bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hari baru hidup baru
“Apakah Nyonya ingin mandi?” tanya salah satu maid, seorang perempuan berambut cepol rapi.
Miranda mengangguk pelan. “Iya… mungkin mandi.”
“Mari, Nyonya,” ucap maid lain sambil mempersilakan.
Mereka membuka pintu samping kamar. Miranda langsung melongo. Kamar mandi itu lebih besar daripada seluruh kamar tidurnya di rumah ayahnya. Lantainya marmer putih, wastafel kembar, shower kaca yang luas, dan sebuah bathtub besar dari batu marmer yang mengilap.
“Ya Allah… ini kamar mandi atau hotel bintang tujuh,” batin Miranda kaget sendiri.
“Silakan duduk dulu, Nyonya,” ucap salah satu maid sambil menyalakan keran bathtub. Air panas perlahan mengisi bak, mengeluarkan uap tipis yang wangi. Floralnya lembut sekali.
“Wangi apa ini?” tanya Miranda polos.
“Lily dan jasmine, Nyonya. Favorit Tuan Rian untuk para tamu,” jawab maid lain.
Miranda mengangguk, walau tidak tahu harus membalas apa. Dua maid lain membantu melepaskan pakaian Miranda secara sopan. Miranda memerah sampai telinga.
“Saya bisa sendiri,” ucap Miranda kikuk.
“Kami sudah terbiasa membantu. Tidak perlu malu, Nyonya,” jawab maid itu sopan sambil tersenyum.
Miranda ingin sekali menutupi wajahnya. Duh norak banget aku, baru kali ini dimandiin orang. Ini kayak drama Korea, tapi versi malu campur takut.
Setelah air penuh, salah satu maid mempersilakan. “Silakan masuk, Nyonya.”
Miranda perlahan masuk. Airnya hangat, lembut di kulit. Begitu duduk, ia hampir mendesah lega.
“Enak sekali… astaga, ini surga,” gumam Miranda pelan.
Para maid saling menahan senyum.
“Jika Nyonya butuh pijatan atau ingin rambutnya dicuci, kami siap,” ucap maid yang berdiri dekat kepala Miranda.
“Eh… boleh keramas,” jawab Miranda malu-malu.
Mereka mencuci rambut Miranda dengan telaten. Busanya wangi, jari-jari mereka menekan lembut di kulit kepalanya. Miranda hampir ketiduran.
Setelah cukup lama berendam, mereka membantu Miranda bangkit. Handuk tebal disampirkan ke tubuhnya. Miranda kaget karena handuknya lembut sekali, seperti kapas.
“Kenapa handuknya empuk begini… harganya berapa ini ya,” batin Miranda sambil digiring kembali ke kamar.
Di atas ranjang sudah disiapkan pakaian tidur. Miranda terpaku. Bahannya satin tipis, warna baby pink, lembut tapi sedikit menerawang.
“Ini… buat saya?” tanya Miranda kaget.
“Ya, Nyonya. Ini pakaian tidur standar untuk istri tuan,” jawab maid sambil memeganginya.
Miranda ingin protes karena terlalu tipis, tetapi ia hanya mengangguk pasrah. Setelah mengenakannya, ia melihat pantulannya di cermin. Ia agak syok.
“Astaga… ini aku? Kok kayak mau syuting drama percintaan,” gumam Miranda lirih.
Para maid kembali tersenyum sopan. “Nyonya sangat cocok.”
“Terima kasih…” jawab Miranda malu.
Mereka mempersilakan Miranda naik ke ranjang. Ranjangnya sangat besar, bantalnya banyak, dan kasurnya super empuk. Begitu ia duduk, tubuhnya tenggelam.
“Ya Tuhan… empuk sekali… ini kasur atau awan,” batin Miranda sambil memeluk bantal.
“Apakah Nyonya membutuhkan sesuatu lagi?” tanya salah satu maid.
Miranda berguling pelan di kasur, nyaris lupa semua kesedihannya. “Tidak… saya mau tidur dulu.”
Para maid membungkuk dan keluar perlahan, mematikan lampu utama dan meninggalkan cahaya temaram.
Miranda memejamkan mata. “Enak sih… tapi tetap saja… aku dibeli orang,” bisiknya pelan sebelum akhirnya ia tertidur di kasur super empuk itu.
Handoko berdiri di ambang pintu, memandangi kamar Miranda yang gelap. Berkali-kali ia menelan ludah. Ada sesuatu yang hilang. Ada ruang kosong yang tidak bisa ia jelaskan.
“Apakah dia diperlakukan baik oleh Pak Reza atau sebaliknya,” gumamnya lirih.
Bayangan wajah Miranda terlintas. Wajah lesunya malam tadi, cara gadis itu menunduk pasrah, dan langkah beratnya saat keluar dari rumah. Dadanya terasa sesak, sesuatu mendorong di belakang matanya. Ia buru-buru mengedip sebelum air mata itu benar-benar jatuh.
“Kenapa Tuan memandangi kamar Neng Miranda?” suara Bi Mirna memecah keheningan.
Handoko terkejut dan cepat-cepat mengusap matanya. “Kamu baru bangun, Bi?”
Bi Mirna mengangguk lemas. “Iya, Pak. Tadi Bu Miranti kasih saya jus. Habis minum itu badan saya langsung ngantuk berat. Saya sampai ketiduran. Maaf ya, Pak.”
“Tidak apa-apa,” jawab Handoko pendek.
Bi Mirna menarik napas pelan. “Neng Miranda kok belum pulang, Pak. Tapi suami saya ada di kamar… biasanya Neng Miranda ikut saya nonton drama Korea. Ke mana ya dia?”
Handoko mengalihkah pandangannya dari pintu kamar Miranda. “Dia mau menikah, Bi.”
Bi Mirna terperangah. Raut wajahnya berubah sendu seketika. “Menikah? Apa Tuan jadi menukar Neng Miranda dengan hutang itu?”
Handoko terdiam sesaat sebelum menjawab, “Aku tidak menukarnya. Dia yang mau.”
Setelah itu ia berlalu, meninggalkan Bi Mirna berdiri terpaku.
Bi Mirna menatap punggung Handoko yang menjauh, lalu perlahan masuk ke kamar Miranda. Ruangan kecil itu terasa lebih dingin dari biasanya. Kasur tipis, lemari tua, dan cat dinding mengelupas menyambutnya.
Ia duduk di tepi ranjang dan memeluk selimut Doraemon yang pernah ia beli di pasar malam sebagai hadiah ulang tahun Miranda. Aroma bedaknya masih tertinggal.
Air mata perlahan jatuh.
“Kenapa… kenapa kalian tega sekali,” bisiknya gemetar. “Diabaikan saja dia sudah sakit hati. Sekarang kalian menjualnya juga.”
Bi Mirna menggigit bibir, memeluk erat selimut itu seolah bisa menarik Miranda kembali.
“Neng Miranda… di mana pun kamu berada, semoga kamu baik-baik saja,” ucapnya lirih sambil terisak.
“Mir, kenapa kamu menangis?” tanya Pak Agus yang baru masuk ke kamar Miranda. Matanya masih sembap karena baru bangun.
“Pa… Neng Miranda dijual, Pak… Mereka jahat sekali…” suara Bi Mirna pecah.
Seketika tubuh Pak Agus menegang. “Ka… kapan, Mir? Kapan? Kenapa aku nggak tahu? Bodoh sekali aku, kenapa tadi langsung tidur!” geramnya sambil mengepalkan tangan.
“Tadi waktu aku dan kamu tertidur,” jawab Bi Mirna lirih.
“Kurang ajar mereka… tega sekali…” amuk Pak Agus, wajahnya merah menahan marah.
Bi Mirna memeluk dirinya sendiri, napasnya gemetar. “Sepertinya nggak ada alasan lagi buat kita bertahan di sini, Pak…”
“Tunggu dulu, Mir,” cegah Pak Agus cepat. “Kita tetap harus di sini. Kita cari informasi dulu. Ingat, ada hal yang harus kita jaga. Kita harus temukan Neng Miranda dulu baru kita putuskan langkah selanjutnya.”
Bi Mirna terdiam. Rasa bersalah makin menghimpit dadanya.
- - -
Sementara itu, orang yang mereka khawatirkan tidur terlelap tanpa beban. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Miranda merasakan kasur empuk yang hangat, tidak perlu takut dimarahi atau dihukum. Di rumah, sedikit kesalahan saja membuatnya dihajar kakak-kakaknya. Tapi malam ini… ia akhirnya merasakan tenang.
..
..
Pagi datang. Begitu membuka mata, Miranda langsung menatap jam dinding. Jarumnya sudah menunjuk pukul enam.
“Mang Agus! Bi Mirna! Kenapa nggak bangunin aku? Aku bisa dimarahin Kak Lusi kalau kesiangan!” serunya refleks.
“Selamat pagi, Nyonya,” empat maid menyapa serempak.
“Hah? Di… mana aku…?” gumam Miranda dengan wajah panik.
Beberapa detik kemudian ia menepuk dahinya sendiri. “Ah iya… aku lupa. Aku kan udah di rumah orang… Tapi kenapa bangunnya kesiangan lagi, sih…” gerutunya frustasi.
“Ini masih sangat pagi, Nyonya,” jawab Lina, maid paling senior. “Apakah Anda ingin tidur lagi? Atau ingin mandi? Tapi menurut saya, lebih baik mandi sekarang. Agenda Anda hari ini cukup padat.”
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya