Hafidz tak pernah menyangka jika dirinya ternyata tak terlahir dari rahim ibu yang selama ini mengasuhnya. Dia hanya bayi yang ditemukan di semak dan di selamatkan oleh sepasang suami istri yang dia kira orang tua kandungnya, membuatnya syok dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tak ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya, karena dia merasa sudah bahagia hidup bersama orang tua angkatnya saat ini, tapi desakan sang Ibu membuatnya mencari keberadaan keluarga kandungnya.
Mampukah dia menemukan keluarganya?
Bagaimana saat dia tahu jika ternyata keluarganya adalah orang terkaya di ibu kota? Apakah dia berbangga hati atau justru menghindari keluarga tersebut?
"Perbedaan kita terlalu jauh bagikan langit dan bumi," Muhammad Hafidz.
"Maafin gue, gue sebenarnya juga sakit mengatakan itu. Tapi enggak ada pilihan lain, supaya Lo jauhin gue dan enggak peduli sama gue lagi," Sagita Atmawijaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abil Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
"Ini semua peninggalan almarhum Bapak Hartanto yang beliau berikan untuk Ibu Sinta dan Gita. Sebuah Villa beserta kebun teh di puncak." Pengacara menyerahkan sertifikat villa dan kebun teh tersebut yang sudah beralih aman menjadi milik Sinta.
"Masyaallah, saya baru tahu kalau Papa saya memiliki lebih teh sebanyak ini," Sinta terkejut melihat luasnya kebun teh yang sudah menjadi miliknya ini.
Pengacara itu tersenyum, "Selama ini Bapak Ari lah yang memantau perkebunan teh tersebut, karena almarhum sudah menyerahkan semuanya dengan orang kepercayaan," ucapnya.
Saat ini mereka sedang berada di rumah Arin, yang memang sengaja mengundang pengacara tersebut. Karena beberapa waktu lalu pengacara itu juga ingin bertemu dengan Gita, dan inilah kesempatan yang sangat bagus, apalagi saat ini ada Sinta juga.
"Ada lagi Bu, almarhum memiliki saham lima puluh persen, di sebuah perusahaan. Untuk saat ini perusahaan di pimpin oleh pemilik saham terbesar ke dua, karena dari pihak Bapak Hartanto sudah menyerahkan kepemimpinan itu pada mereka," jelas pengacara itu lagi, dia memberikan selembar selembar kertas tentang keterangan saham yang dimiliki almarhum sang Papa.
"Bapak juga sudah mengatasnamakan saham itu milik ibu," tambah pengacara itu.
Sinta bersyukur, tak menyangka almarhum sang Papa memberikan sebanyak ini untuk dirinya. Meskipun almarhum tahu jika dirinya sedang dalam keadaan sakit mental.
"Awalnya saya mau membalik nama semua itu atas nama Sagita, karena dia sudah cukup umur untuk mengetahui semuanya, tapi karena ada Ibu, jadi saya serahkan semuanya sama ibu saja," ucap pengacara itu menjelaskan.
"Terimakasih Pak Luky, selama ini sudah menjaga amanah almarhum Papa saya. Jika tidak ada Anda mungkin semua ini tidak akan ke tangan saya," Mama Sinta mengucapkan terimakasih dengan tulus. Ternyata masih ada pengacara jujur seperti itu di jaman seperti ini.
"Itu memang sudah tugas saya Buk," pengacara itu tersenyum ramah. Lelaki paruh baya yang sudah sejak lama menjadi pengacara sang Papa, tentu saja Sinta pernah mengetahuinya, mekipun tak begitu mengenal pengacara ini.
Setelah selesai semua urusannya pengacara tersebut pun undur diri. Semuanya mengantar sang pengacara hingga depan rumah dan saat bersamaan sebuah mobil memasuki halaman rumah itu.
Bapak Luky mengerutkan keningnya melihat siapa yang datang, merasa mengenal mobil tersebut.
"Papi!" seru orang itu saat sudah ke luar dari mobil.
Semuanya terkejut mendengar Indra memanggil Bapak Luky dengan sebutan Papi. Hafidz pun sama, selama ini dia tak pernah tahu jika Papanya Indra adalah seorang pengacara, karena memang mereka jarang main ke rumah Indra saat berkumpul. Lebih sering ke apartemen Deril.
🍁🍁🍁
"Jadi Pak Luky itu Papi kamu?" tanya Tante Arin setelah Bapak Luky berpamitan.
"Iya Tan, maaf, aku sebenarnya udah tahu sejak lama kalau Papi pengacara keluarga Kakeknya Gita. Bahkan sejak Hafidz belum bertemu dengan Bu Sinta, dari situ aku merasa terketuk untuk membantu Hafidz," Indra mengingat saat tak sengaja mendengar sang Papi berbicara tentang keluarga Sagita, dan menyebut nama gadis itu.
"Waktu itu, aku memang sudah menawarkan diri untuk membantu Hafidz mencari keluarga kandungnya. Dan saat tidak sengaja mendengar pembicaraan Papi tentang amanat dari kakek Gita itu. Karena beberapa kali Tante Sita mendatangi Papi, dan mengancam Papi, kalau tidak mau memberikan saham tersebut ke dia," pungkasnya
"Ternyata sudah lama Sita mengetahuinya, tapi kenapa dia baru saja datang kemarin?" tanya Tante Arin.
"Mungkin karena Papi enggak mau ngasih gitu aja Tan, jadi dia berinisiatif untuk bekerja sama dengan Tante," tebak Indra
"Ucapan Indra ada bebernya juga Tan," kini Hafidz yang menyetujui tebakan Indra.
"Kalo Sita datang ke Papi kamu lagi, terus bilang kalau sudah di serahkan ke Mama, bakalan gawat dong. Mama akan ketahuan," Gita khawatir jika itu terjadi.
"Kamu tenang, nanti aku akan bicara sama Papi. Dia pasti ngerti," tutur Indra.
"Makasih ya Nak Indra, kami berutang budi sama kamu," ucap Mama. Bersyukur jika kedua anaknya memiliki teman sebaik Indra.
"Sama-sama Tan, kita memang harus saling tolong menolong," sambung Indra.
"Mbak, besok aku mau ke villa aja ya. Mau tinggal di sana untuk sementara waktu, sambil menenangkan diri. Aku yakin Sita enggak bakalan ke sana, karena memang dia enggak tahu tempat itu, kan?" Sinta merasa tak enak hati jika harus berada di rumah Arin, pasti akan sangat merepotkan.
"Jauh sekali Sin, kenapa enggak di pesantren yang direkomendasikan Mas Ari, kalau emang kamu enggak mau di sini. Kalau di sana kan aku bisa mengunjungi kamu tiap waktu, kalau di puncak paling enggak seminggu sekali, kalau bisa," Arin tak ingin Sinta pergi jauh darinya.
"Bener Ma, kata Tante," Gita pun tak ingin Mamanya jauh darinya.
Mama berfikir sejenak, masih bingung harus tinggal di mana.
"Yaudah, Mama di pesantren aja. Sekalian Mama mau belajar mengaji," putus Sinta akhirnya.
Di pesantren mungkin bisa mengalihkan dunianya, sekaligus membuat hatinya lebih tenang. Karena jujur saja dia belum siap bertemu sang suami atau Sita. Jika di rumah Arin, bisa jadi mereka berdua akan datang bahkan tanpa diundang.
Esok harinya setelah mengantar sang Mama ke pesantren, rencananya mereka langsung berangkat ke Jawa Tengah, dimana alamat rumah Pak Karno berada. Meski mereka belum pernah datang ke Jawa Tengah, tapi mereka yakin akan bisa bertemu dengan Pak Karno atau keluarganya. Lebih cepat lebih baik, bukan?
"Ini aku serahkan semua hasil dari perusahaan dan kebun teh, semuanya ada di dua kartu ini." Arin menyerahkan dua kartu sakti pada Sinta, sebelum keberangkatan ke pesantren.
"Aku sudah mengambil apa yang menjadi hak ku," tambahnya.
"Makasih Mbak Arin, semoga Allah membalas semua kebaikan kalian berdua." Mama Sinta memeluk sang Kakak dengan erat.
"Amiinn," Arin pun mengaminkan doa Sinta.
"Mama bawa satu aja, ini bawa kalian, buat jaga-jaga di jalan," Mama memberikan salah satu kartu pada si kembar, tapi mereka berdua sama-sama tak ada yang mau menerimanya, hanya menatap kartu tersebut.
"Abang aja yang bawa, aku punya yang dari Papa. Abang simpan ini." Gita meraih kartu tersebut lalu memberikan pada Hafidz, meski bingung pemuda itu pun menerima kartu tersebut.
"Nanti Pin nya Tante kirim lewat pesan. Dan untuk semua buku tabungan dan deposit, kartunya masih Tante simpan, bisa kalian ambil nanti sepulang dari Jawa Tengah," ucap sang Tante.
Setelah itu mereka semua mengantar Mama ke pesantren yang letaknya tak terlalu jauh dari sana, hanya butuh waktu sekitar satu jam. Mereka pun berpisah di sana, jika Tante Arin dan sang suami langsung pulang ke rumah, maka Hafidz, Gita dan Indra menuju tempat yang pastinya sangat penting. Atau bisa jadi saksi kunci kejahatan Tante Sita.
Dengan mengendarai mobil milik Indra, karena Gita tida membawa mobil. Dia meninggalkan mobilnya di Jakarta. Tak mungkin juga jika harus mengambil mobil terlebih dahulu. Karena Hafidz tidak bisa mengemudikan mobil, akhirnya Gita dan Indra bergantian untuk mengemudikan mobil.
"Besok Abang harus belajar nyetir mobil, ini pertama dan terakhir aku nyetirin para cowok," protes Gita. Sebenarnya dia hanya becanda, karena dia sendiri yang meminta bergantian dengan Indra, kasian pemuda itu pasti lelah juga.
"Entar, kalo udah sempet ya," sambung Hafidz tanpa beban, yang membuat Gita berdecak malas. Sudah dia tebak jawaban Hafidz akan seperti itu.
Bersambung...
🍁🍁🍁🍁