Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Ingin Sendiri
Hampir sepuluh menit Lengkara menunggu, usai berganti pakaian dia memang berlalu ke ruang tamu dengan alasan hendak menemui Bima. Padahal, kala Bima mengucapkan kalimat itu, dia menggerutu dan membantin bahwa dia tidak bertanya. Kini, nyata dia benar-benar mencarinya.
Lengkara memperbaiki posisinya kala Bima dan sang mertua berjalan ke arahnya, sejak tadi wanita itu bersandar sembari memandangi seisi ruangan, semua tampak tertata dan barang-barang Yudha di rumah lama sudah berpindah.
Sudah jelas beserta kenangan mereka, bisa-bisanya Yudha memutuskan semua secara sepihak sementara foto mereka berdua ketika liburan di Bandung masih terpanjang di sana.
"Apa tidak menginap saja, Nak?"
Pertanyaan itu sangat manis sebenarnya, tapi untuk saat ini tidak sama sekali. Lengkara menolak secara halus, mana bisa dia terlelap di atap yang sama bersama Yudha dalam keadaan begini, terlebih lagi kamar mereka bersebelahan.
"Tidak, Bu ... lain kali saja ya," ucap Lengkara tersenyum hangat, sekesal-kesalnya jelas dia tidak bisa bersikap seenaknya di hadapan wanita paruh baya itu.
"Maafkan ibu, Lengkara."
Hanya itu yang bisa ibu Runi katakan, sudah dia duga bahwa langkah Yudha tidak berbeda dengan bom waktu yang tidak dapat diterka kapan meledaknya. Sebagai orangtua, terutama ibu dia jelas tidak menyetujui keputusan Yudha awalnya.
Namun, keras kepala yang melekat dalam diri Atmadjaya benar-benar menurun pada diri Yudha. Kini, semua sudah telanjur, hanya maaf dan harapan ketiganya baik-baik saja, itu saja.
Lengkara sempat menangis dalam pelukan wanita itu, tapi mana mungkin dia meraung karena sudah lelah. Seperti yang dia katakan, Lengkara tidak ingin tidur di sini dan Bima hanya mengikuti kemauan istrinya.
Tidak menunggu hujan reda, keduanya tetap berlalu meninggalkan rumah itu. Menyisakan Yudha yang menatap kepergian mereka, dia merindukan Lengkara, tapi sama sekali tidak berharap dipertemukan dengan cara seperti ini.
"Maaf, Lengkara ... aku benar-benar gagal membahagiakanmu," tutur Yudha perlahan seraya menatap mobil Bima yang perlahan menghilang dari pandangan matanya.
Sesuai dengan keyakinan Yudha, caranya membahagiakan kali ini memang sangat-sangat salah. Lengkara yang saat ini duduk di sisi Bima masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran dua pria ini.
Yudha mengatakan jika dia sangat cinta, bahkan terlampau cinta. Karena itu dia khawatir tidak akan mampu membahagiakan Lengkara jika dirinya yang bertindak.
Pikirannya masih tidak berada di tempat, sepanjang perjalanan dia hanya diam tanpa suara. Andai Bima turunkan di pinggir jalan juga lebih baik, Lengkara mungkin akan memilih pergi begitu saja.
Rintik hujan kali ini benar-benar bertahan cukup lama, hampir satu jam perjalanan mereka belum reda juga. Hingga, Bima memilih salah satu hotel bintang lima di sekitar sana lantaran khawatir celaka andai nekat pulang ke rumahnya.
"Kenapa berhenti?" tanya Lengkara menatap malas Bima yang tampak bingung hendak menjawab apa.
"Hujan, kita pulang besok saja."
"Hujan air, bukan salju ataupun batu," celetuk Lengkara menatap kesal tanpa arah.
"Jika sendiri akan kuteruskan, masalahnya aku bersamamu," jawab Bima singkat dan membuat Lengkara menghela napas berat.
Mau tidak mau, dia terpaksa mengekor di belakang Bima dengan langkah pelan seakan hidup segan mati tak mau, kira-kira begitu rasanya. Jelas sekali perbedaan Bima dan Yudha di sini, beberapa orang tampak menyapanya patuh, dan pria itu hanya berlalu usai memperlihatkan senyum tipis.
Diamnya Lengkara berlangsung hingga tiba di kamar, kepala wanita itu terlalu sakit akibat banyak menangis hingga memilih menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Mungkin hanya butuh beberapa menit untuk membuatnya terpejam, tapi mata Lengkara kembali terbuka lebar kala menyadari Bima kini duduk di sofa yang berada di hadapannya.
"Kita sekamar?"
"Menurutmu? Aku harus tidur di kamar yang lain?" tanya Bima mengerutkan dahi, kemarin-kemarin saja tidak masalah, bahkan semalam tidak sengaja dipeluk juga aman saja, kenapa sekarang mengerikan begini.
"Akan lebih baik begitu, aku tidak tahu apa isi otakmu."
Sial, dia curiga? Jika benar niat Bima sepicik itu sudah jelas dari kemarin-kemarin dia mencuri kesempatan. Bahkan, malam pertama adalah kesempatan emas jika memang Bima mau, pikirnya menatap Lengkara tak percaya.
"Jika memang aku mau sudah dari kemarin-kemarin!!"
Lengkara tidak lagi menjawab, dia memilih membelakangi Bima dan memeluk tubuhnya yang lesu. Tidak ingin berdebat, tapi memang ketika mendengar respon Bima, mendadak dia naik darah.
"Kamu sudah makan?"
Belum sebenarnya, sarapan saja belum, tapi dimana rasa lapar Lengkara, tidak lagi ada. Beberapa saat terdiam, dia tetap memilih bungkam kala Bima bertanya padanya.
"Kara_"
"Aku tidak lapar."
"Makan tidak harus menunggu lapar," sahut Bima masih enggan mengalah dan Lengkara semakin sakit kepala.
"Dan aku tidak mau."
"Lalu apa yang kamu mau?"
"Sendiri, aku ingin sendiri saat ini," jawabnya terpejam, Bima mengusap wajahnya kasar seraya menyesali keputusan untuk bertanya padanya.
.
.
- To Be Continued -
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya