"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sella, Lari!
DUA.
Sella memejamkan mata. Udara terasa tipis dan berbau logam dari moncong pistol yang menekan tengkuknya. Di seberang telepon, keheningan Edo lebih mematikan daripada ledakan apa pun.
“Tiga,” hitung Helena, nada suaranya seolah sedang membaca daftar belanjaan. “CEO kaya yang cerdik ini, kau dengar aku? Aku hanya ingin pergi dengan selamat, tanpa Bara mengejarku. Kau serahkan dirimu di penthouse atau kekasihmu mati.”
“Dia bukan kekasihku, dia sandera, Helena,” jawab Edo. Suaranya rendah, tenang, namun resonansinya di speaker ponsel Sella terasa seperti gemuruh gempa. Tidak ada kepanikan, hanya kontrol mutlak. “Kau tahu kita tidak berdagang seperti ini. Apalagi, setelah kau menggunakan sandi lama Sella, Andromeda, untuk mencoba meretasku. Itu bukan taktikmu. Siapa yang membantumu?”
Helena tertawa, tawa yang tajam dan tidak sehat.
“Kau sibuk bertanya siapa? Prioritasmu salah, Edo. Kau lihat bagaimana Sella memilih? Dia lari dari sandi yang dia berikan padamu. Dia membantuku menemukanmu. Dan kau—kau bahkan berpura-pura koma! Aku tidak tahu apa yang lebih menyedihkan: usahamu melindungi seorang wanita naif atau ketidakmampuanmu melihat pengkhianatan di depan matamu sendiri.”
“Sella tidak mengkhianatiku,” jawab Edo, suaranya mengandung kejujuran yang menghangatkan hati Sella, bahkan di bawah ancaman pistol. “Dia melindungiku dengan memberimu sandi yang dia tahu sudah tidak relevan. Itu disebut loyalty, Helena, sesuatu yang tidak pernah kau pahami.”
“Loyalitas? Jangan bicara omong kosong!” teriak Helena, tekanan di pistolnya mengencang hingga Sella merasakan sakit yang menusuk. “Jika dia loyal, kenapa dia memberiku tablet berisi informasi bahwa ayahmu, Bara, bersekongkol dengan Kartel Timur untuk menjatuhkan sainganmu di Eropa? Kenapa dia menyentuh informasi yang seharusnya menjadi akhir bagimu?”
Edo terdiam sejenak. Keheningan ini terasa seperti taruhan terbesar dalam hidup Sella.
“Itu adalah pertaruhan yang aku minta darinya,” jawab Edo, mengejutkan Sella. “Dia harus membuktikan di mana dia berdiri. Dia sudah memberimu informasi itu, dan kini kau yang memegang bom waktu, Helena. Jika kau merilis itu, kau bukan hanya menghancurkanku, tapi juga dirimu sendiri. Ingat, Bara sangat membencimu.”
Sella merasakan adrenalin membanjiri tubuhnya, bercampur dengan darah yang mengalir dari bahunya yang terluka. Ia tahu Edo sedang memainkan permainan catur tingkat tinggi, menggunakan rasa takut Helena terhadap Bara. Aku harus memanfaatkannya. Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku benar-benar ‘Andromeda’—si manipulator ulung.
“Kau sudah tahu, bukan?” desis Sella, memberanikan diri. “Kau sudah tahu Ayahmu berkhianat. Dan kau menunggu. Tapi aku juga punya rahasia, Edo. Andra kabur, dan dia akan menuju Bara. Dia akan menjadi umpan terbaikmu.”
Helena memukul pelan kepala Sella dengan pistol. “Tutup mulutmu! Jangan coba memanipulasi situasi, Sella! Kau harus melakukan apa yang kuminta.”
Sella tersentak, tetapi tidak menunjukkan rasa sakit.
“Kau harus membuka file enkripsi di tablet ini, Sella,” perintah Helena, suaranya kembali dingin dan menuntut. “Telepon ini sedang direkam oleh Edo. Biarkan dia mendengarkan bukti kotoran keluarganya sendiri, atau aku tarik pelatuknya. Sandi enam digit. Cepat.”
Sella menatap tablet di tangannya, cahayanya memantul di koridor gelap. Layar itu meminta kata sandi enam digit. Ia mengingat kata-kata Edo beberapa menit yang lalu: “Cari file yang dilindungi oleh enkripsi enam digit. Itu adalah…”
Edo belum sempat menyebutkannya. Sekarang, Edo harus memberikannya di hadapan Helena, dalam kode yang tak terdeteksi.
“Kau tidak akan membunuhku,” ucap Sella yakin, suaranya sedikit gemetar namun didukung oleh realisasi baru akan harga dirinya. “Jika aku mati, tablet ini akan otomatis terenkripsi ulang. Kau tidak akan pernah bisa mendapatkan rute keluar, Helena. Kau membutuhkan sandi ini sama sepertiku. Kau harus mengancam kami berdua untuk tetap hidup.”
Helena menghela napas panjang. “Cerdas. Sangat pintar, Nona yang terbuang. Aku kira aku tahu kenapa Edo terobsesi padamu.” Ia mendorong Sella ke dinding. “Baik, Edo. Dengarkan sandiwara kecil ini. Beri kami sandinya. Berikan dalam kode, jika kau takut Bara mendengarkan rekaman ini. Apa sandi enam digit itu?”
Di ujung telepon, Edo tetap tenang. “Sella, dengarkan aku baik-baik. Tanggal itu. Tanggal yang sangat penting bagi kita, Sayang. Tanggal yang menjadi penanda bahwa kau memilihku. Bahkan sebelum sandi ‘Andromeda’ muncul. Tanggal di mana kau mengatakan kepadaku bahwa meskipun kau pernah tertipu oleh kepalsuan, kau akan memberiku semua yang kau miliki, karena kau ingin memulai dari Nol.”
Helena mendengus. “Tanggal kencan pertama yang manis? Begitu saja? Jangan buang waktuku!”
Sella tersenyum tipis. Helena salah. Edo tidak merujuk pada kencan pertama mereka. Edo merujuk pada momen krusial, di mana Sella menyerahkan dirinya seutuhnya setelah Edo menyelamatkannya dari lubang hutang—momen di mana Sella menyadari Edo tidak hanya kaya, tapi tulus. Tanggal itu adalah ketika Sella mengucapkan kalimat keramat itu.
“Aku akan memberikan semua, dan aku ingin memulai dari nol.”
Nol. Itu adalah hari yang tidak pernah dia rayakan sebagai kencan. Itu adalah kode tanggal transfer kepemilikan saham pertama Edo ke rekening yayasan Sella, tanggal Edo benar-benar menanamkan investasinya di masa depan Sella. Sella tahu tanggalnya, dan dia mengetiknya dengan cepat, jari-jarinya menari di layar.
070321
Akses Diterima.
File-file meledak terbuka di layar. Ada satu file besar bernama: The Black List Protocol – Bara Conglomerate.
“Berhenti!” seru Helena, mencengkeram bahu Sella. “Apa yang kau lihat? Baca, Sella, sekarang!”
Sella mulai membaca, suaranya parau. “Ini adalah… ini adalah daftar kontak dan skema rahasia antara Ayahmu, Bara, dan seorang menteri pertahanan di Timur Tengah. Ini—ini bukan hanya kolusi bisnis, Edo. Ini transaksi senjata ilegal berskala internasional. Ayahmu menjual informasi intelijen yang membahayakan operasi keamanan negara kita.”
Hening total di kedua sisi telepon.
“Kau melihatnya sekarang, Sayang,” ucap Edo. Suaranya terdengar berat, dingin, tanpa emosi, suara seorang CEO yang baru saja mengkonfirmasi kehancuran total keluarganya. “Aku sudah menduganya. Itu alasanku harus berpura-pura koma, agar aku bisa membersihkan nama keluargaku tanpa intervensi. Sekarang, tablet itu adalah senjata. Serahkan ke Tim Tiga yang seharusnya menjemputmu di Pintu Dua.”
“Aku tidak akan menyerahkannya,” balas Helena, pistolnya kini ditarik menjauh dari Sella, diangkat tinggi-tinggi. Wajahnya menunjukkan kemenangan gila. “Sekarang aku punya Black List Protocol. Aku bukan hanya bebas, aku akan mengambil kendali. Selamat tinggal, CEO kecil.”
Helena mengarahkan pistolnya bukan pada Sella, melainkan pada tablet itu. Jika dia tidak bisa mendapatkannya, tidak ada orang lain yang boleh memilikinya.
Sella menyadari apa yang akan terjadi dan memeluk tablet itu ke dadanya. Detik itu juga, ponselnya menjerit. Bukan dari panggilan Edo, melainkan notifikasi darurat. Notifikasi dari sistem Aether. Bukan pesan kode, melainkan peta, yang menunjukkan sebuah ikon bergerak dengan cepat menuju posisi mereka.
ANDA TIDAK SENDIRI. ANDRA KEMBALI.
Sella menoleh ke lorong gelap di belakangnya, terkejut. Bagaimana mungkin Andra kembali? Dia seharusnya sudah lari jauh. Tapi sebelum Sella bisa bertanya atau memproses ancaman baru ini, Helena telah menarik pelatuknya. Suara ledakan pistol di ruangan baja kecil itu memekakkan telinga Sella. Tapi peluru itu tidak mengenai tablet. Peluru itu meleset jauh di atas kepala Sella, karena tangan Helena terhenti di udara, dipegang kuat oleh sepasang tangan kekar yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Itu bukan Tim Tiga Edo.
“Jangan merusak mainanku, wanita jalang,” desis sebuah suara yang dikenali Sella sebagai Andra, kini bukan lagi mokondo pengecut, melainkan predator liar dengan mata berkilat karena pengkhianatan yang mendidih. Dia kembali, bukan untuk menolong Sella, tetapi untuk membalas dendam.
Helena menjerit, terkejut. Sella menggunakan kesempatan ini untuk merangkak mundur, masih memeluk tablet itu erat-erat.
“Aku sudah bilang,” kata Andra pada Sella, bibirnya tersenyum miring, “Jangan pernah libatkan dirimu dengan CEO gila itu. Aku kembali, Sayang. Dan sekarang, kita punya masalah baru, karena kau membuangku.”
Di telepon yang masih terhubung, Edo meraung, pertama kali Sella mendengar ia kehilangan ketenangannya.
“Sella, lari! Dia kembali! Jangan biarkan dia mendekati tablet itu! Andra adalah umpan yang tidak ingin kita pancing sekarang!”
Andra mendorong Helena ke dinding, tubuhnya yang dulu terlihat ringkih kini penuh dengan amarah yang membara. Dia mengambil pistol Helena dan memutarnya di jarinya. Matanya kembali menatap Sella, melihat tablet data yang bernilai miliaran, dan menyadari peluang kedua yang telah Sella berikan padanya.
“Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan, Sella. Termasuk berlian kecilku ini,” desis Andra, mengacungkan pistol ke arah Sella. “Sekarang, kembalikan apa yang seharusnya menjadi milikku. Dan aku akan mempertimbangkan untuk tidak menghancurkan ponsel Edo, atau membocorkan semua yang ada di tablet ini kepada Bara. Berikan aku tabletnya, atau—”
Sella menatapnya, ia tahu ini adalah titik balik. Ia harus membuktikan dirinya jauh lebih tangguh dari sekadar korban penipuan Andra. Ia telah melihat kegilaan sejati di mata Andra. Tapi dia juga telah belajar cara untuk bermain. Dengan darah di bahunya dan keyakinan baru di hatinya, Sella menyeringai kembali.
“Atau apa, Andra?” tantang Sella. “Kau pikir aku masih gadis bucin yang mudah dirayu itu? Edo menantangku. Kau menantangku. Kau memberiku trauma. Dan aku akan membalasnya dengan—”
Tiba-tiba, lorong itu dipenuhi asap tebal. Bukan asap dari tim Edo, melainkan cairan yang sangat pekat, berbau kimia dan cepat meluas. Lampu darurat padam total, meninggalkan Sella, Andra, dan Helena dalam kegelapan mutlak, tercekik oleh kabut.
Andra batuk, melepaskan cengkeraman pada pistol. “Apa ini?”
“Asap nitrogen cair,” desis Edo dari ponsel yang masih berteriak di telinga Sella. “Itu adalah pertahanan darurat terakhir dari Aether. Aku menguncimu dan semua orang di sana, Sella. Kecuali…”
“Kecuali apa?” tanya Sella, meraba-raba di lantai. Ia bisa mendengar batuk hebat Andra dan rintihan frustrasi Helena.
“Kecuali yang memiliki kunci biologisnya,” suara Edo tercekat, seperti ada yang memotongnya dari sisi lain. “Kau memiliki darahku di bajumu dari waktu kita… Sella, kau adalah kunci itu! Cari panel biometrik di dinding! Kau harus lari, Sayang. Sekarang!”