El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
He Wants Nothing But the Best for Her
...Bagian 17:...
...He Wants Nothing But the Best for Her...
...💫💫💫💫💫...
"Ayah kenapa marah besar sama Penyihir?"
Karel menurunkan Eliana di sofa, langsung menjauh menuju dapur. "Ayah nggak marah," balasnya sambil-lalu. Dia berhenti di depan counter, menumpukan kedua tangannya di sana. Wastafel yang kering menjadi titik yang diperhatikannya lamat-lamat. Sementara otaknya mulai disibukkan lagi dengan masalah-masalah yang Jovanka timbulkan.
"Jangan terlalu keras sama dia. Kita nggak tahu apa yang bikin dia tumbuh jadi seperti itu, Rel."
Decihannya lolos tanpa permisi. Ucapan Kalea tempo hari tak lebih dari sekadar kata penenang. Bukan sebuah solusi untuk kerumitan yang timbul akibat segala tingkah polah Jovanka. Baginya, tidak ada alasan untuk membenarkan seseorang bersikap semaunya, terlepas dari seberapa sulit ia menjalani kehidupannya.
Karel sendiri tidak pernah menuntut siapa pun.
Dia tidak pernah menuntut Kalea karena tidak menyadari perasaan yang disimpannya sejak lama, tidak pernah menyalahkan Gavin yang tiba-tiba datang merebut sahabat yang dijaganya sejak ia masih bocah ingusan tidak tahu apa-apa, tidak pernah menyalahkan para perempuan yang memilih pergi dari hidupnya karena tidak tahan dijadikan nomor dua—setelah Eliana.
Karel tidak pernah menyalahkan siapa pun, tidak pernah meminta sebuah pemakluman atas setiap keputusan yang diambilnya, karena dia sadar betul masalahnya ada pada dirinya, bukan orang lain.
Lantas, kenapa dia harus terus-menerus memaklumi sikap Jovanka, di saat gadis itu bahkan tidak bisa bersikap baik kepada dirinya sendiri?
Sampai detik ini, Karel lelah bukan karena selalu direpotkan oleh Jovanka. Dia lelah dan menjadi frustrasi karena gadis itu tidak pernah peduli pada dirinya sendiri. Jovanka selalu meremehkan banyak hal. Tidak peduli meski seribu kali ia ingatkan untuk berpakaian lebih sopan, demi menghindari tatapan mata jelalatan, gadis itu tetap datang ke kelab dengan pakaian yang semakin hari semakin menantang.
Jovanka tidak pernah peduli saat ia mengingatkan soal tidak sembarangan membiarkan dirinya mabuk sampai nyaris tidak sadar, sebab tidak ada jaminan bahwa Karel akan selalu ada di sana untuk mengantarnya pulang. Gadis itu... si gila yang keras kepala itu... tidak pernah sekali pun menganggap serius peringatannya soal David, padahal siapa pun bisa melihat seberapa berbahaya ambisi yang ada di balik senyum palsu lelaki itu.
"Kasihan Penyihir tahu, Ayah. Kemarin El lihat dia menangis."
Karel menoleh. Putri kecilnya berdiri di sisi meja makan, memeluk Hello erat, serta mata bobanya menatapnya lekat. "Walaupun dia menyebalkan, tapi kalau udah menangis begitu, El jadi nggak tega."
"Dia nangis karena salah dia sendiri," cetusnya. Beranjak meninggalkan counter, ia hampiri kulkas untuk menemukan sesuatu yang bisa membantu menyegarkan pikirannya kembali.
Lama ia mencari. Matanya memindai seluruh bagian rak, hanya untuk mendesah kecewa karena tidak ada lagi selain bir kaleng yang bisa dijadikan pilihan.
Masalahnya, sekaleng saja tidak akan cukup. Dia mungkin butuh dua, atau tiga, atau bahkan lima sekaligus supaya pikirannya berhenti berteriak tidak keruan. Sedangkan keberadaan Eliana adalah sebuah warning keras agar tindakannya itu tidak direalisasikan. Siapa yang tahu tindakan tolol apa yang bisa dia lakukan saat mabuk berat? Karel tidak mau ambil risiko, kalau-kalau nanti hilang kendali dan malah secara tidak sadar menyakiti Eliana.
"Ayah nggak marah," ulangnya, menutup pintu kulkas agak keras setelah mengambil sebotol air mineral. "Cuma mau ajarin dia sesuatu."
"Sesuatu yang jahat?"
Karel menaikkan sebelah alisnya, urung menenggak air ketika bibir botol sudah berada di depan mulutnya. "Kenapa kamu pikir Ayah lagi ajarin dia sesuatu yang jahat?"
"Karena dia menangis." Eliana merambat naik ke kursi. Dagunya bertumpu pada kepala Hello yang dipangkunya dengan baik. "Kalau Ayah ajarin dia hal baik, Penyihir nggak mungkin nangis."
Karel mendekat, menarik kursi di seberang Eliana dan duduk di sana. "Cuma karena dia nangis waktu Ayah ajarin, bukan berarti apa yang Ayah ajarkan adalah sesuatu yang jahat," ujarnya dengan suara setenang malam. Ia menatap putrinya lekat. "Kamu pernah nangis sewaktu jatuh dari sepeda, pas Ayah ajarin kamu naik pertama kali. Waktu itu lututmu lecet, berdarah, dan memar sampai harus dikompres beberapa kali."
Di depannya, Eliana tampak mendengarkan dengan baik. Matanya berkedip pelan, sinkron dengan otak kritisnya yang sedang mencerna satu demi satu kalimat yang Karel sampaikan.
"Terus, apakah mengajari kamu naik sepeda adalah sesuatu yang jahat, cuma karena bikin kamu jatuh dan terluka?"
Si kecil butuh waktu lebih lama untuk memberikan jawaban. Sebuah gelengan yang memantik senyum Karel terbit tipis.
"Ayah cuma mau kamu bisa naik sepeda, kan? Biar kalau main di taman, kamu nggak lagi harus lari-larian kejar teman-teman kamu yang lain yang udah lebih dulu bisa naik sepeda."
Yang kali ini tidak butuh waktu bagi Eliana untuk mengangguk.
"Nah, Penyihir juga begitu." Karel menjeda sebentar, sekadar menenggak air yang tertunda terus masuk tenggorokan. "Ayah mau ajari dia sesuatu, supaya dia hidup dengan lebih baik. Karena kalau nggak gitu, Penyihir bisa lebih sakit nantinya. Nggak apa-apa dong nangis di awal, kayak kamu dulu waktu jatuh dari sepeda?" sambungnya setelah selesai menuntaskan dahaga.
Kabar baiknya, Eliana menangkap penjelasannya cukup baik. Anak itu tidak lagi melayangkan protes, alih-alih mengangguk. "Berarti nanti kalau Penyihir udah ngerti sama apa yang Ayah ajarin, dia nggak akan nangis lagi kan?"
Bibir Karel menipis. Botol air mineral yang masih dingin, digenggamnya erat. "Ya," balasnya. "Kalau nanti udah mengerti, Penyihir nggak akan nangis lagi."
...💞💞💞💞💞...
"...Cause I don’t want to deal with someone who doesn’t even understand where her priorities lie.”
Memangnya... Di mana Jovanka harus meletakkan prioritasnya? Bukankah dia sudah ada di jalan yang benar? Bukankah bersenang-senang dan mencari perhatian, untuk memenuhi tangki cintanya yang telah kosong, adalah salah satu bentuk tindakan yang menunjukkan bahwa ia sedang menjadikan dirinya sendiri yang pertama?
Tapi kenapa Karel marah? Kenapa lelaki itu masih saja menyebutnya tidak mengerti apa yang seharusnya menjadi prioritas? Kenapa lelaki itu bersikap seolah paling tahu mana yang seharusnya benar, tetapi enggan menunjukkannya secara gamblang? Kenapa Jovanka harus memikirkannya betul-betul, jika Karel bisa saja menjelaskan kepadanya dengan bahasa yang bisa dimengerti manusia?
"Pergi aja kalau mau pergi. Tapi ingat satu hal, di luar sana, kamu nggak akan nemu orang lain yang mau sayang sama kamu selain Mama!"
Dan setiap kali merasa terpuruk, kutukan sialan itu selalu datang ke kepalanya. Katanya doa buruk tidak akan didengar, tapi kenapa ucapan mamanya seolah menjadi mujarab, sampai hidup Jovanka tidak pernah berjalan mulus sejak minggat dari rumah?
"Just fucking tell me," rintihnya. Pada tengah malam saat biasanya ia berkeliaran di kelab-kelab malam mencari hiburan, Jovanka malah duduk menyendiri di pojokan kamar. Termenung memeluk lutut, memikirkan lagi semua hal hanya untuk menemukan di mana letak salahnya yang membuat Karel marah besar.
Dia tidak mengerti, dan Karel tidak mau membantunya memahami.
"Tell me what you want me to do, Azerya. Just fucking tell me." Ketika ia tumpukan kepalanya di atas lutut dan kelopak matanya mulai turun, Jovanka menangis. Tangisan yang lebih hening daripada kemarin. Tidak meraung-raung, tidak mengutuk, tidak secuil pun isakan terdengar.
Dia hanya berharap waktu tangisnya berhenti nanti, ilham Tuhan muncul di kepalanya. Barangkali bisa kemudian dia mengerti apa yang sebenarnya hendak Karel sampaikan dari diamnya ia beberapa hari ini.
Bersambung....