“Menikahlah denganku, Kang!”
“Apa untungnya untukku?”
“Kegadisanku, aku dengar Kang Saga suka 'perawan' kan? Akang bisa dapatkan itu, tapi syaratnya kita nikah dulu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim99, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Megang Gunung
Berbeda dengan Satya yang sedang kesal habis-habisan, Naura justru masih menikmati resepsi pernikahan yang dia jalani agar terlihat seperti manusia normal.
Kamar tamu di rumah Bah Ali cukup luas, dindingnya krem lembut dengan aroma melati dari dekorasi resepsi. Namun, justru kesunyian itulah yang membuat Naura dan Sagara sama-sama kikuk ketika pintu di belakang mereka dikunci dari luar.
“Abah? Raka? Ini… ngapain dikunci?” Suara Naura langsung naik satu oktaf. Orang-orang itu suka sekali mengganggunya, padahal dia hanya ingin hidup tenang.
Dari luar terdengar tawa tertahan.
“Biar cepat! Kalian ganti baju bareng aja! Resepsinya mau mulai!” seru Raka sambil menahan tawa.
“Iya! Jangan lama-lama saling sungkan. Kalian kan suami istri sekarang,” tambah Abah, masih terdengar geli.
Naura memicing, sementara Sagara hanya memijit batang hidungnya.
“Astaghfirullah, ini orang-orang.” gumamnya pelan. Mata Naura melirik suaminya dan semakin lama, tatapannya semakin menajam. “Kamu duluan, Kang!"
“Apa?”
“K-kamu duluan, Kang… kamu kan cowok.”
Namun, Sagara menggeleng pelan.
“Kamu saja dulu.”
“Enggak, kamu saja ....”
Bruk!
Tanpa sengaja mereka saling maju bersamaan dan saling menubruk. Naura memekik kecil, Sagara cepat-cepat menangkap lengannya agar tidak jatuh.
“Maaf,” ucap mereka bersamaan.
Tatapan mereka bertemu sepersekian detik sebelum keduanya sama-sama buru-buru memalingkan wajah. Setelah ciuman tak sengaja tadi, Naura dan Sagara memang lebih canggung dari sebelumnya. Padahal, mereka sama-sama tidak mengharapkan apapun dari pernikahan itu.
Akhirnya Sagara menghela napas pendek. Mau tidak mau, dia yang ganti baju lebih dulu.
“Ya sudah, saya duluan. Biar cepat selesai.”
Sagara menanggalkan beskap putih susu itu perlahan. Jemarinya melepaskan kancing-kancing di dada, hingga dadanya yang bidang dan tubuhnya yang terlatih mulai terlihat.
Bukannya menunduk, Naura malah menatap tanpa kedip, mata berbinar seperti anak kecil melihat hadiah lebaran.
“Kamu ngeliatin?”
Naura langsung mendongak ke plafon pura-pura.
“Siapa? Aku? Engg…kamu salah lihat.”
“Naura.”
“Iya, iya… punten, Akang.” Tapi matanya mencuri pandang lagi.
Sagara hanya mengembuskan napas, setengah pasrah. Lalu ia melangkah mendekat, tubuhnya membuat Naura kaku seperti tiang bendera.
Tanpa ada aba-aba, Sagara memegang kedua bahunya lembut lalu memutar tubuh Naura supaya membelakangi dia, agar perempuan itu tidak terus menatapnya seperti penonton bioskop.
Naura tersipu, tapi masih nyengir kecil, merasa dikerjai.
“Kenapa sih, padahal cuma mau liat aja, pelit!” gumamnya. Padahal Sagara bisa mendengar itu, tapi lagi-lagi dia hanya mendesah kecil.
Setelah Sagara selesai, ia duduk di tepi ranjang. Ya mau keluar bagaimana, orang pintu kamar dikunci dari luar.
“Sekarang… jangan lihat, ya.” Naura berdeham, malu tapi sok berwibawa.
Berbeda dengan Naura, Sagara hanya mengangguk patuh.
Namun Naura tidak percaya.
Ia meraih pashmina yang ada di atas nakas, entah milik siapa dia tidak tahu. Senyum kecil terbit di bibirnya lantas ia berjalan mendekati Sagara, dan mengikat pashmina itu menutupi mata suaminya.
“Serius?” tanya Sagara.
“Iya. Duduk diam.”
Sagara menurut, duduk tegak seperti tentara menjalani hukuman.
Perlahan, Naura mulai berusaha membuka zipper gaun resepsinya di belakang. Ia meraba, menarik, memutar, tapi ....
“Aduh! Kok susah banget sih!” gerutunya. Zipper itu macet total. Padahal ukurannya sudah sangat pas, tapi kenapa seperti ini?
“Hah!” Ia mendesah kesal. Naura mendekati Sagara, masih dengan pashmina menutup matanya.
“Kang, bantuin dong. Zipper-nya macet.”
“Kemarilah!”
Meskipun agak ragu, Naura membelakangi Sagara. Pria itu pun mencoba meraba titik zipper… Tapi tangannya justru bergerak ke arah yang salah posisi.
Dan…
CUP.
Telapak tangannya mendarat tepat di salah satu “gunung kembar” Naura. Keduanya sama-sama membeku. Dia m nyoba memakannya, Naura membelakanginya kan? Perasan Naura tidak gemuk, apa dia memiliki penyakit? Dengan sangat penasaran, Sagara memencetnya.
Tapi, karena Naura tidak mengatakan apa-apa, dia pun membuka penutup mata dan saat menatap ke arah tangannya, seketika dia melotot melihat Naura yang berdiri menghadapnya dan tangannya itu, tadi meremas sesuatu yang ....
“Eh, astaghfirullah! Ini apa?“
Mendengar suara suaminya, kesadaran Naura kembali. Perempuan itu melotot dan dia ....
“AAaaaamm ....”
Sagara langsung bangkit, menarik tubuh Naura ke ranjang, satu tangannya menutup mulut Naura.
“Jangan teriak! Nanti orang luar mikir macam-macam!” bisiknya panik, wajahnya merah padam.
Naura terjebak di bawah tubuh Sagara, napas mereka beradu, matanya membelalak, antara marah, malu, dan… geli sendiri.
“Sumpah, saya enggak nggak sengaja!”
Iya, tadi dia bilang tidak sengaja, tapi posisinya saat ini benar-benar membuat Naura akan gila ....
... ... ...
Sementara itu, di tempat lain ....
Di antara keramaian, seorang pria yang memakai topi hitam, masker, dan jaket abu-abu celingukan. Langkahnya penuh kewaspadaan, seperti orang yang hendak mengambil idangan.
Napasnya berat. Matanya terus menyapu area resepsi, mencari seseorang.
“Mana kamu, Nand,” gumamnya.
Ketika ia berjalan melewati meja jamuan, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang ia cari. Perempuan itu ada di sana.
Dia sedang berbicara dengan seorang tamu pria berkemeja biru. Ia tampak Tersenyum kecil, sopan, sama seperti biasanya.
Satya mengepal. Ada rasa panas yang menyembur ke dadanya. Dia tidak rela, dia sangat tidak rela Nanda direbut orang lain.
Tanpa pikir panjang, dia melangkah terburu-buru, lalu tangannya meraih pergelangan tangan Nanda dan menariknya pergi.
“Ikut aku sebentar.”
“Eh! Lepasin! S... siapa kamu?!” Nanda meronta panik.
“Neng? Perlu bantuan?” tanya pria tadi.
“Enggak!” Satya menjawab cepat. “Saya cuma mau bicara sebentar.”
Ia menarik Nanda ke sisi samping rumah, tempat dekorasi bunga menutup sebagian tembok, membuat area itu sepi dan tersembunyi.
“Lepas! Kamu gila atau gimana.” Nanda hendak menghajar orang itu, tapi tiba-tiba Satya membuka masker dan topinya.
“Neng, ini aku.”
Sontak Nanda membeku.
“A Satya?”
“Maafin aku, Neng.”
Namun, Nanda malah mundur selangkah. Rahangnya mengeras dan matanya menatap marah ke arah Satya.
“Ngapain kamu ke sini? Kamu… kamu udah nikah sama Laras? Buat apa cari aku?”
Satya langsung menggenggam kedua tangan Nanda. Menatapnya dengan Tatapannya memohon.
“Aku nggak bermaksud nyakitin kamu atuh. Demi Allah, Neng, aku benar-benar sayang sama kamu.”
“No.” Nanda menepis tangannya. “Jangan. Jangan bilang kayak gitu.”
“Nanda, dengar dulu ....”
“Satya, kamu udah nikah!” Nanda hampir berteriak. “Pernikahan kamu sama Laras, itu SAH! Jadi jangan cari-cari aku lagi!”
Bruk!
Mata Nanda langsung melotot melihat Satya yang berlutut di depannya. Dan masih menggenggam tangan Nanda.
Wajahnya tampak kacau, matanya memohon ampun seperti orang yang sudah kehilangan semuanya.
“Aku bakal ceraikan Laras,” bisiknya penuh tekad. “Aku janji, demi kamu. Cuma jangan marah sama aku, Neng. Jangan jauh dari aku atuh, ya. Punten pisan, maaf, Neng.”
“ A Satya… tolong jangan gila.”
“Aku serius.” Ia semakin memelas. “Kamu satu-satunya orang yang aku pilih, bukan Laras. Bukan siapa pun, bahkan bukan Naura, tapi Kamu. Aku mencintaimu sejak pandangan pertama.”
“Aku benci kamu, Satya.” Air matanya jatuh. “Aku benci sama kamu, aku enggak mau rebut suami orang.”
Dan Satya semakin menunduk, menyentuh keningnya ke punggung tangan Nanda.
“Aku mohon, maafkan aku, ya? Please ... Kalau kamu bersedia, kita bisa nikah siri. Aku akan kasih apapun yang kamu mau, Heumm? Mau ya?”
Kapan sih Sagara berterus terang n terbuka ma Naura..kayak main petak umpet mulu ga kelar²
truus Nau jgn mrh dulu tu saga lgi jujur tu ma gundik nya lok dia GK cinta fany