Tak pernah terbersit di pikiran siapapun, termasuk laki-laki rasional seperti Nagara Kertamaru jika sebuah boneka bisa jadi alasan hatinya terpaut pada seorang gadis manja seperti Senja.
Bahkan hari-hari yang dijalaninya mendadak hambar dan mendung sampai ia menyadari jika cinta memang irasional, terkadang tak masuk akal dan tak butuh penjelasan yang kompleks.
~~~
"Bisa-bisanya lo berdua ada main di belakang tanpa ketauan! Kok bisa?!"
"Gue titip anak di Senja."
"HAH?!!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32# Bermain warna
Salaman menyerahkan berkas yang sudah ia kerjakan. Draft yang Maru kirim dan minta untuk dikerjakan oleh Salaman hari itu.
Sepatu pantofel hitam yang tak lagi mengkilat di penghujung minggu ini telah melewati hari-hari beratnya bersama kasus-kasus yang datang silih berganti. Dan kini, ia kembali memasuki lantai marmer yang bikin alas kakinya minder sebab pagi sore sang office boy mengepel demi memastikan kebersihan dan kenyamanan si empunya ruangan.
Ada lirikan usil dari Salaman ke arah kotak bekal yang teronggok cantik di samping siku kanan sang lawyer, seakan-akan benda asing itu kini adalah penghuni baru meja Maru selain dari beberapa file, plakat nama laptop pot bunga kecil dan neraca timbangan, ciee mau pamer mungkin!
Hallo new memb! Belum kenalan sama om Salaman...
Namun jelas, Maru adalah manusia yang paling tau jika sesuatu miliknya sedang diperhatikan makhluk lain. Hingga akhirnya ia mengacaukan aksi Salaman saat itu dengan deheman ciri khas yang mampu membuat ruangan seketika menoleh horor, "jadwal saya kedepannya apa Sal?"
"Lusa ada jadwal ketemu lagi sama Deandra, pak. Rencananya sih abis makan siang. Tapi katanya nanti managernya konfirm lagi, soalnya paginya doi ada kerjaan podcast takut ngaret." Salaman yang jika di kantor dapat menempatkan dirinya sebagai bawahan itu kini memainkan maket timbangan di meja itu seolah sedang ingin berlama-lama disana, membahas kotak bekal may be? Muehehehehe.
Kini Maru melirik malas melihat ke arah asistennya itu, seolah paham apa yang diinginkan oleh Salaman, "ada lagi?"
Lebih tepatnya sih, hush...hush!
Namun rupanya Salaman memang tak paham dengan maksud gestur malas Maru itu, termasuk pertanyaan bernada mengusir, entah memilih menolak paham karena jelas kini ia menyunggingkan senyum jahilnya, "bekel pak, tumben?"
"Bukan dari mama." Jawabnya singkat tak nyaman, yang justru membuat Salaman semakin melebarkan senyuman jahilnya, lahhh yang nanya dari siapa, siapa? "wah! Dari si jalan anggrek no.9 bukan?!"
Dan tatapan malas berujung diamnya Maru itu semakin mengukuhkan pernyataan Salaman, karena kini si asisten kepo itu sudah bersorak.
"Kemajuan sih ini! Om Darma perlu tau ngga?" tawarnya akan dengan senang hati menjadi pembawa kabar berita bahagia, sukur-sukur besok makan sate sama sambel goreng kentang, karena pemilik firma ini akan segera ngunduh mantu.
"Kepentingan lo disini udah kan, Sal?" tanya nya datar, menunjukan gelagat tak nyaman dan kekuasaan atas wilayahnya.
Namun Salaman kembali bertingkah seolah nyawanya ada 9, "elah pak. Kabar baik kenapa mesti disimpen-simpen di lemari aja. Ngga akan ada yang berani nyuri juga..." Ocehnya lagi seolah belum puas membujuk Maru untuk terbuka. Alih-alih membuat Maru terbujuk untuk membuka informasi pribadi yang bahkan dirinya sendiri belum bisa memastikan apapun apalagi sampai ke ranah orangtuanya, ia justru sudah menghentikan aksinya itu, tak mau membangunkan singa tidur.
Kadang Salaman sering gemas sendiri terhadap atasannya itu, hari gini masih mencintai dalam diam. So-soan jadi pengagum rahasia, biar apa? Biar ceweknya disosor orang? Biar makan hati?
"Ya udah kalo belum mau publish," ia kini berbalik menuju pintu keluar, "jangan lupa itu dipelajari dulu sampe khatam. Sementara saya cari tau siapa ceweknya." Ia tertawa di penghujung kalimatnya.
Benar, Maru tidak pernah buka suara tentang masalah pribadinya pada siapapun. Mungkin Arlan? Itu pun karena Arlan se-cerewet itu mencecarnya dan memiliki andil di kisahnya.
Selepas kepergian Salaman, ia kembali berteman dengan suara detak jantungnya sendiri. Suasana ruangannya berbanding terbalik dengan suara di dalam otak dan hatinya. Satu-satunya suara yang bertahan disini adalah detakan jarum jam di dinding atas dekat lemari file.
Maru bersandar. Hufft! Ia bahkan meniup rongga diantara tautan kedua tangannya, mengeluarkan seluruh gas karbondioksida yang mungkin selama ini mengganggu kinerja otak, sebab sampai detik ini ia masih kebingungan menyusun kalimat tanya untuk kepastian hatinya.
Bukan tak ingin, namun ia cukup ragu...apakah harus kembali bertanya pada Senja tentang kepastian dan pendapat wanita itu, sebab terakhir kali ia memastikan, belum apa-apa Senja justru menamparnya dan mengatakan sebuah kata benci.
Ia khawatir, jika kali ini ia kembali memastikan perasaannya itu, Senja justru pergi. Apakah belakangan ini dirinya sudah cukup memberikan kesan positif untuk Senja? Apakah terlalu cepat jika ia kembali mencoba? Apakah ia harus menunggu sebentar lagi? Arghhhh!
Disaat anggota kkn 21 tengah heboh memanggil namanya bersama ocehan-ocehan khas mereka yang berlebihan itu, ia justru sedang dihinggapi bimbang tentang kapan dan bagaimana.
Oke...kini ia mengambil keputusan. Ia akan memastikan itu lagi pada Senja, memastikan perasaannya...akankah ia butuh moment romantis? Atau cukup di apartemen dalam moment masak berdua? Oh ayolah!
...~~~~...
Matahari bahkan masih enggan untuk menunjukan kuasanya, menyusupkan rasa dingin di setiap celah ruang yang ada, termasuk apartemen Senja.
Namun mata kantuk nan lelahnya itu harus ia paksa untuk bangun demi sebuah tanggung jawab, gel yang ia oleskan di bawah mata diharapkan bisa meringankan dan memudar warna hitam yang mulai samar terlihat.
Seperti biasa, di tengah kesibukannya memasak bel depan berbunyi tanpa ampun. Sebenarnya bukan Maru yang terlampau pagi, melainkan ia yang semakin siang bangun sebab rasa lelah.
Jika hari pertama ia masih bisa merapikan penampilan, maka di hari ke sekian yang Senja sendiri tak dapat menghitung, ia sudah tak peduli lagi jika Maru mengatakannya seperti orang gila.
Ikatan satu yang merosot, wajah lusuh karena keringat dan aroma bawang menyapa Maru.
Kemeja warna gelap, seperti biasa dengan tampilan segar selepas mandi, bahkan terlihat jelas rambutnya masih basah dengan wangi aroma sampo yang maskulin membuat Senja manyun, "ini kamu datangnya makin kepagian ngga sih? Apa aku yang bangun makin telat ya?"
Senja membuka tutup panci dimana pagi ini menu sarapan mereka adalah sayur sop dengan isian sayuran, ceker dan bakso, hanya saja....alisnya kini mengernyit melihat tampilan mengerikan di dalam sana, lalu menutupnya kembali.
Maru sudah terlatih untuk menganggap apartemen Senja adalah miliknya sendiri, jadi...alih-alih duduk manis menunggu sarapannya selesai, ia justru ikut menyusul masuk ke belakang pantry demi menyalakan mesin kopi, "tumben banget belum dinyalain."
Senja hanya mengangguk sambil melongokan wajahnya ke arah wajan yang tertutup di samping panci sayurnya.
Ada butir-butir keringat yang nampak mengintip dari setiap celah rambut Senja, "ngga keburu. Ini kayanya aku urungin niat buat buka catering bento deh kalo kaya gini caranya..."
Maru menaikan kedua alisnya menatap Senja dengan wajah lusuhnya itu, yang nampak....cantik sekali, untung saja wanita itu tak tau jika Maru sedang memuji penampilan kacaunya pagi ini, dimana helaian rambut yang membingkai wajah Senja itu tak lagi dipedulikan si empunya sebab terlalu sibuk memasak.
"Kenapa?" tak mau dipergoki, Maru terulur mengambil biji kopi dari dalam toples kaca yang berjejer di rak kecil area dinding meja kompor itu.
"Cape banget asli, masak tuh kerjaan yang nguras tenaga, tapi ngga keliatan banget capeknya kita..." ia menggeleng sambil berdecak.
Hanya ada dengusan geli dari Maru, terkesan geli bukan mencibir ketika ia bergerak memasukan biji-biji itu ke dalam mesin untuk digiling dan diseduh. Tangan-tangan kekar itu cekatan, bukannya kembali ia justru menyenderkan punggung sembari lebih khusyuk lagi memperhatikan Senja memasak.
"Nja,"
"Ya?" ia menoleh singkat untuk kemudian menge luh, "Ru...ini kayanya kita sarapan pake telor aja, ya?! Sayur aku ngga rekomen banget buat dimakan..." bibirnya melengkung penuh kekecewaan.
"Kenapa emangnya?" Maru memang tak begitu penasaran dengan setiap gebrakan dan masakan Senja yang kebanyakan dan rata-rata selalu membuatnya menelan benda-benda asing, namun kali ini sepertinya jauh lebih mengejutkan lagi sebab tak biasanya Senja sampai menge luh begini.
Kakinya terayun untuk mendekati Senja yang kini sudah membuka tutup panci, mengepulkan asap beraroma wangi meski kemudian Maru sedikit terkejut ngeri.
Letupan-letupan air mendidih berwarna ungu pekat itu turut mengubah warna ceker ayam dan beberapa kondimen di dalam sayur sop, jadi seperti larutan cairan wantex, termasuk ceker ayam yang kuku-kukunya tidak Senja potong, berasa banget vibes film zombienya. Seakan-akan kuku ayam itu siap menggaruk dinding lambungnya sampai bocor.
"Aku kira warnanya ngga bakalan luntur begini, makanya aku pakein kol ungu." Ada de sahan kecewa di nada bicara Senja, termasuk nada yang lelah dan ingin menangis.
Maru menggeleng santai, seperti biasanya, "aku tetep makan, Nja. Rasanya?" Kini tangan yang menggulung kemejanya sebatas lengan itu terulur mengambil sendok, Senja tak sepede kemarin-kemarin, hanya meringis saja, "ngga tau. Belum coba, kayanya ngga buruk, soalnya aku pake bumbu instan..." jawabnya memperhatikan lekat-lekat Maru yang menyeruput dan mengunyah wortel tanpa kendala apapun.
"Gimana?" tanya Senja penasaran.
"Aman." Angguk Maru memasang tampang ada bermasalah.
Namun wajah Senja justru menunjukan ketidakyakinannya, mungkin setengah khawatir juga. Iya, khawatir Maru justru keracunan oleh makanannya, "asli, Ru? Jangan aman--aman terus besoknya kamu udah dipasangin selang infus? Makin aja Arlan nuduh aku pelet kamu..."
"Aman, Nja." jawabnya justru tak begitu mengindahkan wajah khawatir Senja dan memilih menuang tetesan kopi itu ke dalam cangkir.
"Besok-besok aku ngga mau eksperimen lagi warna deh, sarapan besok aku bikinin bubur...bubur ayam plus ati ampela." Ujarnya semacam sumpah yang menjanjikan.
See....Maru justru kesulitan menelan kopinya, berasa lagi minum air keras.
.
.
.
.
demi cinta.....poor Maru....😍😍😍😍