Anna dan Ananta dua gadis kembar yang sengaja di pisahkan sejak masih bayi. Setelah dewasa, keduanya tidak sengaja kembali bertemu dan sepakat untuk bertukar tempat karena merasa tidak puas dengan kehidupan mereka masing-masing.
Kehidupan keduanya bertolak belakang. Anna hidup sederhana di kota kecil, sedangkan Ananta hidup serba berkecukupan di Ibukota. Anna dicintai dengan tulus oleh Raksa, pemilik hotel tempat Anna bekerja sebagai Cleaning Service. Sedangkan Ananta sudah menikah dengan Rendra, salah pengusaha muda kaya raya. Sayangnya Ananta tidak dicintai.
Ikuti keseruan cerita mereka. Tolong jangan lompati Bab yaa.
Terima kasih sudah mampir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nittagiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Restu Untuk Raksa
Di kota kecil, pesawat yang membawa Anna pulang, sudah mendarat dengan selamat di salah satu Bandara di sana. Cukup lama gadis itu termenung di ruang tunggu, sebelum benar-benar keluar dari bangunan berlantai itu.
Setelah keluar dari Bandara, Anna tidak langsung pulang ke rumah. Dia memilih pergi ke taman yang berada di tengah kota. Sesekali ia memeriksa ponsel, karena benda pipih itu terus saja berdering. Raksa, entah bagaimana kabar laki-laki itu selama lima hari ini. Anna hanya terus memandangi layar ponsel miliknya. Nama Raksa tertera di sana. Belasan pesan dan puluhan panggilan ia abaikan.
Masih di kota kecil, namun, di tempat berbeda, Raksa terlihat sangat gusar. Ia sudah menghubungi orang kepercayaannya di hotel, untuk menanyakan perihal Anna. Namun, lagi-lagi gadis itu tidak menampakkan diri di hotel.
‘Kemana dia?’ Tanya Raksa di dalam hati. Jika saat ini ayahnya tidak tiba-tiba sakit, pasti ia sudah pergi melihat gadis itu.
“Apa ibu mu sudah datang?” Tanya sang Ayah, menyadarkan Raksa dari lamunan. “Ada apa?” Tanya laki-laki paruh baya itu lagi saat melihat putranya gelisah.
“Tidak ada apa-apa, Papa,” Jawab Raksa. Ia kembali memasukkan ponsel miliknya ke dalam saku celana. “Apa Papa butuh bantuan?” Tanya nya lagi, saat melihat dokter keluarga baru saja menyelesaikan tugas nya.
Laki-laki paruh baya yang kini sudah bersandar di kepala ranjang. Ia meraih tangan putranya, dan menepuknya pelan.
“Kamu benar, seharusnya pernikahan tidak disangkutkan dengan kekuasaan. Lihatlah keadaan Papa sekarang. Istri hanyalah alat untuk memperkuat kekuasaan. Dan kini, bahkan setelah terbaring di ranjang, wanita yang bergelar istri itu hanya akan sibuk dengan kepentingannya,” Papa terus menggenggam tangan Raksa.”Jujur, jauh di dalam hati, papa tidak ingin kamu juga menjalani pernikahan seperti yang papa jalani selama puluhan tahun ini. Tapi, jika dipikir pakai logika juga, pernikahan tidak hanya tentang cinta. Kita butuh makan dan minum.” Sambung laki-laki paruh baya itu lagi.
Raksa tersenyum. “Jika hanya untuk makan dan minum, pengemis pun bisa mengusahakannya, Pa.”
Laki-laki paruh baya masih terdiam.
“Jika Mama menginginkan properti yang lain, aku rela jika Papa memberikan semuanya. Cukup beri aku satu hotel tempat Anna bekerja saat ini. Aku akan hidup dengan baik bersama Anna. Kami akan menjalani pernikahan yang diselimuti kebahagiaan dan banyak cinta,” Ujar Raksa lagi. Ia berusaha meyakinkan sang papa untuk mengubah pola pikir yang penuh keangkuhan. Tak masalah jika perusahaan properti yang selama ini harusnya menjadi miliknya, harus diserahkan pada ibunya. “Aku tahu, hotel yang aku inginkan, punya kesan tersendiri buat Papa. Aku janji, akan menjaga hotel itu dengan sebaik mungkin,” Sambungnya.
Mendengar penjelasan yang begitu menyentuh dari putra semata wayangnya, laki-laki paruh baya itu mulai menyadari jika pikirannya tentang pernikahan putranya selama ini, salah besar. Harusnya, ia belajar dari kehidupannya yang begitu menyedihkan saat tua ini.
Jika saja, dulu ia tidak terlalu melihat semua dari sisi harta, mungkin kehidupannya di hari tua ini akan sedikit berbeda. Harusnya saat muda, ia tidak terlalu serakah dan memilih menjalani usaha nya yang biasa-biasa saja, yang penting memiliki sesorang yang bisa menemani hingga hari tua.
“Tapi aku salut loh, Papa punya kesetiaan yang begitu luar biasa,” Raksa kembali besuara, membuat laki-laki paruh baya itu tersenyum.
“Pernikahan bukan hanya tentang cinta, tapi juga komitmen, Raksa. Cinta mungkin bisa berubah setelah bertahun-tahun, tapi bagi laki-laki yang memegang komitmen dengan sepenuh hati, sesulit apapun kehidupan pernikahan yang dia jalani, pasti akan terus dia lalui dengan sepenuh hati pula,” jawab sang Papa.
“Aku akan memiliki banyak cinta, dan juga memegang komitmen dengan sepenuh hati,” Ucap Raksa tidak mau kalah, membuat wajah tua itu kembali tertawa.
“Sepertinya kamu akan menjalani kehidupan yang luar biasa nanti. Semoga Papa masih memilik waktu yang panjang, agar bisa melihat mu menjalani kehidupan yang baik,” ujar laki-laki paruh baya itu penuh harapan.
Raksa mengangguk dengan mata berkaca. Ini pertama kalinya, ia dan sang Papa berbicara tentang kehidupan pernikahannya, tanpa saling berteriak satu sama lain.
Biasanya, ia tidak suka membahas masalah ini dengan kedua orang tuanya, karena pasti akan berakhir dengan konflik. Saling berteriak, dan setelah itu akan berhenti bicara selama beberapa hari. Tapi kali ini, ia membahas semuanya dengan suasana penuh kehangatan.
Pemikiran yang berbeda dari Papa hari ini, membuatnya merasa semakin yakin untuk membawa Anna ke dalam hidupnya.
Entah berapa lama waktu yang ia habiskan di dalam kamar sang Papa. Karena begitu menyenangkan bercerita hari ini, ia hampir melupakan waktu untuk kembali menghubungi Anna. Sejak pagi, gadis itu sama sekali tidak memberinya kabar apa pun.
“Papa istirahat dulu. Aku mau makan siang, sekalian menghubungi asisten di hotel untuk meminta laporan,” Raksa beranjak dari sisi ranjang Papa, dan bersiap meninggalkan kamar setelah mendapat anggukan kepala dari laki-laki paruh baya itu.
Raksa melangkah cepat menuju kamar tidurnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ia ingin mendatangi rumah Anna, untuk mengajak gadis itu makan siang. Mungkin saja, hari ini gadis itu sedang bosan sehingga tidak masuk kerja. Sakit, sepertinya mustahil. Karena semalam gadis itu masih baik-baik saja.
Tidak lagi ingin mengganggu waktu istirahat sang Papa, Raksa hanya meninggalkan beberapa pesan melalui dokter keluarga yang masih ada di rumah untuk terus memantau keadaan sang papa. Tak lupa pula ia menyamaikan beberapa hal pada asisten rumah, jika nanti papa menanyakan keberadaannya.
Jalanan cukup lenggang. Kota kecil, di siang hari seperti ini memang tidak terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang. Sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama, untuk tiba di rumah sederhana milik kedua orang tua Anna. Raksa langsung masuk, usai mengucapkan salam.
Seperti biasa, wanita paruh baya yang sudah sangat ia kenal, langsung menyambutnya ramah. Ibu dari wanita yang begitu ia cintai itu, langsung mempersilahkan dirinya duduk. Dan beberapa saat kemudian, laki-laki yang sudah sangat ia kenal pun, langsung masuk ke dalam ruang tammu sederhana itu, dan menemaninya duduk di sana.
Sepasang suami istri ini memang tidak pernah merubah sikap mereka. Meskipun semenjak dihina oleh keluarganya, Anna mulai berubah dan memberi jarak, Ayah dan Ibu sama sekali tidak merubah sikap mereka.
“Anna hari ini tidak masuk kerja, Yah. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Aku sudah menghubunginya melalui ponsel, tapi tidak ada jawaban,” Ucap Raksa memulai percakapan.
Ayah dan Ibu saling pandang sejenak. Sepasang suami istri itu pun tidak tahu, jika hari ini putri mereka tidak ke tempat kerja. Karena mereka tahu, gadis itu sudah berangkat pagi seperti biasa.
“Pagi ini penyakit Papa kambuh, jadi aku tidak sempat datang,” Raksa tertunduk dalam.
“Jangan khawatir Nak Raksa. Anna pasti pulang. Mungkin ada sesuatu yang sedang dia urus, dan tidak sempat bilang ke Ibu dan Ayah,” Wanita paruh baya yang masih ada di sana, berusaha menenangkan Raksa yang terlihat jelas begitu mengkhawatirkan putrinya.
“Benar, Nak. Anna gadis pintar, Ayah yakin dia tidak akan melakukan hal bodoh. Jangan terlalu dipikirkan, sore nanti pasti dia akan pulang. Mungkin saja gadis itu sedang jalan-jalan. Beristirahat sehari dari pekerjaan, tidak akan langsung kamu pecat, kan?” Ayah tertawa usai mengucapkan kalimat itu.
Raksa dan Ibu pun ikut tertawa, meski kekhawatiran di wajah Raksa belum benar-benar pergi.