Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Sore yang Mendekatkan Banyak Hal
“Han, masuk gih. Di luar anginnya kencang,” pinta Ezra saat Yuri masih asyik mengobrol dengan Widya di teras rumahnya.
“Bang,” sapa Widya dengan sungkan, yang hanya dibalas Ezra dengan senyuman kecil.
“Iya.”
Ezra kembali masuk ke rumah, namun sempat mengusap kepala Yuri sekilas. Yuri hanya diam, tapi Widya langsung heboh melihatnya.
“Hwaaa—so sweet banget sih! Pasangan baru emang beda. Mau…,” rengek Widya lirih sambil terus menggoda.
“Heleh… Yuk, masuk,” desis Yuri malas sambil memutar mata dengan tingkah Widya.
Mereka berjalan ke ruang tengah.
“Oh my—” pekik Widya, lalu buru-buru membekap mulutnya sendiri.
“Kenapa?” tanya Yuri berbisik sambil ikut berhenti jalan.
“I-itu… Bang Bimbo?” Widya menunjuk dengan mata membulat penuh binar dan senyum salah tingkah.
“Iya. Kenapa?” Yuri makin bingung melihat reaksi sahabatnya.
“Ih lo mah ya…” Widya memukul kecil lengan Yuri dengan gemas. Yuri ini benar-benar kuper alias kurang pergaulan.
“Dia itu kan bestie-nya Bang Ezra. Sama-sama ace-nya anak basket. Astaga… beruntungnya gue sore ini,” gumamnya dengan suara tertahan tapi jelas penuh girang. Lalu ia langsung berusaha memasang wajah biasa saja dan berjalan lagi meninggalkan Yuri di belakang sana.
Yuri hanya menggeleng—nggak habis pikir sama tingkah Widya yang selalu ajaib.
Begitu mereka memasuki ruang tengah, Bimbo yang sedang sibuk menyusun kantong makanan cepat saji di meja menoleh sambil tersenyum ramah. Sebelumnya Ezra sudah memesan beberapa makanan untuk menemani sore mereka.
“Halo,” sapanya ringan.
Widya langsung salah tingkah layaknya cacing kepanasan. “H-halo, Bang… Bimbo…” jawabnya dengan suara yang terlalu manis untuk ukuran Widya. Yuri yang mendengarkan ingin rasanya muntah.
Bimbo cuma tertawa kecil. “Siapa namanya? Tadi Ezra bilang kamu sahabat Yuri ya.”
“Eh? Oh, iya… iya Bang. Kenalin aku Widya.” Widya mengibas rambutnya pelan, jelas dirinya gugup tapi tetap berusaha terlihat santai didepan salah satu cogan di Fakultasnya. “Gue… eh, aku… senang bisa kenalan sama abang.”
“Hehehe, gitu ya,” balas Bimbo sambil membuka kotak ayam goreng. “Mau duduk sini?”, Bimbo menunjuk dudukan sofa disebelahnya.
Widya langsung duduk, bahkan terlalu cepat. Tanpa basa-basi. Yuri yang dari tadi cuma sebagai pengamat, cuma bisa menahan tawa.
Sementara itu Ezra duduk di sofa seperti tadi “Sini.”
Yuri mendekat dan duduk di sampingnya. Ezra spontan menarik kakinya, membuat lutut mereka bersinggungan. Ia pura-pura tetap fokus membuka minuman, padahal ekor matanya mengikuti gerak Yuri.
Namun perhatian mereka berdua langsung pindah dengan cepat ketika Widya dan Bimbo—yang baru kenalan beberapa detik lalu—tiba-tiba sudah akrab dan saling tertawa bersama.
“Bang serius? Jadi lo dulu yang paling sering bolos latihan?” tanya Widya sambil mencondongkan tubuh, matanya berbinar sore ini.
“Bukan bolos,” sanggah Bimbo sambil menunjuk dirinya sendiri. “Waktu itu sibuk ke kuliah.”
“Ngelesnya manis banget, Bang. Tapi kan sekarang jadi salah satu andalan tim,” balas Widya sambil tersenyum nakal.
Yuri menatap Ezra. Ezra menatap balik. Keduanya menghembuskan napas bersamaan. Seolah dari tatapan mereka bisa tahu maksud satu sama lain.
“Cepet banget akrabnya ya?” bisik Yuri pelan di telinga Ezra, hampir nggak terdengar.
Ezra menjawab lirih dengan wajah serius, “Mereka sudah kenal lima menit lalu, Han.”
"Ish... Malah ngelawak", Yuri memukul pelan lengan tangan Ezra.
Widya kini membuka selembar kentang goreng dan menggoyang-goyangkannya di depan Bimbo.
“Nih, coba deh sama abang. Enak banget kalo masih panas.”
Bimbo mengambil satu, dan jari mereka bersentuhan sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Mereka sama-sama terdiam sekian detik. Lalu sama-sama pura-pura nggak sadar.
Yuri dan Ezra duduk di seberang mereka, sibuk sebagai penonton.
Yuri memijat pelipis. “Bang Ez…”
“Hm?” Ezra mencondongkan sedikit tubuh.
“Bang Bimbo… single apa gimana?”
Ezra mengernyit kebingungan dengan pertanyaan kekasihnya ini. “Kenapa nanyanya kayak gitu? Tertarik?”
Yuri sebal sendiri. “Hih, bukan gitu"
"Ya biar gue siap-siap kalo Widya tiba-tiba jatuh cinta dan drama lagi," lanjutnya sambil mendesah pasrah.
Ezra menahan tawa. “Kayaknya sih single. Terakhir yang gue tahu.”
“Mhm…” Yuri mengangguk sambil melirik mereka. “Widya bakal heboh pasti sih.”
Ezra mendengus kecil. “Sudah dari sekarang. Tuh, kamu lihat.”
Keduanya kembali fokus pada makanan mereka. Ezra membukakan burger untuk Yuri, dan Yuri mengambilkannya tisu tanpa diminta—gesture kecil yang terasa alami bagi pasangan baru ini.
Sementara itu, Widya sudah masuk fase genit dan centil maksimal di hadapan seniornya.
“Bang Bimbo tinggi banget ya. Berapa sih? 185?” tanyanya sambil memiringkan kepala.
“187,” jawab Bimbo nggak mau terlalu pamer, hanya bilang fakta saja.
“Oh. Pantas…” gumam Widya sambil memainkan sedotan minumannya.
Bimbo menatapnya sambil tersenyum. “Apa?”
“Ya… gimana ya…” Widya menggantung kalimatnya sok misterius. “Kayak… abang ini bikin orang otomatis ngeh kalau itu abang.”
Bimbo justru terlihat sedikit kikuk, menggaruk tengkuk yang nggak gatal itu. “Hehe… gitu ya?”
Yuri menutup wajahnya dengan tangan. “Widya tolong…,” desisnya.
Ezra menahan tawa sampai bahunya berguncang sambil tangannya meremas jari-jari Yuri pelan.
Rumah Ezra dipenuhi aroma makanan cepat saji, bau hujan dan percakapan yang sebenarnya nggak direncanakan tapi justru bikin suasana semakin dekat.
Sore itu… terasa seperti hangat yang pas—meski di luar angin sedang bertiup kencang.
***
Setelah makan makanan cepat saji selesai, meja yang tadinya penuh kotak makanan kini tinggal sisa bungkus dan gelas minuman. Widya mengusap perutnya puas, sementara Bimbo dan Ezra membereskan sisa tisu dan lainnya dengan santai. Yuri baru saja menaruh gelas terakhirnya ketika dia teringat sesuatu.
“Wid, lo kan mau nunjukin contoh soal dari Isa,” katanya sambil sedikit menepuk lengan sahabatnya.
Widya langsung duduk tegak. “Eh, iya! Hampir lupa.”
Yuri pun menggeser duduknya ke sebelah Widya. Mereka berdua menunduk bersama melihat layar ponsel Widya yang memperlihatkan kumpulan soal latihan. Kepalanya hampir berdempetan, sesekali jari Widya menggeser layar, Yuri ikut membaca cepat dan menyimak.
Ezra yang awalnya sibuk dengan ponselnya setelah beres-beres melirik karena samar-samar mendengar kata soal ujian. Dia menoleh, kepo jelas terpancar dari wajahnya saat ini.
“Kalian bahas apa tuh? Kedengeran kayak soal ujian,” tanyanya sambil memajukan tubuhnya ke sebelah pacarnya.
Yuri menoleh sambil mengangguk. “Iya, besok kan ujian mata kuliah Bu Eva.”
Ezra mengerutkan kening. “Lah… itu kan soal yang gue kerjain tahun lalu.”
Widya dan Yuri langsung menoleh bersamaan, lalu keduanya berkata kompak, “Eh, iya!”
Mereka saling tatap satu detik—lalu tawa meledak di antara keduanya. Bahkan ponsel Widya sampai terjulur ke arah Yuri saking hebohnya. Bimbo yang duduk sedikit jauh hanya mengamati sambil tersenyum kecil, ekspresinya hangat—santai—tapi ada ketenangan khas seseorang yang tahu batas menikmati sore ini. Sepertinya dia juga urung pergi ke tempat temannya.
Ia melihat cara Yuri dan Widya tertawa, lalu sekilas melirik Ezra. Manis, pikirnya.
Tapi Bimbo jelas cukup peka untuk tahu diri; Yuri bukan seseorang yang boleh ia tatap lebih dalam dan ia harapkan. Widya juga mulai menarik hatinya yang kosong saat ini.
“Emang dapat nilai berapa, Bang, tahun lalu?” tanya Widya iseng sambil memainkan poninya.
Ezra, tentu saja, langsung memasang ekspresi bangga. Dia menegakkan bahu, menaikkan dagu sedikit, lalu menjawab singkat, “Sempurna dong.”
Alisnya naik-turun dua kali dengan gaya usil. Widya jelas nggak menyangka kalau seniornya ini sesantai ini, seolah buka siapa-siapa di kampus mereka.
Bimbo langsung tertawa keras. “Mulai,” celetuknya sambil menutupi mulutnya cepat.
“Diiih…” Yuri mengerucutkan bibir, sok jijik. Tapi pipinya sedikit menghangat. Dalam hatinya ia bangga—berpacaran dengan cowok cerdas itu menyenangkan. Ada rasa aman, ada rasa kagum, dan entah kenapa… ada rasa ingin memeluk Ezra sekarang juga.
Ezra, yang melihat ekspresi kecil itu, hanya tersenyum tipis.
“Kalau lo mau gue jelasin ulang materinya, tinggal bilang,” ucapnya sambil menepuk pelan punggung sofa.
Widya mencelos. “Wah, boleh tuh, Bang. Gue juga pengen—”
“Bukan lo, Wid,” potong Ezra cepat.
Widya memukul bantal sofa. “Kurang ajar banget!”
Bimbo sampai terbatuk menahan tawa.
Suasana menyenangkan itu terus bergulung. Yuri kembali menunduk memeriksa soal di layar Widya, sesekali berdiskusi kecil. Ezra jelas ikut nimbrung, tapi lebih sering mengomentari kesalahan menghafal Widya. Sementara Bimbo hanya menikmati dinamika mereka, merasa seperti menonton sitkom gratis. Lumayan buat hiburan di kala ujian, pikirnya.
***
Sisi lain.
Pak Kenan baru pulang dari kampus, masih dengan kemeja putihnya yang digulung setengah lengan. Ia memarkir mobil perlahan, mesin dimatikan, dan ia menarik napas panjang sebelum turun. Rumah itu terasa begitu sepi sore ini.
Begitu masuk, beliau mendapati ruang tamu kosong. Tak ada suara, tak ada lampu menyala karena kedua orang tuanya juga sedang di Kalimantan. Bi Ati, asisten rumah tangga, pasti sudah pulang satu jam lalu seperti biasanya.
Kenan membuka pintu belakang, melihat ke arah rumah kecil yang ditempati Yuri. Lampunya gelap, jendelanya tertutup rapat.
“Dia belum pulang ternyata…” gumamnya pelan.
Nada suaranya tenang—tapi tersembunyi sedikit khawatir. Bukan karena takut ada apa-apa, tapi karena satu hal dia takut kabar di Lambe Kampus benar adanya.
Ia berdiri cukup lama di depan pintu belakang itu, menatap gelap yang terasa lebih dingin dari biasanya.