Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Hujan turun dengan derasnya saat Selina dan Ian hendak pulang, membuat keduanya terpaksa berteduh di halte dekat mall. Angin yang berhembus kencang membuat tubuh kecil Ian menggigil.
Selina meraih putranya, memeluknya erat di pangkuannya. Ia mengusap-ngusap telapak tangan bocah itu, berusaha memberi sedikit kehangatan.
“Mama… dingin…” kata Ian lirih.
Selina menunduk. “Maaf, sayang… Mama lupa bawa jaket kamu.”
Ian menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mama. Mama pasti juga kedinginan, kan?”
Selina mengangguk, lalu semakin merapatkan pelukannya. Ia membiarkan dingin itu menembus kulitnya, asalkan Ian tetap hangat di dekapannya. Di halte itu hanya ada mereka berdua.
Sementara itu, di basement parkir mall, Jayden dan Maisa masih menunggu. Hujan deras membuat Jayden tak ingin mengambil resiko menjalankan mobilnya.
“Kok kamu mau nerima orang kayak dia kerja di Aetherworks?” tanya Maisa tiba-tiba, nada suaranya sinis.
Jayden melirik singkat. “Memang kenapa? Perusahaan itu milikku. Terserah aku mau terima siapa pun.”
Maisa mendengus kecil. “Aku cuma heran. Dan... aku ngerasa kamu kayak… kepincut sama wanita miskin itu”
“Kepincut gimana? Aku bukan orang yang mudah jatuh cinta. Mau sama orang cantik, baik, atau seksi kayak kamu… nggak ada satupun yang bisa bikin aku jatuh cinta.” Suaranya datar.
“Ish, dasar mulut tajam. Tapi kalau aku buka baju, kamu langsung birahi kan?” kata Maisa, mencoba memancing reaksi Jayden.
Jayden mengembuskan napas kasar, jelas tak tertarik. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan tetesan hujan yang menetes dari atap basement.
Hingga hampir satu jam, hujan akhirnya mulai mereda. Jayden menoleh sekilas ke samping, mendapati Maisa sudah tertidur dengan kepala bersandar di kaca jendela, napasnya teratur.
Mobil Jayden melaju keluar dari basement dengan kecepatan sedang. EarPods menempel di telinganya, matanya fokus ke jalan, sesekali menoleh ke layar ponselnya yang tersambung ke dashboard mobil. Karena itu, dia tidak memperhatikan seorang ibu dan anak kecil yang juga tengah melintas dengan motor pelan di bawah rintikan hujan yang belum benar-benar reda.
Byuuurr!!
Ban mobil Jayden melindas genangan air besar di sisi jalan. Cipratan air yang deras menyambar ke arah motor yang dikendarai Selina. Seketika tubuh Selina dan Ian basah kuyup.
“Ya ampun…!” seru Selina terkejut. Ia segera menoleh, memarkirkan motornya yang hampir oleng karena cipratan itu.
Matanya sekilas menangkap plat mobil yang baru saja melaju menjauh. Wajahnya langsung mengeras. Dia mengenali pemilik mobil itu. Selina menggigit bibir, mengira pria itu sengaja melakukannya untuk balas dendam.
“Mama… baju Ian basah,” ucap Ian pelan dengan suara gemetar. Tubuh mungilnya sudah kedinginan, kini ditambah basah kuyup membuat bibirnya sedikit membiru.
“Ya Allah…” Selina menahan rasa panik. Ia segera menghidupkan mesin motornya kembali. “Sabar sebentar lagi sayang.”
Motor tua itu melaju pelan. Selama hampir setengah jam perjalanan, Ian terus bersin-bersin.
Sesampainya di rumah kontrakan, Selina buru-buru menurunkan putranya. “Ayo mandi dulu, keramas, habis itu minum obat, terus istirahat.”
Benar saja, beberapa jam kemudian panas tubuh Ian semakin naik. Selina cemas bukan main saat mendapati tubuh putranya panas tapi menggigil. Ia sudah mengompres dahi Ian dengan air hangat, lalu mengusap-ngusap telapak tangan Ian, berusaha menyalurkan kehangatan.
“Sayang… tahan sebentar ya.”
Tok! Tok!
Ketukan pintu terdengar. Dalam benaknya, pasti itu Bi Desi. Tadi ia sempat menelpon tetangga itu untuk datang menjaga Ian sebentar, sementara ia harus keluar membeli sirup penurun panas karena Ian menolak minum obat tablet.
Selina mengecup kening putranya pelan. “Diam sebentar, Sayang. Mama bukain pintu dulu, ya.” kata Selina sebelum berjalan keluar kamar.
Selina langsung membuka pintu, namun alangkah terkejutnya ia saat mendapati yang berdiri di hadapannya bukan Bi Desi, melainkan Zavier bersama kedua orangtuanya.
Napas Selina tercekat, pasokan udara di sekitarnya terasa sesak, seakan-akan kontrakannya yang sempit ini tak ada udara.
Zavier menatap mantan istrinya dengan sorot mata yang sulit dibaca—dingin, tapi sekaligus menyimpan kegelisahan.
Selina tersadar. Wanita itu refleks mendorong pintu kembali, berusaha menutup rapat-rapat. Namun, Zavier dengan cepat menahan menggunakan kakinya yang berbalut sepatu hitam mengilap, dan tangannya menjepit sisi pintu agar tidak tertutup.
“Selina… jangan seperti ini. Biarkan kita bicara, biarkan juga kami bertemu Ian,” ucap Denada, dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca.
“Untuk apa kalian datang ke sini?!” bentak Selina. “Aku bukan lagi menantu kalian! Kehadiran kalian hanya membuang-buang waktu saja!”
“Kami datang baik-baik, Selina. Tidak seharusnya kamu bersikap begini,” balas Zavier tegas. “Jangan salahkan kami kalau akhirnya kami menuntut hak asuh Ian!”
Amarah Selina langsung memuncak. Genggamannya pada gagang pintu terlepas, membuat pintu terbuka lebar. Selina sempat terhuyung ke belakang sebelum ia maju dan meninju perut Zavier dengan sekuat tenaga.
“Dasar tidak tahu malu!” teriaknya, napasnya terengah. “Aku tidak akan membiarkan kalian menemui putraku ataupun menyentuhnya sejengkal pun!”
Zavier meringis kesakitan, tapi menahan kedua pergelangan tangan Selina yang masih berusaha memukulnya. “Selina! Hentikan!” serunya keras.
“Selina… tolong, jangan seperti ini, Nak…” Denada mencoba menenangkan, tangannya meraih bahu Selina.
“Tidak! Kalian harus pergi dari rumahku! Atau—” Selina menatap mereka penuh amarah. “—akan kupanggil satpam di sini untuk menyeret kalian keluar dengan paksa!”
Nafas Selina memburu, tubuhnya bergetar karena emosi bercampur rasa takut. Sementara Zavier masih mencengkeram pergelangan tangannya, menatap dengan rahang mengeras.
“Kami hanya ingin bicara denganmu, tapi beginikah sikap yang kamu tunjukkan pada kami?” suara Zavier meninggi, matanya berkilat marah. “Pantas saja orang tuamu membuangmu! Dengan perangai sekeras batu seperti ini, siapa pun akan muak menghadapi dirimu!”
Kata-kata itu menghujam seperti pisau. Selina tertegun.
“Masih mending kami peduli!” lanjut Zavier. “Lihat dirimu! Orang tuamu sendiri bahkan tidak ada niatan menjengukmu, apalagi memperhatikan keadaanmu. Kalau bukan karena kami, siapa yang mau peduli sama kamu dan anakmu itu?”
“Kamu memang tidak tahu diuntung!” bentaknya lagi.
Air mata Selina jatuh begitu saja. Tangannya yang tadi memberontak kini melemah, seperti kehilangan tenaga, hatinya berdenyut nyeri seolah diremas.
“Ya… apa pun yang ingin kamu katakan padaku, silakan saja,” bisiknya serak, menahan sesenggukan. “Aku tidak peduli. Tapi aku tetap pada keputusanku. Aku tidak akan, dan tidak akan pernah, menyerahkan Ian kepada kalian. Bahkan jika aku harus mati sekalipun!”
Zavier menatap wajah mantan istrinya itu. Di balik sorot marah Selina, ia melihat ribuan luka yang terpesona. Luka yang entah disebabkan olehnya atau orang tuanya.
“Nak, tolong pikirkan baik-baik,” kini Hero, ikut bersuara. “Kami janji tidak akan membawa pewaris kami pergi. Kami hanya ingin bicara. Hanya itu. Izinkan kami menemui Ian.”
“Iya, Nak,” sambung Denada, ibunda Zavier, sambil menangkupkan kedua tangannya penuh harap. “Kami tidak minta apa-apa. Kami hanya ingin penjelasan darimu, dan izinkan kami bertemu cucu kami. Itu saja.”
Selina terisak. Tubuhnya bergetar, hatinya tersayat.
“Jangan egois, Selina,” ucap Zavier. “Anakmu juga berhak tahu siapa ayahnya. Dia berhak tahu siapa keluarganya.”
Selina memejamkan matanya erat, mengusap wajahnya kasar.
“Aku tetap—”
Prang!!
Belum sempat Selina menyelesaikan kalimatnya, suara pecahan kaca dari kamar menggema.
Mata Selina membelalak, jantungnya nyaris melompat keluar. Baru saat ini ia teringat—Ian! Putranya sedang sakit, dan seharusnya ia membeli obat tadi.
Tanpa pikir panjang, Selina berlari menerobos kamar, diikuti Zavier dan kedua orang tuanya.
“Ya Tuhan…” kata Denada lirih.
Betapa terkejutnya mereka melihat Ian terbaring di kasur dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Tangannya meraba-raba sekitar seakan mencari pegangan, matanya setengah terpejam.
“Ian!!” jerit Selina.
padahal lembek