru datang, biarin dia makan dulu," Mama memperingatkan.
"Astaga, Mama benar. Papa terlalu asyik mengobrol sampai tidak menawari kamu makan. Apa yang kamu suka, Jo? Papa akan menyuruh pelayan membuatkannya," Papa bertanya pada Jo dengan antusias.
Tina langsung mencebik di dalam hati, loh, loh, sejak kapan Jo manggil papa gue dengan sebutan Papa? Kedengarannya kok lebih seperti anaknya sendiri ketimbang gue ya?
"Ah, tidak perlu Pa. Makanan yang ada di sini sudah cukup," Jo menjawab sambil tersenyum.
"Hei, tidak usah malu-malu. Katakan saja apa yang kamu butuhkan, ya?"
"Baik Pa,"
Makan malam pun berlangsung dengan damai. Semua skenario Tina untuk membujuk sang Papa sama sekali tidak berguna. Jo benar-benar bisa langsung mengambil perhatian dan restu Papa tanpa perlu Tina turun tangan sama sekali. Benar-benar suatu kebetulan yang menguntungkan.
Setelah makan malam, Papa kemudian mengajak Jo bermain catur di ruang tengah. Jo yang memang tidak terlalu pandai bermain catur tentu saja selalu kalah melawan Papa, tapi hal itu malah membuat Papa senang.
"Kehebatan seorang Agung Wira Salim memang tidak perlu diragukan lagi," puji Jo sungguh-sungguh, membuat Papa langsung tertawa bangga. Tina dan Mama yang memperhatikan mereka dari jauh hanya bisa berbisik-bisik.
"Calon menantu Mama benar-benar pintar. Dia tau papamu suka dengan pujian, jadi dia memanfaatkannya dengan baik," Mama berbisik, wajahnya penuh kagum.
Tina mengangguk setuju, melihat betapa Jo bisa membuat suasana yang awalnya tegang menjadi lebih hangat dan akrab membuatnya merasa kagum. Meski awalnya ia ragu, sekarang ia yakin Jo adalah pilihan yang tepat untuk menjadi partner pernikahannya.
Setelah beberapa kali permainan catur yang selalu dimenangkan oleh Papa, malam itu pun berakhir. Jo dan Tina berpamitan untuk pulang, dengan Papa dan Mama mengantar mereka sampai ke pintu.
"Jo, kamu harus sering-sering main ke sini. Papa suka sekali mengobrol dan bermain catur denganmu," kata Papa dengan senyum lebar.
"Tentu saja Pa, saya juga suka bisa bermain dengan idola saya," jawab Jo sambil menggenggam tangan Papa erat-erat.
"Kapan-kapan, bawalah bapakmu itu ke sini. Bilang Papa mau bertemu,"
"Baik Pa, bapak pasti senang sekali mendengarnya,"
Usai berpamitan, Tina dan Jo pun kembali ke rumah. Selama perjalanan, Tina tak henti-henti mencuri pandang ke arah Jo. Ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada lelaki itu.
"Bu, Ibu mau ngomong apa sama saya?" tanya Jo tiba-tiba.
"Hah? Ng-nggak kok," Tina buru-buru memalingkan muka.
"Kenapa dari tadi Bu Tina ngelihatin saya terus?"
"Heh, nggak usah kepedean ya! Gue dari tadi ngeliatin jalan yang ada di samping Lo itu!" kilah Tina.
"Oh, gitu ya. Saya kira dari tadi ibu ngelihatin saya,"
"Mana mungkin? Jangan kepedean jadi orang!"
"Yaudah sih Bu, nggak usah marah-marah,"
"Ya Lo sih!" Tina tetap berkilah. Padahal kalau saat ini dadanya diperiksa oleh stetoskop, pasti detak jantungnya kedengeran sangat berisik.
Kenapa Lo pakai deg-degan segala sih, Tina? Batinnya kesal.
lagian, orang baru dgn pengetahuan terbatas suruh mikir sendiri..
cemburu boleh tapi jgn gitu juga kali pakai ngaku hamidun segala 😩
wkwk, Tina manas-manasin siti🤭🤭
Selamat membaca bab 28 gaes😘😘
Kasih semangat buat Jo mau ketemu Papa camer😚