Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacari nya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.
Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.
Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh. Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.
Dan, hidup Regina pun berubah dari sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2. Direktur Baru.
“Selamat pagi, yang mulia Ratu.” William mengecup pipi sang mama yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.
“Pagi, sayang.” Balas nyonya Aurel, wanita dewasa yang kini memasuki usia 55 tahun, tetapi masih terlihat sangat cantik. Mungkin karena perawatan kulit yang sering ia lakukan bersama sang putri. Membuatnya masih terlihat segar di usia lanjut.
“Pagi, bawel.” William beralih mengecup pipi sang adik yang sedang duduk di salah satu kursi di meja makan. Kemudian duduk di sebelah kiri gadis itu.
Willona Aurelie Sanjaya, adik perempuan satu-satunya yang William miliki, mereka terpaut usia 7 tahun.
“Pagi.. tumben bang, semangat sekali ke kantornya, biasanya juga ogah-ogahan.” Ledek sang adik yang berprofesi sebagai model itu.
“Memangnya kenapa? Aku sudah dewasa, sudah sepantasnya turun gunung menggantikan posisi yang mulia Raja.” Ucap William mencebik. Tangannya terulur meraih piring di hadapan sang mama. Namun belum sampai, tangannya telah di tepis oleh mamanya.
“Tunggu papa dulu.”
“Astaga.” William mendengus kesal. Untuk sarapan saja harus menunggu sang papa. Sementara perutnya sudah meronta minta di isi.
“Ini yang mulia raja kemana sih? Bagaimana jika aku terlambat ke kantornya?” Pria itu kembali menggerutu.
“Pagi semuanya.” Sang kepala keluarga yang di tunggu-tunggu sedari tadi, akhirnya turun juga. Membuat William membuang nafasnya lega.
“Yang mau di sambut itu aku, pa. Kenapa papa yang berdandan terlalu lama sih?”
“Memangnya kenapa? Papa juga ingin terlihat tampan disisi mu nanti.”
Nyonya Aurel pun meletakkan satu persatu piring yang telah terisi dengan nasi goreng, di hadapan anggota keluarganya.
“Sudah, sudah. Ayo kita makan. Bukannya kamu tadi sudah tidak sabar ingin ke kantor, Will?”
Ucapan sang mama, membuat William tersedak, meski belum memakan sesuatu.
“Pelan-pelan, Abang sayang. Belum juga makan, sudah tersedak.” Willona dengan sigap menyodorkan gelas berisi air kehadapan sang kakak.
“Benarkah, Will. Kamu sudah tidak sabar ke kantor?” Tanya pak Antony.
“Apa sih, pa. Si bawel di percaya.”
“Papa yakin, kamu akan betah bekerja di kantor papa, karyawan wanitanya cantik-cantik. Papa setuju, jika kamu memilih salah satu dari mereka.”
William memicingkan matanya ke arah sang papa. Apa jangan-jangan benar ucapannya kemarin malam dengan Regina, jika papanya betah di kantor karena wanita se*si itu?
Ah, William kembali teringat wanita yang telah merenggut keperjak*aannya.
‘Perja*ka? Sial, mulut wanita-wanita bayaran itu yang telah mengambilnya terlebih dulu.”
“Bang?” Willona menyenggol lengan sang kakak.
“Ma, jangan-jangan papa selama ini lembur cuma alasan saja. Dia pasti punya simpanan di kantor. Mama tidak curiga?” William memanasi sang mama, mencari sekutu untuk melawan pria berusia 60 tahun itu.
“Apa sih Will? Mama tau semua karyawan kantor, lagi pula papa mu mana berani macam-macam. Silahkan saja, asal sudah siap mama tinggal balik ke kampung.”
“Karyawan kantor memang cantik-cantik, ma. Tetapi tidak ada yang seperti kamu. Paket komplit.” Pak Antony mengedipkan mata kirinya kepada sang istri. Membuat wanita paruh baya itu memukul manja lengan suaminya.
William mencebik kesal. Sementara Willona hanya menggeleng, melihat tingkah kedua orang tuanya.
*****
Pagi ini, karyawan di Sanjaya Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Hari ini akan di adakan penyambutan kedatangan direktur baru, menggantikan direktur yang lama.
Regina yang bekerja sebagai sekretaris direktur, juga ikut sibuk memantau segala sesuatu yang telah di intruksikan oleh pak Antony kepada dirinya.
Ruangan yang kemarin masih di tempati oleh pak Antony. Kini sedikit di ubah, mulai dari letak meja, sofa, rak buku. Hanya mini pantry dan ruang istirahat yang tetap pada posisinya.
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, para menejer dari semua devisi telah berdiri di lobby gedung perkantoran Sanjaya Group.
Menurut berita, sang calon direktur baru telah sampai di dekat gedung bertingkat 20 itu.
Lima menit menunggu, akhirnya sebuah mobil Rolls-Royce Ghost, berwarna hitam, berhenti di depan pintu gedung perkantoran itu.
Seorang penjaga keamanan, dengan sigap berlari dan membukakan pintu untuk penumpang mobil mewah itu.
Dari sebelah kanan, turun pak Antony selaku pemilik dan direktur dari Sanjaya Group. Dan dari sebelah kiri, turun pria muda dengan setelan kerja berwarna hitam, lengkap dengan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidungnya. Membuat putra dari Antony Sanjaya itu semakin terlihat tampan.
Regina yang berdiri di barisan paling depan, dengan tangan memeluk sebuah buket bunga, hanya bisa menelan ludahnya kasar. Sembari menggigit bibir bawahnya.
Belum ada dua puluh empat jam ia bergelut dengan pria itu, kini mereka telah bertemu kembali. Masih teringat jelas di dalam ingatan wanita itu, bagaimana panasnya pergulatan mereka.
“Selamat datang, pak.” Dengan sigap sekretaris diretur itu menyerahkan buket bunga kepada putra pak Antony itu.
Di balik kaca mata hitamnya, William mengamati sekitarnya, ia pun menyunggingkan sudut bibirnya. Menerima buket bunga itu dengan kedua tangannya, namun satu tangan yang tersembunyi oleh rangkaian bunga, meraba tangan Regina. Memberi sedikit sentuhan kemudian sedikit merematnya.
“Thank you.” Ucap William sambil mengulum bibirnya. Mata dibalik kaca mata hitam itu, tanpa henti memandang bibir tipis milik Regina. Rasanya William ingin menarik wanita itu, kemudian menghimpitnya di dinding.
“Pa, dia karyawan devisi mana?” Tanyanya berbisik kepada sang papa, hanya berpura-pura tidak tau.
“Dia sekretaris papa.”
“Wow.. itu artinya dia sekretaris ku? Kalau begini. Aku pasti betah pa.”
Pak Antony mencebik, ia memukul lengan sang putra. “Jangan macam-macam, dia gadis baik-baik.”
‘Ah papa tidak tau saja, semalam dia merayuku, sehingga aku menyerahkan diri padanya.’
William pun mendekap buket bunga itu, lalu berjalan dengan anggun, bak seorang model yang sedang berlenggang di atas panggung.
“Selamat datang, pak.” Para menejer berucap dengan kompak. William membalasnya dengan senyum ramah, sambil mengangguk kecil.
Regina dan para menejer ikut mengekor di belakang ayah dan anak itu, untuk menuju ke setiap lantai tempat karyawan bekerja sesuai devisi nya.
“Kau cantik hari ini. Dan aku suka.” William memberi pujian kepada Regina melalui sebait lagu. Supaya orang lain tidak mencurigai mereka.
Regina mendengar senandung itu, namun ia tidak mau terlalu gede rasa, takut salah mengartikan, nanti malu sendiri.
Mereka baru beberapa jam berkenalan, meski perkenalkan yang anti mainstream, karena langsung berakhir di ranjang, Regina tidak mau terlalu berharap jauh.
Ia masih dalam keadaan kecewa, luka yang di goreskan Alvino terlalu dalam. Hubungan mereka juga masih menggantung.
Entah sengaja, atau memang lupa. Pria itu bahkan tidak menghubunginya, sebatas mengucapkan selamat hari jadi.
“Kita sekarang kemana, nona?”
Regina tersentak, ia mengamati sekitarnya. Hanya tertinggal dia, pak Antony dan William. Kemana para menejer yang lain?
“Ah, ya. Sekarang kita ke ruangan bapak.” Wanita itu pun menekan tombol lift, membuat kotak besi itu terbuka, kemudian mereka bertiga memasukinya.
.
.
.
Bersambung.