Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh Hari Pengobatan Qingwan!
Kabut tipis turun dari langit pagi di atas Sekte Qingyun. Gunung-gunung berlapis awan tampak seperti lautan putih yang menelan ujung-ujung paviliun jade dan menara batu. Udara lembab menyelimuti seluruh sekte, namun di balik kesejukan pagi itu, ada hawa lain yang menusuk hingga ke tulang.
Fengyuan berjalan paling depan, jubahnya mengepak perlahan tertiup angin spiritual yang turun dari puncak gunung. Di belakangnya, Jian Wuji melangkah dengan langkah tenang, sementara di sisi kanan mereka Lumo mengikuti tanpa suara, matanya menatap lurus pada jalur berbatu yang dipenuhi lumut dan dedaunan kering. Jalan menuju kamar Qingwan berada di sisi utara lembah belakang, tempat di mana hampir tidak ada murid sekte yang berani mendekat.
Udara di sekitar mereka semakin menurun suhunya seiring langkah yang terus maju. Lapisan embun yang menempel di dedaunan berubah menjadi butiran es halus. Bahkan kabut spiritual yang mengambang di udara terlihat membeku perlahan, menandakan bahwa aura Yin yang keluar dari kamar Qingwan bukan aura biasa.
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di depan sebuah bangunan batu berwarna biru muda, terpisah dari aula utama sekte. Atapnya tertutup salju tipis meski musim panas sedang berlangsung. Dinding-dindingnya mengeluarkan uap dingin yang samar. Begitu mereka berhenti di depan pintu, hawa dingin menyerang bagaikan ribuan jarum halus menembus kulit dan tulang.
Fengyuan berhenti dan menatap pintu kamar muridnya. “Inilah tempatnya,” katanya pelan. Nafasnya keluar dalam bentuk kabut putih. Jian Wuji mengernyit, sementara Lumo diam, menatap ke depan dengan mata setajam bilah pedang.
Meskipun pintu kamar itu tertutup rapat, hawa dingin sudah terasa menusuk dari celah kecil di bawahnya. Lapisan es tipis membungkus gagang pintu. Fengyuan mengangkat tangannya perlahan, lalu membuka sedikit celah pintu itu.
Dalam sekejap, semburan udara beku keluar seperti gelombang yang menghantam tubuh mereka. Udara menjadi kaku, dan lapisan es langsung menempel di bagian luar pintu. Jian Wuji spontan mundur setengah langkah, sementara Fengyuan segera menutup kembali pintu itu. Ia menatap Lumo dengan mata khawatir.
“Daoyo Lu,” katanya dengan suara rendah, “aku hanya bisa menunggu di depan pintu. Jika aku memaksa masuk, tak akan butuh waktu lama sebelum seluruh tubuhku membeku.”
Lumo terdiam, matanya menyipit menatap ke arah celah pintu yang baru saja ditutup. Dari celah itu, hawa Yin yang pekat masih merembes keluar, seolah kamar itu menyimpan kematian yang membeku. Ia menarik napas perlahan, mencoba merasakan energi yang berputar di balik dinding es itu.
Benar saja. Aura di dalam ruangan itu bukan hanya dingin, tapi juga liar dan kacau. Itu bukan sekadar hawa Yin alami, melainkan kekuatan ekstrem yang kehilangan kendali.
“Tidak apa,” jawab Lumo singkat. Suaranya datar, tapi mengandung ketegasan yang membuat dua tetua di hadapannya tidak berani menentang. “Kalian tunggu saja di luar. Tinggalkan satu pelayan di depan pintu. Jika aku butuh sesuatu, dia bisa meminta pada kalian.”
Fengyuan dan Jian Wuji saling bertukar pandang, lalu mengangguk bersamaan. Wajah Fengyuan terlihat semakin berat, namun ia berusaha tetap tenang. “Daoyo Lu,” katanya pelan, “aku serahkan pengobatan Qingwan padamu. Karena hanya kau satu-satunya harapan yang tersisa. Tak ada tabib, tak ada kultivator yang mampu masuk ke dalam kamar itu tanpa kehilangan nyawanya.”
Lumo menatapnya. “Lalu mengapa aku?” tanyanya perlahan. “Aku sama seperti yang lainnya, Daoyo Feng.”
Jian Wuji menggeleng cepat. “Rekan Lu jangan merendahkan diri.”
Fengyuan menatap Lumo dengan senyum getir yang samar. “Aku melakukan ini karena hatiku berkata demikian. Intuisi seorang guru dan seorang ayah tidak pernah berbohong. Hatiku mengatakan kau pasti bisa menyelamatkannya.”
Lumo menunduk sedikit, menghela napas. Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Ia melangkah maju, tangannya menyentuh gagang pintu yang membeku. “Aku akan masuk,” katanya tenang. “Tunggulah sampai prosesnya selesai.”
Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu itu dan melangkah masuk. Begitu pintu tertutup, udara dingin langsung menyelimuti seluruh ruangan. Pakaian putihnya membeku dalam sekejap, kristal es menempel di ujung rambutnya. Namun Lumo hanya mengangkat tangan, dan dari ujung jarinya muncul api berwarna biru.
Api itu berputar seperti nyala roh, menyala terang namun tanpa asap. Ia mengalirkannya ke seluruh tubuh, membentuk lapisan perlindungan. Dalam sekejap, hawa dingin di sekitarnya tak lagi bisa menembus kulitnya.
“Api biru…” gumamnya pelan. “Api ketiga terkuat di seluruh Benua Zhou. Seperti dalam rumornya, api biru mampu menahan hawa dingin dari tubuh yin ekstrem.”
Langkahnya bergema di lantai batu yang membeku. Setiap sudut ruangan tertutup lapisan es yang tebal, bahkan dinding dan atap tampak seperti kristal biru transparan. Udara di dalam kamar begitu beku hingga napas pun terasa seperti serpihan pisau.
Ia menatap ranjang di tengah ruangan. Seluruh permukaannya diselimuti es biru pekat. Di atasnya, seorang gadis berpakaian biru terbaring kaku, tubuhnya pucat seperti salju.
Lumo mendekat perlahan. Cahaya biru dari apinya menerangi wajah gadis itu. Wajah yang lembut, tenang, namun tampak menahan rasa sakit yang dalam. Kedua alisnya sedikit berkerut, bibirnya membiru.
Ia duduk di sisi ranjang, lalu meletakkan dua jarinya di pergelangan tangan gadis itu. Qi di dalam tubuhnya mengalir masuk, kesadarannya menelusuri meridian gadis itu.
Apa yang dilihatnya membuat napasnya tertahan. Di dalam meridian gadis itu, aura Yin mengamuk liar, bergerak seperti ribuan ular es yang berusaha memakan daging dan tulangnya sendiri. Aliran energi itu tidak stabil, setiap putarannya menggerogoti vitalitas gadis itu sedikit demi sedikit.
Ketika ia menembus lebih dalam, sampai ke dantian, Lumo melihat cahaya biru tenang yang bergetar di sana. Dari luar tampak damai, tapi di baliknya tersembunyi kekuatan yang menakutkan, seperti badai yang sedang menahan diri untuk tidak meledak.
"Tubuh gadis ini tidak sanggup menahan kekuatan sebesar itu. Jika dibiarkan, ia akan mati membeku dari dalam. Namun jika dikendalikan, tubuh Yin ekstrem seperti ini akan menjadi keberkahan langka, bisa menjadi fondasi kekuatan yang melampaui manusia biasa."
Lumo menarik tangannya perlahan, lalu membentuk segel. Api biru kembali berkobar di telapak tangannya, bercampur dengan aliran Qi spiritual dari dantian-nya sendiri. Ia menempelkan tangannya di perut gadis itu. Api biru menyusup perlahan ke tubuhnya, mengalir ke meridian demi meridian, menenangkan badai Yin yang mengamuk.
Waktu berlalu.
Dua jam telah lewat. Lumo masih duduk di tempat yang sama. Wajahnya pucat, keringat dingin menetes di pelipisnya. Dari sudut bibirnya mengalir darah tipis berwarna gelap. Ia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang menyerang jantung dan dantiannya. Serangan balik dari keseimbangan dua energi itu hampir memutus aliran Qi-nya.
Namun ia tidak berhenti. Api di tangannya semakin besar, membakar hawa Yin yang melawan. Tubuh gadis itu perlahan mulai berubah, warna kebiruan di kulitnya memudar sedikit. Nafasnya, yang sebelumnya hampir tak terdengar, kini mulai terasa samar.
“Ini... lebih sulit dari yang kubayangkan,” pikir Lumo dalam hati. Ia merasakan nyeri di dadanya, tulangnya seolah retak karena benturan energi Yin yang menolak. Tapi matanya tetap terpejam, menahan semua rasa sakit itu tanpa suara.
Dua hari berlalu.
Ketika Lumo keluar dari kamar itu, tubuhnya tampak lemah dan langkahnya goyah. Hawa dingin masih melekat di bahunya. Ia memanggil pelayan yang menunggu di luar. “Bawa... Ginseng seratus tahun, dan bunga Sizu yang tumbuh liar di lembah,” katanya pelan.
Pelayan itu terkejut, menatapnya dengan bingung. “Tuan... bunga Sizu? Itu bunga liar, bahkan kupu-kupu pun enggan mendekat...”
Belum sempat ia melanjutkan, Fengyuan dan Jian Wuji datang. Begitu melihat keadaan Lumo yang pucat, Fengyuan segera berseru, “Cepat! Lakukan seperti yang dia minta!” Pelayan itu menunduk dan segera berlari.
Mereka menatap Lumo dengan khawatir. Jian Wuji ingin bertanya, tapi Lumo hanya berkata singkat, “Semua baik-baik saja.” Lalu ia duduk sebentar, memulihkan napas. Tak lama, pelayan itu kembali membawa bahan yang diminta.
Lumo menerima ramuan itu, lalu kembali masuk ke kamar es tanpa banyak bicara.
Di dalam, ia duduk di sisi ranjang, meracik ramuan itu dalam tangan. Uap putih keluar dari telapak tangannya ketika energi spiritualnya menyatu dengan ramuan. Ia meminumkannya perlahan ke bibir Qingwan, lalu sisanya diminum sendiri.
Ramuan itu bekerja cepat. Warna pucat di wajah gadis itu mulai memudar. Tubuhnya sedikit bergerak, jemarinya bergetar pelan. Nafasnya menjadi lebih teratur.
Lumo membentuk segel kembali, menyalurkan api biru ke perut gadis itu. Kali ini lebih lembut, menuntun Qi Yin agar kembali ke jalurnya.
Hari demi hari berlalu.
Lima hari... kemudian tujuh hari...
Selama tujuh hari penuh, Lumo tidak berhenti. Api biru terus menyala, bergetar lembut, menahan keseimbangan antara dua kekuatan yang saling bertentangan. Ruangan yang dulunya seperti kuburan es kini mulai mencair. Es di dinding meleleh perlahan, menetes menjadi air jernih yang mengalir ke lantai.
Hawa dingin menghilang, berganti dengan kesejukan alami. Aura Yin di tubuh gadis itu kini teratur dan tenang. Dantiannya bersinar lembut, tanpa kekacauan.
Lumo membuka matanya perlahan. Wajahnya sangat pucat, matanya tampak berat. Tubuhnya berguncang kecil, hampir kehilangan kesadaran. Namun ia masih sempat melihat gadis itu, yang kini bernafas lembut dengan wajah tenang.
Senyum tipis muncul di bibirnya. Ia sempat berpikir, “Akhirnya selesai...”
Kemudian tubuhnya goyah, dan ia ambruk di samping ranjang. Dunia seolah memudar, hanya suara napas lembut dua manusia yang tersisa di ruangan itu.
Kamar itu hening. Cahaya dari jendela tertutup, sinar matahari tak mampu menembus es yang masih tersisa. Dalam keheningan itu, hanya dengusan napas dua jiwa yang berjuang antara hidup dan mati yang mengisi ruang.
Dan untuk pertama kalinya sejak tujuh hari lalu, hawa dingin yang mengurung tempat itu menghilang sepenuhnya.