Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Kedua langkah lebar Cedric tampak tergesa setelah melewati pintu utama yang tidak terkunci. Tubuhnya spontan waspada. Kedua alisnya menukik tajam saat menyelisik sekitar.
"Elira?!" panggilnya mulai merasa gawat. "Bibi?!"
Pintu ruangan pribadi miliknya yang terbuka membuat Cedric berpikiran yang tidak-tidak. Dengan perasaan tidak karuan, ia mencari Elira ke setiap ruangan.
"Apa-apaan ini?" desisnya gelisah. Ia mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi seseorang.
"Bibi, di mana sekarang? Kau bersama putriku?" tanya Cedric to the point saat panggilan itu terangkat.
"Aku sedang berada di luar, Tuan. Nona menyuruhku membelikannya celana panjang. Sepertinya Nona sedang istirahat di kamar."
Cedric mengeraskan rahang. Pikirannya langsung tertuju kepada satu nama.
"Rincian keperluan Nona-"
"Bibi, kenapa kau begitu ceroboh meninggalkannya sendirian?!" marah Cedric dengan urat yang menonjol di leher.
Di seberang sana, Ann yang tengah berada di keramaian dan sibuk belanja sampai terdiam.
"Kau tahu? Ruanganku terbuka, dan dia menghilang!"
"Tuan-"
Tut.
Cedric mengepal geram. Padahal hari ini ia hanya pergi sebentar, tapi ia tak melihat keberadaan putrinya seperti kepulangannya kemarin.
Dengan deru napas tersengal-sengal, Cedric menghubungi seseorang lagi. Saat panggilan itu diangkat, ia mengeraskan rahang.
"Jangan bermain-main denganku, Arsen," geramnya dengan kedua netra memerah.
Di seberang sana, Arsen terkekeh pelan. "Bermain-main? Sudah sejak kemarin aku melakukannya dengan serius, Tuan Cedric."
Cedric menghela panjang.
"AYAH! PRIA INI SUDAH MELECEHKANKU! DIA MENCIUM PIPIKU, AYAH! DIA MENJIJIKKAN--HMPPH!"
Cedric membelalak.
Brak!
"JANGAN SENTUH PUTRIKU!" geramnya dengan memukul meja. Air matanya mulai menggenang dan menetes ke pipi.
"Tuan ... Putrimu sangat memesona. Dia begitu menggemaskan." Di seberang sana, Arsen tertawa menyebalkan, membuat telinga Cedric terasa panas hingga membuat dadanya semakin terbakar.
"Kau ...," jeda Cedric dengan suara bergetar.
"Kenapa? " kekeh Arsen. "Fyuh. Menggertakmu ternyata semudah ini."
"Hmphhhh!"
"Sssssst. Jangan menggodaku untuk mengecup pipimu lagi."
"Hmpph!!!"
Hati Cedric merasa hancur mendengar itu. Elira terus berteriak. Sepertinya Arsen menyumpalnya dengan sebuah kain.
Tut.
Cedric memutuskan panggilan sepihak. Dengan kepala yang mendadak pening, ia kembali tergesa menaiki mobilnya.
......................
"Hmphhhh!" ronta Elira membabi buta.
"Tuan, perempuan ini sangat berisik. Kita harus memberinya pelajaran."
Tanpa melepas tatap dari Elira, Arsen mengangkat sebelah tangan, mengisyaratkan untuk mereka diam saja karena ini adalah urusannya.
"B-baik, Tuan."
Elira tak tahu dengan maksud lelaki brengsek ini. Di sebuah ruangan megah kini mereka berada. Tanpa melepas ikatan tangan dan kakinya, Arsen mendudukkan Elira di sofa panjang bersamanya. Sedangkan tiga bodyguard lain hanya berjejer berdiri di belakang sang majikan.
"Aku memanggil kalian ke sini untuk menangani seorang ayah yang tidak becus menjaga putrinya," ujar Arsen yang berhasil membuat Elira berhenti memberontak. "Sebentar lagi dia akan datang."
"Baik, Tuan."
Arsen menengadahkan kepala di kepala sofa. "Hah. Untuk kali ini, kalian boleh membawa mainan kalian untuk menanganinya."
Ketiga pria suruhan itu memperlihatkan ekspresi jahat. Elira menatap mereka satu per satu. Mereka terlihat mengeluarkan senjata api yang entah didapatkan dari mana.
"Sial, apa yang mereka genggam?! Cedric pasti datang ke sini untuk menyelamatkanku. Apakah akan terjadi tembak-menembak? " Elira memejamkan mata. "Kenapa aku harus ada dalam dunia konyol ini?"
Arsen tiba-tiba tersenyum. "Apa yang kau pikirkan, Sayang?"
Elira menatapnya dengan tajam. Dadanya terengah-engah.
"Ugh, menakutkan sekali." Arsen menghela napas sambil tersenyum. Jemarinya membenarkan rambut Elira yang berantakan. "Tapi ... Kau sangat manis."
Elira membuang muka saat Arsen berusaha mengusap pipinya. "Dia membuatku merinding. Benar-benar menjijikkan ."
Di sisi lain, ketiga pria yang berjejer di belakang saling menatap satu sama lain. Padahal sebelumnya, Arsen selalu berusaha membuat Elira menderita. Ya, meski sekarang bisa dikatakan sama menyiksanya, tetapi Arsen tak pernah terlihat selembut ini pada wanita itu.
"Tuan, jangan sampai lupa pada tujuan awal-"
"Jangan ikut campur urusanku," tukasnya. Arsen menoleh setengah ke belakang dengan tatapan tajam. "Kerjakan saja apa yang kuperintahkan!"
Mereka pun keluar dengan sedikit rasa kecewa. Arsen terlalu semena-mena. Berbeda jauh sekali dengan mendiang ayahnya, Vaelric.
"Mari kita lihat ...," bisik Arsen dengan sunggingan licik. "... seberapa jauh rasa sayang mampu membuat kalian selalu menyombongkan diri."
"Sepertinya hasutanku berhasil. Egonya terluka. Tapi aku tak menyangka, imbasnya akan seperti ini."