Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Syukuran
Hari Minggu, Niken dan Bu Lusi sudah sibuk di dapur menyiapkan acara kecil kecilan di kediaman mereka untuk ungkapan syukur atas kesembuhan Niken.
Bude Ning, juga ikut membantu di dapur, sambil ditemani oleh Laras yang juga sibuk mondar mandir di dapur, lalu ke kamarnya, lalu ke ruang tengah melihat papanya yang sibuk menata tempat, karena karyawan pabrik juga mereka undang untuk datang.
"Bu, kira kira cukup nggak, ya?" Tanya Niken sedikit khawatir dengan bakso yang menjadi hidangan mereka.
"Orang berapa sih?" Tanya Bu Lusi.
"Paling sekitar dua puluh sampe dua puluh lima, Bu."
"Cukup lah. Kan dicampur sama telur puyuh juga, kan. Jadi biar banyak isinya."
"Ya."
Niken mulai menggoreng risoles yang semalam sudah dibuatnya dan disimpan di dalam lemari pendingin.
"Mbak Niken, ini minumannya langsung saya taruh di depan saja, ya."
Ucap Bude Ning sambil membawa termos air berisi teh dan kopi panas.
"Oh, ya, Bude. Jangan lupa gelas sekali pakainya ditaruh langsung juga di meja, biar nggak lupa." Sahut Niken.
"Baik, Mbak."
*
Sementara itu, Seruni sedang bersiap-siap mematut diri di depan cermin kamarnya, bersiap hendak pergi ke rumah kakaknya.
Dewa juga sedang bersiap di kamarnya juga.
Bu Mirna seperti biasa, mengurus taman bunganya di saat senggang.
"Tumben, kalian mau ke mana?" Tanya Bu Mirna saat melihat Dewa dan Seruni keluar dari kamar masing-masing dengan pakaian rapi.
"Mau jalan, Bu." Sahut Dewa berusaha tenang
"Ke mana? Acara apa?" Tanya Bu Mirna penasaran, karena Dewa dan Seruni, jarang bepergian berdua.
"Mau ke rumah Mas Bima." Sahut Seruni.
"Ohh." Bu Mirna hanya menanggapi dengan oh saja.
"Sudah mulai sombong ya, Bima. Awas, jika dia senang senang memakai uang pabrik!" Ancam Bu Mirna dengan raut wajah tak suka.
Seruni menarik lengan Dewa untuk segera pergi dari rumah meninggalkan ibu mereka.
"Kami pergi, Bu!" Seruni berseru sambil berlalu dari hadapan Bu Mirna diikuti Dewa.
Mereka tak peduli lagi ketika Bu Mirna mulai mengomel.
"Dasar! Seharusnya lebih memilih ibunya dibanding wanita itu. Lagian apa sih, hebat nya wanita itu? Sudah miskin, jelek, sekarang cacat pula! Rasakan, kamu telah membunuh suamiku, sekarang kamu cacat seumur hidup!" Gumam Bu Mirna mengomel pada Niken, yang selama ini tidak disukainya.
*
"Halo, Bulik Runi!" Laras memeluk Seruni ketika tiba di rumah.
"Wah, sudah cantik sekali ponakan, Bulik ini. Masak apa sih, wangi banget ini!" Seruni sambil mengendus endus kan indera penciuman miliknya.
"Ayo, lihat ke dalam!" Laras menarik tangan Seruni ke dalam rumah.
Dewa menyalami kakaknya, sambil membantu merapikan tempat, karena para tamu belum berdatangan.
"Bulik, lihat! Ini ada bakso, lalu ada kue kue, terus makanan. Ada pecel juga, lalu ada lotis, ada air putih. Kata Mbah Ning kopi sama teh panas, ada di depan." Seru Laras menjelaskan menu yang akan mereka santap hari ini.
"Wah, banyak sekali! Siapa yang bantu mamamu masak?"
"Eyang mama, Mbah Ning, aku, dan papa." Sahut Laras dengan ceria.
"Kamu bantu mamamu masak?"
"Ho oh!" Laras mengangguk.
"Bantu masak apa?"
"Aku bantu mama buat kue. Rasanya lezat sekali. Pas baru matang, aromanya sangat membuat lapar, Bulik."
"Pasti itu! Wis, jangan cerita saja, nanti aku lapar."
"Loh, sudah sampai sini, toh!"
Niken dari arah dapur melongok ke ruang tengah.
"Iya, Mbak. Maaf ini tadi mengecek apa saja menunya, ada koki cilik yang menjelaskan." Ujar Seruni sambil menepuk ubun Laras.
Seruni lalu menyalami dan memeluk Niken, lalu menyalami seraya mencium tangan Bu Lusi dengan hormat, dan Bude Ning.
"Mbak Seruni sudah putus sama Firman?" Tanya Bude Ning tiba tiba.
"Iya, Bude. Sudah lama."
"Syukurlah, Mbak. Bude kira masih sama Firman." Bude Ning bernapas lega.
"Ada apa, Bude?" Seruni ganti bertanya.
"Dua hari yang lalu suami Bude, jadi saksi nikah Firman sama Santi, keponakan suami Bude. Dia sudah hamil dua bulan, Firman yang menghamilinya."
Seruni tersenyum sinis.
"Aku sudah tahu sejak lama, kalo Firman itu suka gonta-ganti pacar, bahkan dia saya putuskan itu bukan karena itu saja, Bude. Tapi kadang dia itu mesum, suka minta yang aneh aneh, padahal belum sah jadi suami, ya jelas, aku nggak mau lah." Ucap Seruni dengan nada lepas.
"Bener banget, itu, Mbak. Makanya, Bude itu nggak habis pikir sama Santi itu, padahal anaknya itu sopan, halus, kalo sama yang lebih tua itu ngajeni, pendiam, tapi, kok ternyata hamil sama Firman sebelum nikah." Bude Ning geleng-geleng kepala sendiri.
"Hayo, pasti lagi ngegosip ini!" Tebak Niken sambil menghampiri Seruni dan Bude Ning.
"Iya, Mbak. Firman nikah sama keponakan dari suami Bude." Sahut Bude Ning.
"Tapi, memang dia itu play boy, kan? Dan kamu sudah putus, kan?" Niken bertanya pada Seruni.
"Sudah, Mbak. Aku nggak mikirin Firman lagi, kok. Malah senang bebas dari dia." Seruni terkekeh, lalu menyomot sepotong risoles, dan beranjak pergi ke ruang depan menyambut teman yang berdatangan.
Hari itu suasana meriah dengan sederhana di kediaman Bima dan Niken. Usai berdoa, mereka menyantap hidangan yang disajikan. Niken tak lupa membagi berkat kepada tetangga di kanan dan kirinya yang tak dapat diundang ke rumahnya karena keterbatasan tempat.
Hingga menjelang sore, satu per satu tamu berpamitan untuk pulang.
Seruni masih membantu beberes di dapur, tak jarang bercanda dengan Laras, atau sekedar mengobrol dengan Bu Lusi.
"Wah, berarti Ibu sudah hapal jalan di Kalimantan?"
"Ya, belum, Nak. Meski ada lah sekitar empat tahun, menemani anak di sana, tapi masih ada tempat tempat yang ibu belum tahu. Kalimantan itu luas banget. Apalagi tempat Bagas, kakaknya Niken itu di Balikpapan, sudah ramai banget. Kotanya rapi."
"Oh, di sana banyak perusahaan minyak asing juga, ya Bu. Kalo Mas Bagas kerja di perusahaan asing atau Indonesia?" Tanya Seruni.
"Kebetulan Bagas dapat kesempatan di perusahaan asing. Dia dan keluarganya mendapat tempat tinggal juga di sana. Tapi, dia sendiri juga sudah beli rumah di daerah Bogor untuk tempat tinggal mereka setelah Bagas pensiun besok. Ibu yang disuruh mengawasi rumahnya, karena sudah jadi."
Jawab Bu Lusi sambil tersenyum.
Seruni melihat sorot bangga di mata Bu Lusi saat menceritakan Bagas, kakak tertua Niken. Namun, entah mengapa Seruni senang saja mendengar Bu Lusi bercerita, karena tidak ada kesan sombong saat berbicara.
"Kalau Nak Runi, gimana pekerjaannya?"
"Masih sama lah, dari dulu, bantu Bapak di pabrik, sampai sekarang. Dulu Mbak Niken yang sering jadi tempat curhat dan buat bertanya. Runi banyak belajar dari Mbak Niken. Banyak banget belajar nya. Bahkan pinginnya sampai sekarang pun Mbak Niken itu, rasanya pingin aku ajak ke pabrik buat bantu lagi."
Akhirnya semua uneg-uneg di dada Seruni ditumpahkan semua melalui Bu Lusi.
Sontak Bu Lusi terkekeh, terdengar suara Niken tertawa kecil sambil menepuk punggung Seruni.
"Jadi, kamu pingin aku bantu di pabrik lagi? Nggak cukup apa, ada dua mas mu di sana?" Sela Niken.
"Mbak Niken ini... Mereka mana ngerti! Apalagi Mas Dewa, bikin aku kesel tiap hari, pembayaran molor kalo berurusan sama dia."
Niken makin tertawa terbahak-bahak melihat Seruni yang mengomel dengan kesal.
"Nanti aku kasih tahu Dewa, ya! Kamu tenang saja." Niken akhirnya memberi solusi pada Seruni
"Makasih, Mbak." Akhirnya senyum Seruni mengembang meski pun hanya tipis saja.
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘