Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Pesta Penyambutan
🦋
Malam sudah turun saat Kiran kembali ke kediaman Calderon. Lampu-lampu taman menyala lembut, memantulkan bayangan dedaunan di permukaan kolam. Auliandra duduk di teras, menyeruput teh chamomile.
"Kamu terlihat seperti habis berperang," ujarnya sambil melirik Kiran.
"Bisa dibilang begitu," jawab Kiran, menaruh tasnya di kursi.
Auliandra mengangkat alis. "Dan aku yakin ini tentang keluarga Wardana."
Kiran tak membantah. Ia duduk, menatap lurus pada Auliandra.
"Tiga hari lagi, mereka akan mengadakan pesta untuk menyambut Zayn. Aku akan datang."
Auliandra hampir tersedak tehnya. "Kamu gila? Itu seperti berjalan masuk ke sarang harimau."
"Justru di sarang itulah aku akan mulai mencabik mereka."
Jevano yang baru keluar dari garasi, mendengar ucapan itu. Ia menaruh kunci mobil di meja.
"Apa kamu mau aku jadi tameng atau pengalih perhatian?"
Kiran menatapnya sekilas. "Keduanya."
Auliandra bersandar, memandangi Kiran seperti sedang membaca rencana besar di matanya.
"Katakan, apa yang sebenarnya kau incar? Harta? Reputasi?"
Kiran menggeleng. "Bukan harta. Aku ingin mereka saling mencurigai, saling menjatuhkan, hingga kehancuran itu datang dari dalam."
Senyum tipis terbit di bibirnya. "Dan pesta itu… akan jadi langkah pertama."
Dua Hari Sebelum Pesta – Persiapan
Kiran berdiri di depan cermin panjang. Gaun malam berwarna midnight blue membalut tubuhnya dengan sempurna, potongan lehernya elegan, dan bagian punggungnya terbuka separuh.
Auliandra membantu menata rambutnya ke atas, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah.
"Jika Gavriel melihatmu seperti ini, dia akan..."
"Dia akan sadar… bahwa wanita yang dia pikir sudah hancur, justru lebih berbahaya sekarang," potong Kiran dingin.
Jevano masuk membawa sebuah kotak beludru hitam. "Kalung ini akan jadi senjata terakhirmu malam itu."
Kiran membuka kotak itu. Sebuah liontin berbentuk kupu-kupu berlapis berlian berkilau di dalamnya.
"Kupu-kupu?" tanya Auliandra.
"Simbol metamorfosis," jawab Kiran sambil mengenakannya. "Dulu aku ulat yang mereka injak. Sekarang, aku kupu-kupu yang sayapnya bisa memotong leher mereka."
Di Pihak Wardana – Malam Menjelang Pesta
Shara duduk di ruang makan keluarga, menyusun daftar tamu. Gavriel masuk sambil melihat file di ponselnya.
"Pastikan keamanan diperketat. Aku tak ingin ada orang asing masuk," ujar Shara.
Gavriel hanya mengangguk, tapi matanya sesekali memandang ke luar jendela, seakan mengantisipasi sesuatu.
Raditya, yang sedari tadi diam, tiba-tiba berkata, " Aku ingin bertemu dengan tunangan mu, apa malam ini dia akan datang?"
Gavriel menoleh pelan. "Dia akan datang. Aku bisa merasakannya."
***
Pesta penyambutan itu megah, terlalu megah untuk sekadar menyambut cucu laki-laki yang 'baru ditemukan', Zayn Arkananta Alsaki.
Langit Jakarta malam itu bersih tanpa awan, sementara kediaman Wardana berdiri bak istana bercahaya emas. Lampu-lampu kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, memantulkan kemewahan yang bahkan membuat para tamu sulit memalingkan pandangan. Setiap bunga diatur rapi, setiap meja didekorasi dengan taplak satin, dan aroma anggur mahal bercampur wangi mawar mengisi udara.
Semua sudah dipersiapkan dengan teliti, bukan hanya agar Zayn merasa istimewa, tapi juga untuk memastikan cerita yang disebar Shara terdengar meyakinkan: bahwa Zayn baru ditemukan beberapa hari lalu. Sebuah narasi rapi yang menutup rapat masa lalu bocah itu.
Tamu-tamu yang hadir bukan orang sembarangan. Ada keluarga besar bisnis raksasa: Atharel, Majesty, Emerson, Calderon, Kaldareth, Benawat, Candala, Thandor, Bhaskara dan Naraska, semuanya berdiri dalam lingkaran elegan, mengobrol sambil memegang gelas kristal berisi wine merah. Mereka adalah para penguasa yang wajahnya sering menghiasi majalah bisnis, sekaligus orang-orang yang gosipnya bisa menghancurkan reputasi siapa saja.
Edwin menggenggam jemari Kiran erat, memberi kekuatan tanpa berkata apa pun. Di sudut lain, Auliandra berada di dalam pelukan Jevano, seolah sedang berusaha diredam dari badai emosinya sendiri. Asteria dan Nira berdiri bersebelahan, masing-masing dengan gelas wine, bibirnya tersenyum tipis tapi matanya penuh waspada.
Lucas dan Yenna datang mewakili keluarga Majesty, membawa putri mereka Lucy Kestrel Majesty, gadis 12 tahun yang tampak malu-malu. Dari keluarga Emerson, Viora dan Arziki hadir bersama Ginela Arrabelle Emerson yang baru berusia sembilan tahun. Ghazi dan Rhaena berdiri mewakili keluarga Bhaskara, menggantikan Gavin dan Prisha yang berhalangan.
Ketika musik meriah mulai mengalun, Gavriel masuk dengan Zayn di sisinya. Bocah itu mengenakan setelan kecil berwarna abu keperakan, matanya berkilau seperti permata yang tak ternodai. Tepuk tangan mengiringi langkah mereka, sementara para tamu mengucapkan "Selamat datang" dengan nada yang sulit dibedakan antara tulus atau sekadar formalitas.
"Selamat malam semuanya," suara Gavriel menggema. Ia sempat melirik Zayn dengan tatapan lembut, lalu menatap kerumunan. "Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk hadir malam ini."
Ia berhenti sejenak, memberi jeda dramatis, lalu mengangkat Zayn ke pelukannya agar semua bisa melihat. "Malam ini saya ingin mengumumkan sesuatu yang penting. Dia adalah putra saya… dengan seorang wanita bernama Valora. Dulu istriku memberinya nama Zayn Arkananta Alsaki."
Di antara kerumunan, Lucas menahan napas sebelum berbisik ke Yenna, "Besar juga nyalimu, Gav…" Nada suaranya tajam. Yenna cepat mengelus lengannya, khawatir emosi Lucas akan meledak di tempat yang salah. "Tenanglah, sayang," ucapnya lembut.
Beberapa tamu saling bertukar pandang. Ketegangan tipis mulai menyusup di balik senyum formal mereka.
"Maaf, Tuan Gavriel," seorang tamu pria memberanikan diri, "di mana istri Anda sekarang? Sepengetahuan kami, Anda tak pernah terlihat bersama wanita mana pun."
Tatapan Gavriel mengeras sesaat. Di dalam hati, ia ingin mengatakan bahwa Valora ada di ruangan ini, hanya saja wanita itu tak mengenalnya lagi. Namun bibirnya memilih kalimat lain.
"Dia juga hilang… dan belum ditemukan hingga kini."
Bisik-bisik mulai terdengar. Seorang tamu wanita bersuara, "Bukankah Valora adalah putri bungsu keluarga Majesty?"
"Ya, benar. Dan ayahnya adalah putra kedua Tuan Wardana," sambung yang lain. "Itu artinya…"
Mata Gavriel bergeser ke arah Kiran yang berdiri di samping Edwin. Wajah Kiran datar, nyaris tanpa emosi, sementara Auliandra di pelukan Jevano menatap Zayn seperti ingin menembus lapisan udara di antara mereka.
"Nama Valora," Shara cepat menyela, "tidak hanya dimiliki oleh satu orang. Banyak wanita di kota ini yang bernama sama." Suaranya terdengar manis tapi mengandung kegelisahan yang sulit disembunyikan.
Namun seorang tamu kembali bertanya, "Kalau begitu, di mana Nona Valora Majesty? Mengapa ia tak hadir dalam acara sepenting ini?"
Kematian Valora memang rahasia yang dijaga ketat. Mereka yang menghadiri pemakamannya hanyalah segelintir orang yang bisa diajak bekerja sama, tak lebih.
Lucas akhirnya bersuara lantang, tatapannya menusuk. "Adik bungsu saya sedang menempuh S2 di Universitas Yonsei, dan kami tidak ada sangkut pautnya dengan keluarga Wardana."
Kata-kata itu meluncur seperti pisau dingin, membuat ruangan yang tadinya riuh terasa lebih berat.
🦋To be continued...