NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27. SEMAKIN DALAM

Pusaran kabut yang mereka masuki terasa seperti menelan jiwa. Tubuh mereka serasa melayang tanpa bobot, namun pada saat yang sama tertarik ke bawah dengan kekuatan besar. Mata Sadewa silau, seperti tertimpa ribuan cahaya sekaligus, lalu tiba-tiba-

BUM!

Mereka terjatuh di sebuah tanah lapang yang asing. Warna-warna di sekeliling bukan warna dunia manusia; langitnya keunguan dengan retakan cahaya berkilau bagai kaca pecah, tanahnya berkilau kehijauan seperti lumut bercahaya, sementara udara dipenuhi butiran cahaya yang menari tanpa henti.

Sadewa terengah, mencoba berdiri. Arsel menahan lengan temannya itu, sementara Tama menepuk-nepuk bajunya yang tak ternodai meski barusan jatuh.

Andi berdiri dengan tenang. "Kita sudah melewati gerbang utama. Ini adalah lapisan tengah astral. Dari sini, jalan menuju tempat ibumu ditawan semakin dekat ... tapi juga semakin berbahaya."

Sadewa menatap sekeliling, dadanya sesak. Meski tempat itu indah dalam cara yang aneh, ada rasa tertekan yang kuat, seperti ribuan mata mengawasi dari balik kabut.

"Bagaimana kita tahu di mana Ibu berada? Tempat ini membuatku seperti nggak bisa bernapas," tanyanya Sadewa.

Andi mengangkat tangannya, memejamkan mata. Dari telapak tangannya keluar kilau biru yang melayang ke udara, lalu berubah menjadi garis-garis cahaya membentuk peta samar. Di tengah peta itu, tampak titik merah berdenyut.

"Itu dia," ucap Andi. "Sukma ibumu. Tapi jalannya panjang dan penuh penghalang. Kalian harus siap."

Arsel menatap peta itu dengan sorot mata penuh tekad. "Kalau itu jalannya, kita akan tempuh."

Tama menggenggam keris peninggalan Eyang lebih erat. "Aku nggak peduli berapa banyak penghalang. Selama ada kemungkinan menyelamatkan Ibu Sadewa, aku nggak akan mundur."

Sadewa menggertakkan gigi. "Aku akan menjemput Ibu, apa pun taruhannya."

Mereka mulai berjalan mengikuti cahaya peta. Jalan itu membawa mereka menuju hutan raksasa yang aneh. Pohon-pohonnya menjulang, namun batangnya hitam berkilau seperti obsidian. Daunnya lebar, berwarna biru tua, dan setiap kali disentuh angin, daun-daun itu mengeluarkan bisikan samar.

Sadewa merinding. Bisikan itu bukan sekadar suara angin; ada kata-kata di dalamnya. Kata-kata yang berusaha menembus hati terdalam.

"Engkau lemah ... engkau tak sanggup ...."

"Lebih baik menyerah."

"Ibumu sudah tiada."

Sadewa menutup telinganya, tapi bisikan itu tetap terdengar dari dalam kepalanya. Terdengar menyebalkan setiap kali Sadewa berusaha untuk tidak mendengarkan.

Arsel mendekat, meraih bahunya. "Sadewa, dengarkan aku! Itu hanya ilusi! Jangan biarkan mereka masuk ke pikiranmu!"

Tama ikut menahan benang merah agar tidak meregang. "Fokus! Ingat pesan Eyang!"

"Aku tahu! Tapi mereka terlalu berisik," jawab Sadewa yang masih dalam kesadaran penuh.

Andi melayang perlahan di depan mereka, matanya berkilau. "Hutan ini adalah ujian jiwa. Semakin kalian goyah, semakin dalam kalian tersesat. Jangan percaya pada suara-suara itu."

Dengan langkah tertatih, mereka menembus hutan. Setiap kali menoleh, mereka melihat bayangan diri mereka sendiri berjalan di belakang. Kadang bayangan itu tersenyum sinis, kadang menangis, kadang berteriak marah.

Sadewa nyaris terpeleset mengikuti bayangan ibunya yang muncul di antara pepohonan, tapi Arsel segera menarik benang merah dengan kuat.

"Sadewa! Itu bukan dia!"

"Astaga! Kenapa aku ke sini?" ucap Sadewa yang tersadar kalau ia bergerak tanpa ia tahu.

"Kita harus tetap saling berdekatan. Mereka terlalu licik," kata Tama.

Mereka terus melangkah, hingga akhirnya hutan itu berakhir pada sebuah dataran yang terang oleh cahaya rembulan palsu di langit ungu.

Di tengah dataran, berdiri sebuah gerbang batu besar, dihiasi ukiran naga yang saling melilit. Api biru menyala di puncak gerbang, berderak namun tak menghanguskan.

Namun di depan gerbang itu, ada sosok lain, seorang pria tinggi dengan wajah menyerupai manusia, namun kulitnya kelabu dan matanya kosong putih. Ia mengenakan jubah hitam panjang, dan di tangannya ada tongkat berujung tengkorak.

"Tidak ada yang boleh lewat," suara pria itu berat, bergetar seperti guntur. Sukma yang kalian cari sudah menjadi milik Tuan kami."

Sadewa maju setapak. "Nggak! Itu sukma ibuku! Dia nggak berhak diambil!"

Pria itu tersenyum dingin. "Segala yang lemah adalah milik kami. Kau pun akan segera menyusul."

Tama mengangkat kerisnya, tubuhnya bergetar namun sorot matanya tegas. "Kalau kau menghalangi, maka kami akan melawan."

Arsel melangkah ke depan, berdiri sejajar dengan Tama. "Kami nggak takut."

Andi menatap sosok itu lama, lalu mendesah. "Dia adalah penjaga bayangan, diciptakan untuk menguji keberanian. Dia tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan fisik, tapi dengan tekad dan nyali."

Pria itu mendekat, tongkatnya menghentak tanah. Segera tanah bergetar, dan dari bawah muncul tangan-tangan hitam yang mencoba meraih kaki mereka.

Sadewa menjerit kaget. "Arghh! Mereka menarikku!"

Benang merah menegang, Arsel dan Tama serentak menarik tubuh Sadewa agar tidak jatuh. "Jangan lepaskan, Sadewa!"

Andi mengangkat tangannya, cahaya putih memancar. "Kalian harus bersatu! Katakan sumpah kalian, sekarang!"

Dengan nafas terengah, Arsel berteriak, "Kami nggak akan berpisah, apa pun yang terjadi!"

Tama menyusul, "Kami terikat oleh niat yang sama, untuk menyelamatkan!"

Sadewa akhirnya bersuara, keberanian menguap dalam dirinya. "Aku nggak akan menyerah! Aku akan membawa Ibu kembali!"

Tiba-tiba, benang merah yang mengikat mereka berkilau terang. Cahaya itu menyebar, membungkus tubuh mereka bertiga. Tangan-tangan hitam itu terlepas, berteriak kesakitan sebelum lenyap menjadi debu.

Pria penjaga itu menatap mereka dengan mata kosong, lalu tersenyum samar. "Kalian lolos. Tapi jalan berikutnya akan lebih gelap."

"Seperti sekolah saja semua ada ujiannya," gerutu Sadewa.

Tubuh penjaga pun perlahan memudar, meninggalkan gerbang batu yang kini terbuka lebar.

Di balik gerbang, jalan bercahaya kembali terlihat, kali ini lebih terang. Dari kejauhan, mereka bisa melihat kabut merah yang bergolak, seperti api tanpa panas. Di tengah kabut itu, samar-samar terdengar suara lirih, suara seorang perempuan yang merintih pelan.

Sadewa terhenti, jantungnya serasa berhenti berdetak. "Itu ... itu suara Ibu!"

Arsel menatap adiknya, menegakkan bahu. "Kalau begitu, kita semakin dekat."

Tama menelan ludah, menggenggam keris lebih erat. "Mari kita jemput beliau."

Andi menatap mereka bertiga dengan sorot tajam. "Kalian sudah melewati dua ujian. Tapi ingat, yang berikutnya bukan sekadar ujian. Musuh kalian menunggu di sana. Dan dia tidak akan membiarkan kalian pergi dengan mudah."

Sadewa menggenggam benang merah di tangannya, menahan gemetar. "Apa pun yang menunggu, aku nggak akan mundur."

Mereka pun melangkah ke dalam kabut merah yang bergejolak, dengan hati bergetar namun tekad menyala. Suara Ibu Sadewa semakin jelas, memanggil, seolah menuntun mereka semakin dekat.

Perjalanan mereka menuju inti kegelapan pun baru saja dimulai. Dan ketakutan terbesar harus mereka hadapi di dalam kegelapan sana. Mencengkeram mereka seperti serangga kecil yang tak berdaya

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!