⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 27
Aluna membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, langit-langit kamar rumah sakit tampak berputar. Begitu sadar sepenuhnya, ia melihat sosok Axel duduk di samping ranjang, menggenggam tangannya erat seolah takut kehilangan lagi.
Begitu menyadari itu, Aluna langsung menarik tangannya, ekspresinya datar tapi sorot matanya penuh luka.
"Kamu nggak akan maafin Papa, nak?" ucap Axel lirih. Suaranya serak, seperti orang yang sudah terlalu lama menahan tangis.
Aluna memalingkan wajah. Ia tidak sanggup menatap ayahnya-bukan karena benci, tapi karena terlalu banyak luka yang belum kering.
"Papa harus gimana supaya kamu maafin Papa?" suara Axel bergetar, ia menunduk dalam, kedua tangannya menggenggam lutut.
Sunyi. Hanya suara mesin infus dan detak jam dinding yang terdengar.
Axel menarik napas panjang, lalu menatap Aluna. "Maafin Papa ya. Papa udah cukup menderita selama ini, sayang."
Mata Aluna berkaca-kaca. Sebenci apapun dia, hatinya bukan batu. Ia tumbuh besar dalam kasih sayang Axel, dan di balik semua dosanya, Axel tetaplah sosok yang dulu selalu menemaninya tidur saat demam, yang rela begadang menjaga saat ia kecil.
"Mau... di peluk Papa," bisiknya akhirnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Axel menatapnya tak percaya, lalu air matanya pecah. Ia segera memeluk Aluna dengan erat, menahan isak di bahu anaknya.
"Maafin Papa ya, nak... maaf," ucapnya sambil mengusap punggung Aluna dengan lembut.
Aluna hanya mengangguk dalam pelukannya, tubuhnya bergetar menahan tangis.
"Tapi Papa jangan berubah, ya... Papa udah nikah lagi. Nanti nggak sayang aku lagi," ucap Aluna, suaranya bergetar, matanya kembali berkaca.
Axel langsung menatapnya dengan serius.
"Shhh... kok bilang gitu. Papa akan sayang Aluna sampai kapan pun. Aluna itu kesayangan Papa. Semua aset Papa atas nama Aluna. Nggak akan Papa kasih ke siapa pun."
Mata Aluna perlahan melembut. Ia tersenyum kecil sambil mengusap air matanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya terasa agak ringan.
"Udah ya, jangan banyak pikiran lagi," ucap Axel. "Di surat Ibu kan juga bilang, semua itu salah paham. Awal hancurnya keluarga kita... karena Reno."
Aluna mengerutkan dahi. "Reno?
"Reno itu ayahnya Baskara yang kemarin gangguin kamu."
"Apa??"ucap aluna kaget.
"Iya dia kakak kelas kita."
"Ouh yang cinta pertama Ibu?" ucap Aluna.
Axel spontan memandang heran. "Apa? Reno cinta pertama Kayla? Bukannya Revan?"
"Enggak, Pah. Ibu bilang di suratnya, dulu sempat PDKT sama Reno. Dia cinta pertama Ibu," jawab Aluna pelan tapi mantap.
Axel menarik napas dalam. "Jadi mereka... pernah jadian?"
"Enggak juga. Ibu cuma bilang dulu sempat dekat sama Om Reno, tapi belum sempat jadian. Akhirnya Ibu fokus sekolah, main sama Papa Romi dan Ayah Revan. Nggak mau pacaran. Nah... pas kejadian itu, yang Ibu dijebak..."
Aluna berhenti sejenak, menatap Axel.
"Ibu bilang, ayahnya Om Reno dulu dituduh nyuri di pabrik Kakek Herman, ditangkap sama Dimas, terus diperas sampai bangkrut. Makanya Om Reno dendam, dan waktu kuliah ketemu Ibu lagi-dia mau balas lewat Papa."
Axel terdiam, matanya meredup.
"Tapi..." lanjut Aluna lirih, "Ibu juga bilang, Om Reno nggak tega. Dia nggak nyakitin Ibu. Dia cuma... benci keadaan."
Axel mengepalkan tangan. "Tapi tetap aja, Aluna. Ibu kamu... hancur gara-gara semua itu."
"Jadi kita harus apa, Pah?" tanya Aluna pelan, menatap lurus ke mata Axel.
Axel menatapnya balik. "Kenapa kamu lolosin anak itu? Papa udah bilang, seharusnya dia keluar dari sekolah."
Aluna tersenyum miring. "Jadi Papa mau aku balas dendam ke anaknya?"
"Bukan begitu, Aluna..."
"Aku akan balasin, Pah," ucap Aluna pelan tapi tegas. Ada sesuatu di matanya-dingin tapi tenang.
Axel menatapnya dalam. "Caranya?"
"Tenang aja... aku punya cara sendiri." Aluna tersenyum tipis, misterius.
Axel pun ikut tersenyum samar, memeluk anaknya sekali lagi.
"Jangan sakiti diri kamu sendiri, ya, sayang."
Setelah itu mereka berbicara lama, membahas masa lalu yang mulai mereka pahami satu per satu. Hingga akhirnya Aluna tertidur, dengan napas tenang dan wajah damai.
Sore menjelang, matahari sudah miring ke barat. Pintu kamar terbuka pelan, dan Ray muncul dengan senyum lega di wajahnya.
"Kamu udah sembuh, sayang?" ucap Ray sambil berjalan mendekat, senyum tipis terukir di bibirnya.
"Hmm... udah mendingan, tapi masih lemes," jawab Aluna, tersenyum samar.
Ray duduk di tepi ranjang.
"Kok aku seneng ya liat kamu begini," ucap Aluna pelan, menatap Ray dalam-dalam.
Ray terkekeh. "Jangan bikin aku geer, deh."
"Serius. Liat aku senyum kan?" ucap Aluna sambil tersenyum lebar.
Ray menoleh kanan kiri dengan gaya mencurigakan.
"Cari apa sih?" tanya Aluna, alisnya terangkat.
"Mau peluk kamu..." bisik Ray gemas, sebelum akhirnya menarik Aluna ke pelukannya.
Hangat. Tenang. Dunia serasa berhenti sejenak.
Tiba-tiba-
"Ehem."
Mereka berdua serentak menoleh.
"Papa Romi?!" Aluna langsung mendorong Ray panik. "Dari kapan di situ, Pah!?"
Romi bersedekap, wajahnya datar tapi jelas ada senyum menahan tawa di ujung bibirnya.
"Dari tadi," jawabnya datar tapi tegas.
Ray pucat. Aluna menunduk.
Suasana mendadak... beku.
"Jangan terlalu dekat dulu, ya," ucap Romi sambil duduk di kursi dekat ranjang Aluna. Nada suaranya lembut tapi ada sedikit nada protektif, khas seorang ayah yang khawatir anaknya terlalu cepat tumbuh besar.
"Iya, Om. Maaf," ucap Ray sambil tersenyum malu. Tangannya gugup meremas ujung bantal, seolah sedang menyembunyikan perasaan yang tak seharusnya terlihat.
"Mama mana?" tanya Aluna dengan nada pelan tapi matanya tajam, penuh kerinduan.
"Lagi jagain Deren," jawab Romi sambil mengupas buah dengan tenang. Gerakannya hati-hati, tapi pikirannya tidak tenang-ia masih waspada pada Ray yang duduk terlalu dekat dengan putrinya.
"Mau pulang," ucap Aluna manja.
"Boleh. Tapi jangan tantrum lagi," ujar Romi, mencoba menyelipkan canda agar suasana tidak kaku.
"Papa mah gitu," sahut Aluna sambil manyun, gaya khasnya sejak kecil saat ingin menuntut perhatian.
"Mau tinggal di mana?" tanya Romi dengan suara yang lembut namun hati-hati.
"Mau sama Papa Axel aja... takut direbut istri barunya," ucap Aluna, matanya berkilat sinis, tapi di balik itu ada luka yang belum sembuh.
Romi terdiam sejenak. Ada rasa getir di dadanya, tapi ia memilih tersenyum. "Iya sudah, kita pulang," ucapnya akhirnya, sambil menyuapi Aluna potongan apel.
Sore itu, Aluna pulang bersama Romi. Di depan rumah sakit, Ray menatapnya dengan pandangan lembut-pandangan yang seolah ingin berkata lebih dari sekadar perpisahan sementara.
"Sehat, ya. Besok sekolah," ucap Ray sambil tersenyum manis.
"Ya, makasih," jawab Aluna, menunduk pelan, pipinya memanas.
"Senyumnya mana? Aku mau pulang nanti lemes di jalan," goda Ray dengan nada lembut.
Aluna pun tersenyum malu-malu. "Makasih," ucapnya pelan.
"Ayok, Aluna," seru Romi dari mobil, dengan nada sedikit kesal-ada sedikit cemburu, bukan karena cinta, tapi karena rasa kehilangan.
"Iya, Pah."
Aluna pun melangkah masuk mobil. Dari kaca, Ray melambaikan tangan. Senyum itu masih menggantung bahkan saat mobil Romi melaju menjauh.
Sesampainya di rumah, Ray langsung rebahan di kasur. Ia menatap langit-langit sambil tersenyum sendiri. Dalam benaknya, terputar kembali semua momen-bagaimana ia mengejar perhatian Aluna, bagaimana gadis itu dulu begitu dingin. Tapi justru itu yang membuatnya jatuh cinta semakin dalam.
Sudah sampai? tulis Ray lewat chat.
Sudah, balas Aluna singkat.
Istirahat ya, tulis Ray lagi.
Hmm, thanks.
Aluna menatap langit-langit kamarnya, senyum kecil terlukis di bibirnya. Tapi senyum itu perlahan memudar saat pintu diketuk pelan.
"Aluna sudah sembuh," ucap Laura dengan senyum ramah.
"Keliatannya," jawab Aluna datar.
"Tante bawain puding buat Aluna," Laura meletakkan wadah kecil di meja, berusaha menembus tembok dingin antara mereka.
"Nggak usah. Bawa aja," ucap Aluna ketus.
Laura tetap mencoba tersenyum. "Aluna suka ke pantai, ya?" tanyanya lembut.
Tak ada jawaban.
"Kita ke pantai yuk, sama Papa," lanjut Laura mencoba akrab.
"Nggak. Aku bisa sendiri," balas Aluna dingin.
Laura menarik napas. "Maafin Tante, ya. Tante tahu, kamu nggak akan suka sama Tante. Tapi Tante akan tetap berusaha buat jadi ibu buat kamu."
"Ibu aku cuma Bu Kayla. Ingat itu," ucap Aluna tegas. Tatapannya menohok.
Laura terdiam sejenak, lalu tersenyum getir. "Iya, Tante ngerti. Nggak akan ada yang bisa gantiin seorang ibu. Tapi kalau kamu butuh teman, Tante siap, ya."
Aluna tak menjawab. Pandangannya beralih ke jendela, langit sore memantulkan cahaya lembut di wajahnya. Lalu ponselnya berdering. Ray menelpon.
Laura paham, ia pamit keluar, memberi ruang.
"Halo," ucap Aluna pelan.
"Kok nggak bales chat aku?" tanya Ray dari seberang sana.
"Tadi ada gangguan," jawab Aluna singkat.
"Oh, gitu. Besok aku jemput ya. Kamu jangan bawa mobil," ucap Ray dengan nada lembut tapi sedikit tegas.
"Hmm... ok," ucap Aluna, senyum kecil kembali muncul di bibirnya.
"Ya udah, bobo ya. Istirahat."
"Iya," jawab Aluna lalu menutup telepon.
Bersambung....
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣