Siapa sangka, Annisa yang memiliki keinginan untuk menikah di usia tiga puluh tahun. Harus tiba-tiba menikah di usia dua puluh satu tahun dengan seorang duda beranak satu lagi!
Annisa tahu ini salah dirinya, karena panik saat orang tuanya memilih untuk menjaminkan dirinya dengan rentenir. Dia nggak mau menikahi rentenir tua itu untuk menutupi hutang kakaknya.
Tapi ... akibat kecerobohannya, kini dia sudah menikah. Apa yang harus Annisa lakukan? Apakah dia bisa menjadi istri yang baik? dan .. bagaimana dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slwarulla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman
Di tengah perasaan bahagianya. Kini Annisa dilanda rasa gundah gulana saat melihat ibunya terus saja menghubungi dirinya. Sejak tadi ponselnya terus saja bergetar dan mati. Kembali menyala dan mati. Terus saja begitu. Bukannya Annisa nggak mau mengangkat. Tapi selama ini orang tua nya sama sekali nggak pernah menghubungi dia sama sekali.
Bahkan untuk menanyakan kabar sekali pun.
Dan Annisa rasa, kalau mereka tiba-tiba menelepon seperti ini. Pasti ada hal penting yang terjadi dan itu pasti berurusan dengan uang.
Annisa tampak ragu untuk mengangkatnya.
"Angkat nggak ya, kalau nggak angkat. Nanti ibu marah terus ngerasa aku ini anak durhaka. Tapi kalau di angkat, Annisa khawatir ada hal penting yang nantinya malah buat Annisa jadi susah sendiri. Dia beneran nggak mau kalau ibu nya meminta sesuatu lagi."
Ia benar-benar dibuat pusing sama masalah yang lagi dia hadapi. Ia menghela napas kasar dan menggeleng kecil.
"Tapi ... nanti aku mau pergi sama yang lain. Jadi, kayaknya aku nggak boleh ganggu acara nanti sama teleponan dari ibu deh. Iya ... kayaknya emang aku harus angkat."
Annisa berdoa dalam hati, berharap ibunya hanya bertanya kabar pada dirinya dan nggak ada lagi urusan sama uang.
"Assalamu'alaikum bu."
/Kamu sengaja ya, angkatnya lama! kamu enak di sana tapi buat angkat telepon ibu aja susah! dasar anak durhaka! gak tau diuntung kamu!/
Annisa memejamkan mata. Selalu saja begini. Ibunya selalu mengatakan yang dia mau tanpa memikirkan perasaan dia sama sekali.
"Bu .. maaf ini mah, tapi aku tadi ada kerjaan," dusta Annisa. "HP nya aku tinggal di kamar. Jadi, aku nggak denger sama sekali. Udah lah ... jadi ibu ada apa nelepon aku? ibu butuh sesuatu?" tebak Annisa dan ibunya di seberang sana langsung tertawa.
"Kamu memang selalu tahu apa yang ibu lagi butuhin. Jadi gini nak ... kamu kan udah jadi orang kaya dan ibu jadi dapet bulanan yang lumayan gede tiap bulannya. Tapi sekarang ibu lagi butuh sesuatu. Kamu mau kan bayarin nya?"
"Bu ... yang kaya kan suami aku. Jadi, aku nggak bisa setujuin permintaan ibu sama sekali. Maaf ya bu. Tapi ini beneran nggak bisa banget."
"Dih ... dasar pelit banget! uang suami kamu tuh ya uang kamu juga. Jadi, nggak ada alasan kalau kamu nolak apa yang ibu mau. Awas aja kalau sampai nolak! ibu ceritain ke semua orang tentang penyimpangan kakak kamu!"
"IBU!"
Annisa berusaha meredakan emosinya yang menggebu. Dia beneran sangat benci di saat ibunya selalu saja ngomong kalau penyimpangan yang terjadi di kakaknya akan di cerita kan. Karena ibunya sangat tahu, kalau Annisa berusaha untuk menyembunyikan masalah ini.
Bukan apa ...
Tapi, kalian tahu kan omongan para tetangga? Sampai detik ini terkadang Annisa ingin kakaknya bisa kembali seperti dulu. Bahkan kalau nanti mereka bertemu, ingin rasanya Annisa mengajak kakaknya untuk kembali ke jalan yang benar.
Makanya, Annisa selalu ketakutan kalau ibunya sudah mengancam seperti itu. Dia nggak mau kakaknya itu sampai berjalan ke arah yang salah. Dia beneran nggak mau kehilangan sosok kakaknya. Walau di sisi lain dia juga benci sama kakaknya.
"Diam kan kamu ... makanya mikir dulu. Udah lah, ibu butuh uang. Ibu punya keperluan. Jadi cepet transfer ke ibu. Bilang ke suami kamu kalau uang bulanan kemaren aja kurang. Jadi, ibu butuh lagi ..."
"Bu!"
"*Berisik ... nggak usah teriak lagi. Dari pada capeknya diri dengan teriak, mendingan kamu cepetan transfer ke ibu."
Annisa menepuk wajahnya dan menghela napas kasar.
"Bu ... hayolah, jangan kayak gini. Aku jadi nggak enak sama mas Bram. Ibu udah dikirim banyak uang sama mas Bram. Masa semuanya jadi kurang sih? Ayolah bu. Jangan boros. Mas Bram udah kasih banyak hal yang ibu mau. Masa ibu mau nguras semuanya lagi? malu bu ... dan aku beneran gak enak banget sama mas Bram."
"Sepertinya kamu beneran nyepelein ancaman ibu!"
Zaina menepuk keningnya. Dia benar-benar frustasi banget. Ia melirik jam, masih ada tiga jam sebelum dia berangkat untuk menemui anaknya. Jadi, Zaina masih ada waktu untuk bicara dengan ibunya terlebih dahulu.
Zaina kemudian menghampiri halaman belakang mansion yang cukup sepi. Dia duduk di sana sambil menatap langit, tak lengannya tetap ada di telinga untuk menerima panggilan itu.
"Bu ..."