Terlahir dengan sendok emas, layaknya putri raja, kehidupan mewah nan megah serta di hormati menjadikanku tumbuh dalam ketamakan. Nyatanya, roda kehidupan benar-benar berputar dan menggulingkan keluargaku yang semula konglomerat menjadi melarat.
Kedua orang tuaku meninggal, aku terbiasa hidup dalam kemewahan mulai terlilit hutang rentenir. Dalam keputusasaan, aku mencoba mengakhiri hidup. Toh hidup sudah tak bisa memberiku kemewahan lagi.
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
Aku bertransmigrasi ke dalam Novel terjemahan "Rahasia yang Terlupakan." Milik Mola-mola, tokoh ini akan mati di penggal suaminya sendiri. Aku tidak akan membiarkan alur cerita murahan ini berlanjut, aku harus mengubah alur ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Pengkhianat yang Asli!
"Lady, apakah kita tetap harus mengawasi kamar ratu?" Bisik Hiro, suaranya nyaris tak terdengar.
Aku, Hiro, dan Boni, tampak seperti bocah TK sedang bersembunyi di balik selambu tebal lorong istana. karena takut di marahi ibu setelah bermain lumpur. Kami hanya berani mengintip, nyali kami menciut ketika melihat barisan pengawal berbaju zirah berkilauan di depan kamar Ratu, bahkan di balkon, entah berapa banyak yang ada di dalam kamar Ratu. Pengawalan Albastar tak main-main.
"Sepertinya kehadiran kita cuman seperti lalat yang siap di tepuk." Komentar Hiro lagi, nadanya pesimis.
Aku menggaruk belakang leherku, mengakui kebenaran ucapan Hiro. "Untuk berjaga-jaga, kalian lebih baik mengawasi bangsawan lain yang mencurigakan saja." Kepalaku menyembul di balik selambu untuk mengintip lagi. Melihat wajah-wajah garang dari pengawal Albastar, seolah siap menelan siapa saja yang berani mendekat, membuatku menelan ludah sendiri. Mereka seperti penjaga di film-film horor. "Sementara aku akan disini, menjadi bayang-bayang."
Boni menatapku dengan bingung, mata kecilnya mengerjab pelan. "Lady yakin? Sepertinya pengawasan Albastar juga tidak mudah. Apa sebaiknya kita beristirahat saja?"
Aku mencubit pipinya, gemas. "Hey, kalau bisa, aku bahkan akan mendirikan tenda disini." Ucapanku serius kali ini. "Penyihir itu bukan tikus yang bisa di pancing dengan keju murahan. Mereka sangat licik seperti belut sawah yang memakai dasi."
"Lady," Sebuah suara menginterupsi. Julian berdiri di belakang kami. Matanya yang tajam menatap kearahku. "Sebaiknya anda segera kembali ke kamar anda. Tak perlu mengkhawatirkan keselamatan Ratu, karena Grand Duke juga telah menempatkan orang-orangnya disini."
Aku mengigit bibir dengan panik, "Julian, bagaimana jika aku kembali, lalu mendadak Ratu menghilang begitu saja?"
Sorot mata Julian terlihat menenangkan. "Lady tidak perlu khawatir." Katanya, ia tersenyum tipis. "Jikalau Ratu memang di serang, bukankah itu tidak ada hubungannya dengan anda."
Aku terpaku beberapa saat. Kenapa aku tidak memikirkan itu? jika aku tidak terlibat dengan kejadian Ratu, bukankah aku tidak akan di salahkan? Tetapi tujuanku tidak hanya untuk Ratu, aku hanya ingin mengetahui cara untuk kembali ke duniaku.
"Baiklah, aku akan kembali ke kamar." Aku berjalan menjauhi, dengan langkah sedikit penyesalan.
Keamanan Albastar terasa tidak tergoyahkan. Para penjaga dengan baju zirah berkilauan dan sikap tegap berpatroli di setiap sudut. Tentu saja pengamanannya akan seketat ini, seluruh bangsawan dari berbagai kalangan hadir untuk menyambut kelahiran putra mahkota.
Oh tidak, seharusnya aku kembali bersama Hiro dan Boni, sepertinya aku tersesat dan kembali ke aula. Tempat ini masih ramai, para bangsawan masih beramah tamah. Suara obrolan diiringi alunan musik lembut. Aula di hiasi permadani mahal, dindingnya di penuhi lukisan adidaya, dan langitnya bermandikan cahaya ratusan lilin di tempat kristal yang menjuntai.
"Seandainya saja aku masuk Novel Cinderella, mungkin sekarang sudah waktunya pesta dansa." Aku mendengus, merasa sedikit iri. Di tengah keramaian aula, aku memilih duduk sebentar. Semua bangsawan disini terlihat menggelikan. Mereka saling mencari muka satu sama lain, tak ada bedanya dengan dunia modern.
Mataku menangkap seseorang yang tampak tidak kontras berpakaian Kemeja dalam berwarna putih dengan Hose hitam yang kasual di tengah acara resmi. Gerak-geriknya mencurigakan, melangkah seperti bayangan.
Aku mengikutinya dari belakang, berusaha berbaur dengan kerumunan. Pria itu berjalan keluar dari aula menuju halaman Istana. Samar-samar aku melihat kantung celananya berjatuhan serpihan serbuk berwarna ungu yang menyala. Orang itu berjalan dengan gampang melewati pengawasan pengawal Albastar, seolah memiliki kekuasaan tertentu.
Saat hendak mencapai pintu, seseorang menghalangiku. "Mohon maaf Lady, segala aktivitas di luar sudah di larang. Silahkan kembali ke kamar anda." Seorang pengawal bertubuh besar memberitahu. Nadanya tegas.
Aku mengigit lidahku, berusaha mencari alasan yang pas. "Saya melihat seseorang yang saya kenal, dia baru saja keluar dari pintu. Bisakah saya melihatnya, sebentar saja?"
"Tidak, anda harus kembali, Lady." Pengawal itu menggeleng, nadanya tegas tak terbantahkan.
Aku tidak punya pilihan dan kembali. Menyerah? Tentu saja tidak, aku segera mencari tempat bersembunyi dan berubah menjadi kucing. Sensasi saat berubah terkadang membuat tenguku sakit, seperti leher yang salah bantal, tapi kali ini aku tak punya waktu untuk mengeluh.
Aku berjalan mengendap-endap di bawah kaki pengawal dan menyelinap secara mulus seperti hantu.
Oh, diluar sini sudah gelap gulita, lampu-lampu di jalanan sudah sedikit redup. Aku mencari-cari keberadaan orang itu, sialnya aku kehilangan jejak.
Seharusnya tidak jauh, aku memeriksa setiap sudut jalan yang terlewati dan melihat ke dalam semak belukar. Ketika hendak berbalik arah, mataku melihat sesuatu yang bersinar di dalam rumput. Benda itu, mirip potongan batu. Berwarna ungu dan mengeluarkan cahaya redup, aku mengendus-endus, baunya seperti belerang, sedikit menyengat tapi tidak terlalu kuat. Ketika tanganku mencoba menyentuhnya, rasanya sakit seperti tersengat listrik. Batu itu sudah kehilangan cahayanya, seolah esensi warnanya menghilang ketika tersentuh kulit.
"Kami sudah siap menunggu perintah tuanku." Suara pria yang tidak aku kenal.
"Jika benar terjadi, kemungkinan besar dia yang akan terlibat." Orang-orang itu setidaknya ada tiga orang. Aku tak tau dari mana arahnya, tetapi aku mengenali salah satu suaranya.
"Pengawasan Albastar sangat ketat, kalian jangan bertindak sebelum menerima intruksiku." Suara itu, tidak salah lagi dia adalah Marquis! "Besok, setelah sambutan dari Baginda Raja, kalian harus sudah siap dengan segala konsekuensinya."
Itu benar-benar Marquis! Mataku tidak salah lagi. Aku segera mengambil potongan batu itu dan bergegas kembali ke tempat pakaianku tadi.
Aku harus segera bertemu Caspian. Entah bagaimana caranya aku mendadak hafal rute menuju kamarnya, setelah belokan pertama di ambang pintu, aku masuk dan menghadapnya.
"Ada apa?" Napasku terengah karena berlarian. Caspian bertanya dan aku hanya bisa melambaikan tangan, minta istirahat sebentar.
"Pengkhianat... pengkhianat yang sebenarnya ada di Dapatermen pertahanan!" Aku terdiam, suaraku masih tercekat diantara tenggorokan. "Marquis, dialah yang bersekongkol dengan Penyihir!"
Caspian melangkah maju dengan langkah berat, setiap injakkannya terasa seperti emosi yang tidak menyukaiku. "Apa Karena takut mati, kau malah melemparkan kesalahanmu pada orangku?" Suaranya rendah dan penuh tuduhan.
"Aku tidak berbohong! Aku melihatnya sendiri, setiap malam dia selalu keluar untuk bertemu seseorang diatas gunung. Bahkan, tadi, dia membicarakan tentang serangan besok pagi, Marquis lah penjahat yang asli!" Aku menjelaskannya dengan terburu, dalam satu tarikan napas membuatku terengah-engah lagi.
"Dimana buktinya?" Caspian bertanya lagi tanpa basa-basi. Matanya menyorot tajam.
"Tentu saja aku punya bukti!" Aku mengeluarkan potongan batu tadi dan menyerahkannya kepada Caspian. "Itu terjatuh dari kantung celana Marquis."
Napasnya memburu kasar, sedang berjuang menahan diri. "Kau bercanda?" Dengan satu gerakan kasar, ia menghancurkan batu itu dengan tangannya. Serpihannya berjatuhan di lantai. "Aku tau kau membenciku, Winola. Tapi kau tidak boleh menuduh orangku dengan sembarangan."
Sepasang matanya kini penuh niat untuk menghancurkan. Bukan lagi kemarahan biasa. "Marquis sudah belasan tahun mengabdi." Langkah Caspian perlahan memojokkanku ke dinding. "Sementara kau hanyalah orang asing, bahkan belum sebulan disini. Menurutmu, kepada siapa aku harus percaya?"
Aku ikut mundur perlahan, kehangatan di mata Caspian yang selama ini aku lihat, tinggallah kemarahan dan kebencian. "Semakin lama seseorang di dekatmu," Aku menjawab, tak gentar. "Semakin ia memiliki banyak kesempatan untuk mengigit." Aku mengangkat dagu. "Kau tidak tau seberapa mengerikannya orang-orang di dekatmu, Caspian."
Ia mendorongku ke dinding dengan satu sentakan, pungungku menabrak keras permukaannya yang dingin. Bilah pedang terhunus dan menekan leherku, tidak menusuk, namun cukup membuatku merasakan ketajamannya. "Jangan berani menguji kesabaranku. Aku memberimu waktu, hanya sampai lusa, Winola."
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih