Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27 Rapuh
Beberapa jam setelah kejadian, dokter keluar dari ruang ICU sambil menurunkan sedikit maskernya. Wajahnya tampak lelah.
"Siapa keluarga pasien atas nama Vikto Kusuma?" tanya dokter.
Sekalipun lututnya gemetar, Dinda yang pertama kali berdiri, diikuti Riko dan Nyonya Wirna.
"Bagaimana kondisi suami saya, Dok?" tanya Dinda dengan suara lirih dan bergetar.
Dokter menarik napas panjang.
"Untuk saat ini, pasien masih dalam kondisi koma traumatik. Benturan di kepala cukup keras, tapi untungnya tidak ada pendarahan hebat. Kami sudah melakukan tindakan terbaik. Yang dibutuhkan pasien sekarang hanyalah waktu… dan ketenangan."
Dinda langsung menutup mulutnya, menahan tangis yang pecah tanpa bisa dihentikan. Tubuhnya bergetar, pundaknya turun naik.
"Ini… ini semua salah aku," bisiknya lirih, wajahnya memucat.
Nyonya Wirna mendadak menunjuk Dinda dengan suara tinggi.
"Tuh, dengar sendiri, kan? Semua ini terjadi gara-gara kamu! Kalau kamu tidak muncul lagi di kehidupan anakku—"
"Cukup!"
Suara itu milik Riko, tegas dan dipenuhi amarah. Ia maju selangkah, berdiri sebagai tameng di depan Dinda.
"Nyonya tidak berhak menyalahkan Dinda. Yang memaksa perjodohan itu Nyonya, bukan dia. Kalau bukan karena tekanan Nyonya, Vikto tidak akan sekacau ini!" bentaknya.
Nyonya Wirna terperangah, jelas tak menyangka Riko berani bicara seperti itu.
"Berani sekali kamu bic—"
"Saya tidak peduli Nyonya marah atau tidak. Tapi kalau sampai menghina Dinda lagi, saya yang tidak akan diam." Mata Riko menatap tajam, dingin, dan penuh perlindungan.
Dinda menarik pelan lengan Riko, berbisik lemah,
"Rik… jangan. Aku tidak apa-apa."
Riko menggeleng kuat.
"Kamu jelas tidak baik-baik saja, Din."
Adinda langsung lemas. Lututnya gemetar hingga hampir jatuh. Riko refleks menangkap bahunya, menjaga agar Adinda tetap berdiri.
“Jangan dulu mengambil keputusan apa-apa. Yang paling penting sekarang adalah menjaga kondisi Anda.” Tambah dokter sebelum pamit dan kembali ke ICU.
Setelah dokter pergi, Adinda menutupi wajahnya dan terisak hebat.
“Ini semua… salahku… semuanya salahku. Kalau saja aku tidak pergi, kalau saja aku tidak membuat dia mengejarku—”
“Dinda…” Riko memotong pelan, menunduk agar sejajar dengan wajah Adinda. “Berhenti menyalahkan diri sendiri. Yang terjadi… sudah terjadi.”
Tapi air mata Adinda terus jatuh tanpa bisa ditahan.
“Aku membuat Kak Vikto koma, Riko… aku. Aku yang membuat dia seperti itu.”
Riko mengepalkan tangan, tampak jelas dia ingin mengatakan sesuatu, namun menahan diri.
“Aku akan tetap di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Setidaknya… biarkan aku menjaga kamu. Sampai kondisi Vikto membaik.”
Adinda hanya menggeleng sambil menangis.
“Aku… aku takut. Semua orang membenciku. Ibunya Kak Vikto… bahkan Oma Hela sampai kena serangan. Aku… aku benar-benar membawa sial.”
“Berhenti.” Riko menegas, tapi suaranya tetap lembut. “Adinda, kamu bukan pembawa sial. Kamu cuma perempuan yang terlalu sering disakiti oleh orang-orang yang seharusnya melindungi kamu, termasuk aku yang sudah menyakitimu. Maafkan aku, Dinda.”
Ucapan itu membuat Adinda terdiam.
Riko menarik napas panjang, lalu berdiri sedikit lebih dekat.
“Kamu duduk dulu. Aku belikan air hangat.”
Tanpa menunggu jawaban, Riko segera pergi dan kembali beberapa menit kemudian dengan minuman hangat serta selimut tipis milik rumah sakit.
“Minum dulu. Kamu pucat banget,” katanya sambil menyampirkan selimut ke bahu Adinda.
Adinda menggenggam cangkir itu dengan tangan gemetar.
Riko duduk di kursi tunggu persis di sampingnya, menjaga jarak namun tetap terlihat siaga, matanya tak lepas dari wajah Adinda yang sendu. Ingin sekali rasanya memeluk Adinda, tapi terhalang dengan statusnya yang sekarang.
'Andai saja aku tidak menceraikan mu, dan lebih percaya padamu, mungkin kita tidak akan mengalami hal yang seperti ini. Aku benar-benar menyesal, Dinda. Aku ingin kita kembali seperti dulu lagi, dan kita pergi jauh, dan hidup bahagia berdua.' Batin Riko penuh dengan penyesalan.
Beberapa perawat lalu keluar masuk, memeriksa alat, menahan pintu ICU agar tetap steril—semuanya terasa berputar lambat, menambah udara tegang yang menggantung.
Hingga akhirnya, salah satu perawat keluar dan memberi tahu,
“Kondisi Tuan Vikto sedikit stabil, tapi belum sadar. Jika ada perubahan, kami akan segera memberi kabar.”
Adinda mengangguk lemah.
Riko menatapnya dalam-dalam,
“Aku di sini… sampai kapan pun kamu butuh.”
Adinda mengusap air matanya, suaranya hampir tak terdengar.
“Terima kasih… maafkan aku yang sudah merepotkan mu.”
Namun tatapan Riko perlahan berubah, ada rasa bersalah, ada kerinduan, ada luka lama yang belum sembuh, tapi juga ada sesuatu yang baru, yaktu tekad untuk menjaga Adinda, meski status mereka tak lagi sama.
Dan di balik pintu ICU, Vikto terbaring tak berdaya… tanpa sadar bahwa kedua lelaki itu kini sama-sama menjaganya, dan sama-sama menginginkan perempuan yang berada di luar ruangan itu.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..