Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35
Malam harinya Rada duduk di balkon kamarnya mengenakan piyama satin warna gading. Di tangannya, ponsel masih menampilkan pesan terakhir dari Mama Gavin. Pesan yang menampilkan sederet foto rumah yang baru saja selesai direnovasi seminggu lalu.
Rumah itu tampak hangat, bergaya modern-minimalis dengan sentuhan elegan. Dinding kaca besar menghadap taman belakang, ada kolam kecil dengan air mancur, dan ruang tamu luas berwarna netral yang tampak menenangkan. Bahkan sudah diisi dengan beberapa perabotan baru sebagian besar tampak jelas dipilih oleh Gavin sendiri.
Rada tak bisa menahan senyum, kebetulan sekali rumah itu mirip sekali dengan rumah impiannya.
[ Mama Lauren : Rumahnya sudah siap, sayang. Kami harap kamu suka. Gavin merancang dan memilih semuanya.]
Rada membaca kalimat itu berulang kali. Gavin yang merancang dan memilih semuanya. Kebetulan sekali seleranya dan Gavin sama.
Ia menatap langit malam, berusaha menenangkan diri. Seharusnya ia tidak perlu berdebar seperti ini. Ia menikah karena kesalahpahaman, karena keluarga, karena tanggung jawab, bukan karena cinta. Tapi tetap saja setiap kali memikirkan Gavin, wajah datarnya, caranya memperhatikan tanpa terlihat peduli, dan suaranya yang selalu tenang membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“Rada…” suara lembut Bunda memanggil dari balik pintu. “Kamu belum tidur, Nak?”
Rada segera bangkit dan membuka pintu. “Belum, Bun. Cuma… agak susah tidur.”
Bunda tersenyum hangat, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang. “Wajar, kamu akan menikah besok. Bunda dulu juga begitu. Perasaan campur aduk, senang, takut, bingung, tapi… itu semua bagian dari kebahagiaan.”
“Aku cuma takut, Bun… kalau Gavin menikah karena terpaksa. Dia terlalu tenang, terlalu datar. Aku bahkan nggak tahu apa dia senang dengan semua ini.” kata Rada tersenyum tipis.
Bunda mengelus rambut putrinya lembut. “Gavin bukan tipe pria yang mudah menunjukkan perasaannya, Sayang. Tapi dari caranya memperlakukan kamu, Bunda tahu dia peduli. Lihat saja rumah itu, kamu pikir pria yang tidak peduli akan memilih semuanya dengan detail begitu?”
“Aku… nggak tahu, Bun.” Rada menunduk, menatap ujung jarinya
“Percayalah, kadang cinta itu tidak perlu diucapkan keras-keras. Ada cinta yang hanya bisa kamu lihat dari tindakan kecil. Dan Bunda rasa, Gavin termasuk yang seperti itu.” Bunda tersenyum penuh arti
Hening sejenak.
Rada kemudian bersandar di bahu bundanya. “Aku cuma ingin semuanya berjalan baik. Aku ingin belajar mencintainya tanpa takut terluka lagi.”
Bunda memeluknya lembut. “Dan Bunda yakin kamu bisa.”
Beberapa menit kemudian, Bunda meninggalkan kamar, membiarkan Rada sendirian lagi. Rada kembali ke balkon, menatap kota yang berkilau dari kejauhan. Dalam diam, ia menatap layar ponsel yang kini menampilkan nama Gavin. Pesan belum terkirim, hanya satu kalimat yang belum berani ia kirim:
[ Nerada : Kamu sudah tidur?]
Jemarinya ragu. Lalu ia menghapus pesan itu sebelum akhirnya mematikan layar ponsel dan menatap langit malam lagi.
“Besok aku akan jadi istrimu, Gavin. Aku harap ini bukan cuma karena kesalahpahaman.”
Di tempat lain, di rumah keluarga Agler, Gavin duduk di ruang kerjanya dengan laptop terbuka. Di mejanya, ada foto kecil dari lokasi rumah yang sama, rumah yang ia pilih sendiri.
Alex, asistennya, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi hati-hati.
“Semua persiapan untuk besok sudah beres, Sir. Termasuk keamanan dan dokumentasi.”
Gavin hanya mengangguk. “Baik. Pastikan tidak ada kesalahan.”
Alex ragu sejenak. “Tuan… kalau boleh bertanya, Anda terlihat… gelisah malam ini.”
Gavin berhenti mengetik, pandangannya mengarah ke foto rumah di mejanya. “Tidak. Aku hanya berpikir,” jawabnya singkat, datar seperti biasa.
Namun, begitu Alex pergi, Gavin bersandar di kursinya dan menatap langit-langit. Ia menarik nafas dalam, seolah mencoba menenangkan diri.
......
Suasana kamar malam itu begitu hening. Lampu tidur berwarna kuning temaram memantulkan cahaya lembut di dinding kamar Rada yang dipenuhi tas dan koper berisi perlengkapan untuk esok hari. Rada baru saja hendak memejamkan mata ketika terdengar suara ketukan pelan di pintu.
“Masuk saja,” katanya lemah, mengira itu Alia atau Ashley yang ingin mengambil sesuatu.
Namun yang muncul justru sosok yang tak pernah ia sangka akan datang malam itu, Naysa. Kakaknya berdiri di ambang pintu, mengenakan gaun tidur satin warna merah marun, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sepasang mata yang menyiratkan kebencian.
Rada bangkit duduk. “Ada apa?” tanyanya hati-hati.
Naysa melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. “Besok kamu akan menikah dengan Gavin, kan?” suaranya datar, tapi mengandung nada aneh seolah ingin memastikan sesuatu.
“Iya. Kenapa?” Rada mengangguk pelan
“Kamu pikir kamu beruntung?” Naysa mendengus kecil sambil berjalan mendekat, menatap Rada dari atas ke bawah. “Gavin bukan pria biasa. Aku bisa saja tertarik padanya kalau mau.”
Suaranya tajam menusuk seperti pisau yang diselipkan di antara kata-kata. Rada menatapnya tak percaya. “Kamu datang ke sini cuma untuk bilang itu?”
Naysa tersenyum miring. “Anggap saja peringatan. Jangan terlalu percaya diri hanya karena dia akan menikahimu. Pria sebaik apapun bisa berpaling kalau diberi sesuatu yang menggoda dan menarik.”
Rada menarik napas panjang, menatap kakaknya dengan mata yang mulai berair. “Kenapa? Kenapa kamu selalu bersikap seperti ini padaku? Apa aku pernah melakukan sesuatu yang membuatmu membenciku?”
Naysa terdiam sejenak. Wajahnya membeku, lalu senyumnya menghilang.
“Aku tidak suka melihatmu selalu mendapatkan semuanya, Rada,” katanya pelan, tapi penuh bisa. “Sejak kecil semua orang menyukaimu. Ayah, Bunda, bahkan El dulu pun memilihmu. Aku benci melihatmu diperlakukan seolah kamu sempurna. Jadi... mungkin aku hanya ingin mengambil sedikit dari apa yang selalu jadi milikmu.”
Kata-kata itu menghantam Rada seperti hantaman keras di dada. Ia ingin marah, tapi ia sebisa mungkin menahannya. “Kam sudah berhasil. El sudah kamu ambil. Sekarang... apa kamu juga mau menghancurkan pernikahanku?”
Naysa tertawa kecil, dingin. “Tenang saja. Aku belum bosan hidup. Tapi jangan salahkan aku kalau suatu hari aku berubah pikiran.”
Ia berbalik hendak keluar, namun sebelum membuka pintu ia berhenti sejenak dan menoleh.
“Oh ya, Rada,” ujarnya sambil tersenyum miring, “semoga besok kamu bisa tersenyum dengan tulus, meski aku tahu kamu menikah bukan karena cinta.”
Pintu tertutup perlahan. Dan Rada hanya bisa duduk diam di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan kakaknya.
selamat rada utk kehamilanya.