"Aku bukan orang baik buat kamu."
Diputuskan dengan sebuah sms dan dengan alasan superklasik, membuat Andara marah.
Buana Semesta, lelaki yang sudah membagi rasa dengannya selama hampir setahun belakangan tiba-tiba mengiriminya sms itu. Andara sebenarnya sudah tahu kalau peristiwa itu akan terjadi. Dia sudah prediksi kalau Buana akan mencampakkannya, tetapi bukan Andara jika bisa dibuang begitu saja.
Lelaki itu harus tahu siapa sebenarnya Andara Ratrie. Andara akan pastikan lelaki itu menyesal seumur hidup telah berurusan dengannya. Karena Andara akan menjadi mimpi buruk bagi Buana, meskipun cowok itu tidak sedang tertidur.
Banyak cara disusunnya agar Buana menyesal, termasuk pura-pura memiliki pacar baru dan terlihat bahagia.
Tetapi bagaimana jika akhirnya Buana malah terlihat cemburu dan tidak suka dengan pacar barunya?
Juga bagaimana jika Andara bermain hati dengan pacar pura-puranya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nadyasiaulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Way You Look At Me
"Nantinya, jalan itu akan bersinggungan dan kita bertemu di persilangan."
🔥🔥🔥
Acara di Pantai Palawan yang dimaksud Kin sebenarnya berlangsung minggu depan, tetapi karena Andara benar-benar merasa jenuh dan memerlukan waktu untuk mengasingkan diri, dia kelepasan mengatakan bahwa dia akan berangkat hari Sabtu. Yang lebih mengagetkannya, Kin mengirimi tiket ke Johor. Padahal Andara sendiri baru berencana akan membeli tiket berangkat ke Singapura untuk H-1 sebelum acara saja.
Karena tiket itu juga, Andara terburu-buru merancang cuti. Dia mau tak mau terpaksa berbohong kalau dia akan pulang ke Medan dikarenakan Opung sakit. Ya, sudahlah ya. Mau bagaimana lagi? Toh, Opung sudah nggak ada. Andara kan nggak bisa memakai nama orang yang masih hidup. Itu sama saja seperti mendoakan orang sehat agar jatuh sakit, ya walaupun dia ingin.
Sehabis bertemu dengan Nina di taman perpustakaan, Andara tidak kembali ke Fakultas Hukum. Dia menyibukkan diri akan persiapan keberangkatan, menyetok makanan kucing agar kucing-kucing tetap makan selama dia nggak ada, menghubungi Vina agar bisa dititipi absen jika kondisi aman. Andara tidak peduli keberadaan tasnya, tetapi dia yakin tas tersebut dipegang Buana. Peduli amat. Baik tasnya ataupun Buana tidak akan diurusinya lagi.
Penerbangan dari Jakarta ke Johor sendiri hanya lebih singkat lima belas menit daripada dari Jakarta ke Medan. Andara sampai pukul setengah sepuluh malam waktu Jakarta alias pukul setengah sebelas malam waktu Johor.
"Ara!" Seseorang memanggil ketika dia keluar dari pintu kedatangan. Tangan cowok itu melambai ke udara dengan senyuman khas versi Kin.
"Kin!" jawabnya sembari menghampiri sosok itu. Andara menyengir berusaha menenangkan jantung yang berulah. Dia menegakkan badan dan memberi hormat. "Lapor! Saya tiba, Kamerad!"
"Laporan diterima!" Kin balas memberi hormat kepada Andara lantas mereka berdua tertawa geli. Kin membuka tangan lebar-lebar seolah minta pelukan dan benar-benar memeluknya saat dia mendekat. "Glad to see you here," bisik Kin.
Andara hanya kembali memamerkan gigi. Ini masih malam kenapa beduk subuh sudah terdengar, sih?
Kin memperhatikan bawaannya. Andara hanya membawa sebuah tas punggung dan koper berukuran sedang. "Bawaannya cuma ini?"
"Kenapa? Lo mau minta bawain oleh-oleh?" tanya Andara. "Yah, lo nggak bilang. Gue nggak bawa apa-apa, cuma Indomie sama BonCabe."
Cowok itu tertawa lagi. "Enggak, ah. Bisa bawa kopernya? Perlu gue bantu?"
"Aman," sahut Andara sambil mengikuti langkah Kin. Cowok itu mengajaknya ke penjual sim card untuk mengaktifkan nomor Malaysia. Baguslah, Andara juga ingin menonaktifkan nomor ponselnya untuk sementara.
Bandar Udara Senai tidaklah sebesar Bandar Udara Kuala Lumpur. Akan tetapi lampu-lampu di sekitar bandara terang dan mengesankan. Salah satu yang Andara sukai dari Malaysia adalah jalan rayanya mulus seperti jalan tol. Padahal Johor hanyalah negara bagian di semenanjung Malaysia.
Jalanan sekitar cukup sepi hanya satu dua mobil melesat dengan kecepatan tinggi. Di mobil Kin terputar lagu lama yang Andara kenali dan lagu syahdu itu membuat hatinya makin kalang kabut.
Andara diam saja mengamati jalanan di depan, Kin yang mengemudi di samping juga diam. Sekian lama mereka sering jalan berdua, baru kali ini Andara merasa canggung. Dia ingin menanyakan kabar Kin tetapi bibirnya mendadak bisu. Ini gawat banget!
"Sudah makan?" Kin menyadarkan lamunannya dan Andara mengiakan. Sebelum berangkat, dia sempat makan mi di bandara.
"Apa rencana seminggu ini?" tanya Kin lagi.
Andara menggaruk kepala. Dia tidak ada rencana apa-apa selain pergi jauh-jauh dari Jakarta, berharap tidak ditemukan Buana atau melihat muka cowok itu. Sedari kejadian kepergok Nina sebenarnya Buana berulang kali menelepon dia, entah untuk apa, Andara yang menghindar. Begitu pun di kampus, sebisa mungkin dia nongol di saat sempit sehingga Buana tidak bisa berbicara banyak kepadanya. "Gue belum punya rencana apa-apa," ujarnya jujur.
"Benar-benar backpacking ya lo. Random banget."
Andara hanya menyengir. Diam-diam melirik ke pemutar musik. Selama ini semua lagu Frank Sinatra yang sering dinyanyikan orang di acara-acara pernikahan terasa biasa saja baginya. Namun, kenapa sekarang dia lemah saat dengar lagu-lagu yang di-cover Michael Buble terputar di mobil ini? Tolong ya Tuan Gelembung Busa bisa selow sedikit nggak nyindirnya? Ini hati Andara sudah nggak keruan.
"Gimana kabar Natha?" Lagi-lagi Kin yang bertanya karena dia tidak ada suara.
"Baik."
"Lo kenapa? Capek?" Kin memperhatikan Andara ketika lampu merah.
Ya Tuhan! Andara mau hilang di tempat saja sekarang. Kenapa sih dia jadi segugup ini di samping Kin? Sekadar untuk berbicara biasa saja tidak memiliki energi. Sebenarnya jika boleh, Andara hanya ingin bersandar di jok dan duduk membisu sambil menatap Kin mengendarai mobil. Itu saja kepenginannya, sih.
Belum juga Andara sempat menjawab, tangan Kin sudah maju terlebih dahulu mengacak puncak kepalanya. "Rebahan aja kalau capek. Ntar gue bangunin kalau udah sampai."
Wahai langit Johor yang hitam dan pekat, bantulah Andara untuk menetralkan jantung yang terlampau berisik ini. Penggalan doa itu dilontarkannya sambil bersandar di jok dan menutup mata, bukan karena capek tetapi karena pandangannya selalu ingin menatap Kin jika mata ini terbuka.
***
Kin menoleh dan tersenyum melihat cewek yang tertidur di bangku penumpang. Tidak ada yang berubah dari Andara. Cewek itu masih saja suka memakai kaus oblong dengan ukuran besar, celana berwarna gelap juga sepatu boots Docmart. Ransel hitam yang agak kucel itu malah memperlihatkan kalau pemiliknya garang. Biasanya ada kerambit kecil jadi gantungan kunci tas, tetapi kali ini dia tidak melihatnya. Koper Andara juga berwarna hitam, ada banyak bekas stiker di badan koper yang menjelaskan bahwa barang tersebut sering dibawa Andara berpergian. Oh, tapi, pembicaraan mereka memang belum sampai cerita berpergian. Mungkin nanti Kin akan mengajaknya cerita tentang kemana saja cewek itu pernah pergi dan tempat mana yang jadi favoritnya.
Dari pertama kali dikenalkan Natha, sosok Andara sudah menarik perhatian dia. Jika biasanya cewek-cewek akan meneliti dia saat dikenalkan, Andara hanya menjabat tangan dengan santai dan kembali cuek. Benar-benar menganggap Kin seperti orang biasa. Anehnya lagi, Kin yang tidak suka diperhatikan malah tertarik dan ingin diperhatikan Andara. Cewek itu tampak enjoy dengan dunianya sendiri.
"Ara... Udah sampai," panggil Kin sembari memarkirkan mobil di rubanah.
Andara terlihat menggeliat dan mengerjap-ngerjap. Kin turun lebih dahulu dan mengambil koper Andara. Diam-diam mengamati cara Andara yang menguap sambil menggosok hidung. Lucu sekali.
"Yuk," ajaknya setelah Andara turun dan meraih tas punggung. "Gue bawain ya kopernya?"
Andara mengangguk dan berjalan pelan, seperti masih mengantuk. Cewek itu mengekorinya dalam diam. Sesampai di apartemennya, Kin mengarahkan koper menuju kamar tamu. Dia juga menunjuk kamar mandi jika Andara membutuhkan sewaktu-waktu.
"Ya udah, lo istirahat dulu ya. Gue tinggal sebentar."
Andara langsung menoleh dan mengikutinya keluar kamar. "Mau ke mana?"
"Ke Sevel bentar di bawah. Siapa tahu lo perlu camilan." Kin membuka pintu, hendak pergi lagi. Tadinya dia berencana mengajak Andara mampir ke miniswalayan, tetapi cewek itu tidur di mobil.
Tangan Andara mengibas cepat. "Nggak perlu. Gue nggak pengin apa-apa. Lagian ini udah malam."
"Seorang Andara bilang jam sebelas itu udah malam? Kesambet apa jetlag?" Kin terkekeh masih memegang hendel pintu. "Benar lo nggak mau apa-apa?"
Andara mulai menarik sudut bibir, menahan geli. Mata cewek itu mulai menjelajah dapurnya yang berada di samping pintu masuk. "Sebenarnya gue nggak suka susahin orang tapi karena lo maksa, ya udah bikinin gue teh juga boleh. Lo punya teh, 'kan?"
"Ya, punyalah. Nyokap juga suka ngeteh. Ngeteh aja kita?" Kin lalu menutup pintu kembali. Dia menurunkan beberapa teh kesukaan sang mama. "Tinggal pilih mau yang mana?"
Mata Andara terlihat berbinar mengamati kotak-kotak teh beraneka warna. Ada banyak sekali pilihan di sana. Ada teh leci beraroma mawar, teh markisa, teh mangga, juga beragam jenis dengan campuran yang agak aneh. "Earl Grey with tangerine? Lime and ginger? Kenapa ini kayak jamu?" gumam Andara sambil membuka masing-masing kotak. "Nyokap lo sering ke sini?"
"Nggak tentu. Suka-suka dia aja," jawab Kin mengamati Andara yang memeriksa kotak teh sambil mengendus harumnya. Hidung itu bergerak-gerak menggemaskan. "Mau yang mana jadinya?" tanya Kin berusaha mengusir pikiran aneh barusan.
"Mango." Andara menunjuk varian mangga. "Enak, 'kan?"
Kin mengambil satu bungkus teh berasa mangga tersebut. "Enak, kok. Kesukaan nyokap."
"I know," sela Andara sembari menarik kursi makan. "Soalnya dari semua kotak, cuma yang mangga yang isinya sudah sedikit."
Kin mulai menyeduh teh dan menuangnya ke dalam dua cangkir berukuran sedang. "Mau gula jagung atau gula pasir?" tanyanya mendekatkan dua jenis gula ke tengah meja.
"Apa aja boleh. Semua manis kok asal jangan bertanam tebu di pinggir bibir." Andara menerima gelas darinya dan mulai menuang sesendok gula.
Kin menjadi terkekeh atas pemilihan kalimat Andara barusan. "Gue cuma tanya gula. Lo sampai ke situ pemikirannya. Memang ya ...."
"Memang apa?" Cewek itu melirik tajam setelah meneguk teh perlahan. Mata mengantuknya sudah hilang berganti dengan mata bulat hitam yang dipelototkan.
"Perpaduan antara anak Hukum sama seorang penyiar yang juga MC itu cukup berbahaya sebenarnya. Jadi susah bedain kapan lo bermanuver atau benar-benar bercanda," decak Kin. "Seram juga sih, kalau sampai disiram, yang ada sekarang kan teh panas bukan Coca-Cola. Bisa melepuh kulit gue."
Andara menaruh cangkirnya di atas meja, menurunkan bahu sehingga jarak mereka menipis. "Tolong tunjukin di mana lo taruh pisau. Udah lama gue pengin bikin sop iga manusia," bisiknya.
Kin refleks mendorong pelan kepala Andara. "Apaan sih, Ra?!"
Kali ini giliran Andara yang terbahak-bahak. "Lagian! Sotoy banget kali bilang gue berbahaya. Kebanyakan nonton film horor lo."
Sepertinya baterai Andara sudah berisi, cewek yang sejak sampai tadi hanya diam sekarang sudah mulai berbicara apa saja. "Lo sendirian di sini, Kin? Tapi kamarnya banyak gini."
Kamar di apartemen Kin memang ada tiga. Satu khusus untuk kamar orang tuanya jika menginap di sini dan satu untuk kamar tamu. "Biasanya sepupu gue yang di Singapur datang sih. Kalau kamar yang satu lagi memang khusus buat Bonyok."
Andara melirik sedikit ke arahnya saat mendengar kata Singapura lantas kembali mengamati isi apartemen. "Kampus jauh dari sini?"
"Sekitar setengah jam aja. Kenapa? Mau temanin gue ke kampus?" Kin mengerling iseng.
"Cuma nanya, Bambang!" Andara berdengkus geli. "BTW, teman kampus lo ada yang cakep nggak? Di Twitter kemarin gue lihat foto Pangeran-Pangeran Kerabat diraja Malaysia. Cakepnya luar binasa!"
Ada sesuatu yang merambat pelan di diri Kin. Yang dia sendiri tidak tahu entah apa tetapi berhasil membuatnya melontarkan kalimat tanpa berpikir lagi. "Ganjen. Udah punya pacar juga."
"Siapa yang udah punya pacar?" balas Andara menaikkan alis sembari meneguk tetes teh terakhir.
"Nggak ngerasa? Bukannya kemarin kita jadian?" Kalimat itu lepas saja tanpa Kin bisa atur.
Di hadapannya Andara sukses terkejut dan tersedak. Muka cewek itu pias hingga terbatuk-batuk. "Gila sih lo."
Seketika antara mereka menjadi tidak nyaman. Kin memilih mengakhiri sesi ini dengan menandaskan teh dan menaruh gelas itu di bak cuci piring. Dia beranjak ke kamar setelah merapatkan kursi, dan Andara masih kaku.
"Iya, sori. Tidur, gih," desis Kin pelan meninggalkan Andara. Dia merutuki mulut lancangnya yang bergerak tanpa kompromi, berlalu sembari mengusap singkat kepala Andara.
"Kin," panggil Andara. Cewek itu menatap mata dia sambil tersenyum usil. Kedip-kedip di mata Andara terlihat iseng. "Nggak ucapin selamat tidur buat pacar?"
Andai bisa, Kin malah ingin mencium pipi cewek itu dan melupakan semua yang pernah dia dengar tentang Andara.
🔥🔥🔥
Sampai sini paham 'kan kenapa Kin bergerak sangat lambat? 🤪🤪
keep on writing yaaa.. pasti bisa jadi one of the best Indonesian author deh, yaqiinn.. thank you for sharing this roller coaster story of Andara, Buana dan Kin :)