NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:548
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16.5

Awan hijau kehitaman dari hutan Amazon yang membusuk masih mengepul tinggi di langit, membentuk monumen kematian yang menjulang seperti nisan raksasa untuk sebuah benua. Asap tebal itu bergerak perlahan, membawa bau kematian yang menyesakkan-campuran daun busuk, daging terbakar, dan aroma logam yang menyengat dari darah yang telah mengering. Di bawahnya, seluruh benua Amerika Selatan kini adalah hamparan luas kehancuran yang tak terkatakan.

Raka melayang di ketinggian tiga ribu meter, tubuhnya stabil di udara yang kental oleh abu dan debu. Matanya memindai hasil karyanya dengan tatapan yang kosong, namun di balik kekosongan itu, ada gejolak yang tidak bisa ia pahami. Hutan-hutan yang dulunya hijau rimbun kini tinggal batang-batang hangus yang mencuat seperti jari-jari kematian. Sungai-sungai yang dulunya mengalir jernih kini berubah menjadi aliran lumpur coklat pekat yang membawa puing-puing peradaban-potongan atap rumah, bangkai kendaraan, dan... hal-hal lain yang tidak ingin ia pikirkan.

Kota-kota yang dulunya ramai dengan kehidupan manusia kini hanya tinggal cekungan-cekungan besar di bumi, seperti bekas gigitan raksasa yang lapar. Angin yang bertiup membawa suara-suara yang aneh-bukan hanya gemuruh tanah yang masih bergeser, tapi juga sesuatu yang terdengar seperti... tangisan. Tangisan yang tidak ada wujudnya, yang mengalir dari setiap sudut kehancuran.

"Apakah aku mendengar suara itu?" bisik Raka pada dirinya sendiri, suaranya tercampur dengan desir angin yang membawa abu. "Ataukah itu hanya angin yang melewati reruntuhan?"

Kepuasan dingin yang sebelumnya ia rasakan kini bercampur dengan sesuatu yang lebih gelap-kegelisahan yang merayap dari dalam perutnya seperti cacing yang bergerak. Keheningan yang menyelimuti benua itu, alih-alih memberinya kedamaian, justru terasa seperti teriakan yang tak berujung. Jeritan miliaran jiwa yang telah ia musnahkan seolah bergema dalam ruang hampa di benaknya, menciptakan simfoni kematian yang tidak pernah berhenti.

Raka merasakan napasnya sedikit tersengal. Aneh. Sebagai algojo Bumi, ia seharusnya tidak merasakan kelelahan fisik seperti ini. Tapi ada sesuatu yang mengganggu dari dalam-sebuah getaran halus yang membuat dadanya terasa sesak. Ia mengingat wajah Maria da Silva, penjual hasil hutan yang ia temui di pasar sebelum kehancuran. Mata wanita itu tidak memancarkan keserakahan atau kekejaman. Hanya kebingungan, ketakutan, dan... harapan yang rapuh untuk sekadar bertahan hidup.

"Dia hanya ingin memberi makan keluarganya," gumam Raka, suaranya hampir terbawa angin. "Dia tidak serakah. Dia tidak jahat. Dia hanya..." Ia terhenti, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pertanyaan yang telah mulai muncul di Arib kini kembali dengan kekuatan yang lebih besar. "Apakah dia juga pantas mati?"

"Pembersihan telah selesai di benua ini," suara Eva mengalir tenang di samping Raka, memecah keheningan yang menyesakkan. Wajahnya berseri-seri dengan kepuasan yang mendalam, seolah ia baru saja menyelesaikan lukisan mahakarya yang telah ia impikan selama bertahun-tahun. "Amazon telah membalas dendam. Bumi kini dapat bernapas lega."

Raka mengangguk, namun gerakannya terasa mekanis, seperti robot yang sedang kehabisan baterai. Matanya tidak lagi memancarkan ketegasan yang sama seperti saat ia menghancurkan Indonesia atau Paris. Ia merasakan bisikan Bumi yang kini lebih tenang, seperti desahan lega dari makhluk raksasa yang baru saja terbebas dari parasit yang menyakitkan. Namun dalam ketenangan itu, ada kehampaan yang tak dapat ia pahami-sebuah kekosongan yang membuat perutnya mual.

"Tapi... apakah ini satu-satunya jalan?" Raka bergumam, suaranya rendah, nyaris tak terdengar bahkan oleh telinganya sendiri. Ia merasakan pusing yang aneh, seperti dunia di sekelilingnya berputar perlahan. "Apakah benar-benar tidak ada cara lain?"

Eva menoleh ke Raka, senyumnya sedikit menipis. Ada kilatan sesuatu di matanya-mungkin kekhawatiran, atau mungkin iritasi. "Setiap kanker memerlukan pembedahan total, Raka," katanya dengan nada yang sedikit lebih keras. "Jika ada sel yang tersisa, ia akan tumbuh kembali dan merusak tubuh. Manusia telah membuktikan dirinya tidak dapat belajar kecuali melalui penderitaan ekstrem."

Raka merasakan sentuhan halus Eva di pundaknya-bukan sentuhan fisik, tapi gelombang energi yang menenangkan namun juga mengendalikan. Seperti obat bius yang disuntikkan perlahan ke dalam pembuluh darahnya, membuat pikirannya yang mulai memberontak kembali tenang dan patuh.

 

Eva menunjuk ke bawah, ke sebuah titik cahaya samar di tengah hutan yang hangus-sebuah pangkalan militer yang sebagian hancur di perbatasan Brasil dan Kolombia. Bangunan-bangunan betonnya retak dan miring, namun sebagian masih berdiri tegak seperti gigi yang rusak di mulut raksasa yang sakit.

"Ada beberapa sisa-sisa terakhir di sana," kata Eva, suaranya kembali tenang dan terkendali. "Para tikus yang bersembunyi di lubang mereka, berharap mereka bisa melarikan diri dari kehendak Bumi."

Raka merasakan kehadiran mereka-sekelompok kecil manusia yang selamat, tersembunyi di dalam reruntuhan bunker yang dangkal. Detak jantung mereka berpacu cepat, napas mereka pendek-pendek karena ketakutan dan kelelahan. Mereka bukan pemimpin korup yang bersembunyi di bunker tercanggih dengan sistem life support yang mewah. Mereka adalah personel militer dan ilmuwan lapangan yang terjebak oleh kehancuran yang datang terlalu cepat.

Dan di antara mereka, Raka merasakan satu aura yang berbeda. Bukan keserakahan yang menjijikkan, bukan kekuasaan yang meracuni, melainkan... penyesalan yang mendalam. Penyesalan yang terasa seperti luka terbuka yang tidak kunjung sembuh.

"Ada seorang jenderal di sana," Eva melanjutkan, seolah membaca kesadaran Raka dengan mudah. "Jenderal Armando Vargas. Dia adalah bagian dari sistem yang korup, namun dia juga telah melihat kerusakan yang terjadi dengan mata kepalanya sendiri. Dia akan menjadi saksi terakhir sebelum kita mengakhiri fase ini."

Mereka turun perlahan, udara di sekitar mereka bergetar dengan kekuatan yang terkendali. Raka merasakan gravitasi menariknya ke bawah, namun ia melawan dengan mudah, tubuhnya melayang seperti bulu yang jatuh dalam air. Saat mereka mendekati pangkalan yang hancur, aroma yang menyesakkan menjadi lebih kuat-tanah basah dan vegetasi yang membusuk bercampur dengan bau asap, logam terbakar, dan sesuatu yang lebih mengerikan: aroma kematian yang menempel pada setiap sudut reruntuhan.

Di antara puing-puing beton yang bertebaran, beberapa prajurit yang selamat mencoba merawat rekan-rekan mereka yang terluka. Mereka tampak putus asa, seragam mereka sobek dan kotor, namun masih memegang teguh sisa-sisa kemanusiaan yang tersisa. Seorang medis militer sedang membalut lengan rekannya yang patah, sementara yang lain berbagi sisa makanan kaleng dengan hati-hati.

Raka dan Eva mendarat di lapangan terbuka di dekat bunker, kaki mereka menyentuh tanah tanpa menimbulkan suara. Namun kehadiran mereka yang tiba-tiba membuat udara di sekitar menjadi berat dan menekan. Para prajurit yang selamat merasakan perubahan itu-sebuah tekanan psikologis yang membuat bulu kuduk mereka berdiri dan napas mereka menjadi sulit.

Senapan-senapan diacungkan dengan tangan yang bergetar, namun Raka tidak merasakan ancaman yang sesungguhnya. Mereka terlalu takut, terlalu lelah, terlalu patah semangat untuk melawan. Mata mereka penuh dengan ketakutan yang mendalam, namun juga kebingungan-bagaimana mungkin dua orang bisa muncul begitu saja di tengah kehancuran yang tidak ada yang selamat?

Jenderal Armando Vargas, seorang pria paruh baya dengan seragam militer yang kotor dan robek, keluar dari bunker dengan langkah yang berat. Wajahnya yang dulunya tegas kini tampak lelah dan tua, dengan mata yang cekung dan jenggot yang tidak terawat. Ia telah kehilangan seluruh batalionnya dalam kehancuran Amazon. Ia telah melihat ribuan orang mati dalam hitungan jam, dan beban itu tertangkap jelas dalam cara ia berjalan-seperti orang yang membawa dunia di pundaknya.

Matanya bertemu dengan mata Raka. Tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana dua orang ini bisa berada di sana, atau mengapa kehancuran yang tidak masuk akal ini terjadi. Namun Vargas adalah seorang yang rasional, seorang yang terlatih untuk menganalisis situasi dalam kondisi ekstrem. Ia telah melihat laporan-laporan tentang Indonesia, Paris, New York, dan Dubai. Ia tahu ini bukan bencana alam biasa.

"Siapa kau?" Vargas bertanya, suaranya parau karena debu dan asap yang telah ia hirup selama berhari-hari, namun tetap tegas. Ia tidak mengacungkan senjata. Ia tahu itu tidak akan berguna terhadap kekuatan yang bisa menghancurkan seluruh benua. "Dan mengapa kau melakukan ini?"

Raka menatapnya dengan mata yang masih bergejolak. Ia melihat kelelahan yang mendalam di mata Vargas, penyesalan atas kehilangan yang tak terhitung, dan sesuatu yang lebih dalam-rasa bersalah yang menggerogoti jiwa. Ini berbeda dari tatapan dingin William Thorne atau arogansi Lin Wei. Ini adalah tatapan seorang manusia yang telah melihat neraka dan menyadari bahwa ia adalah bagian dari penyebabnya.

"Aku adalah Algojo Bumi," jawab Raka, suaranya tenang namun bergema dengan kekuatan yang baru saja ia lepaskan. Namun ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya-tidak lagi sepenuhnya yakin, ada keraguan yang tersembunyi. "Bumi telah berbicara. Dan aku adalah tangannya."

Vargas menggelengkan kepala perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya yang kotor. "Bumi? Alam?" Suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena emosi yang meluap. "Kekuatan ini... dari mana asalnya? Dan mengapa?" Ia menunjuk ke kehancuran di sekelilingnya. "Mengapa kehancuran total seperti ini? Apakah tidak ada jalan lain?"

Ia mengambil napas yang dalam, tubuhnya bergetar karena kelelahan dan emosi. "Kami... kami tahu kami telah merusak. Kami telah mencoba berubah. Kami telah mencoba memperbaiki. Mungkin tidak cukup cepat, mungkin tidak cukup besar, tapi kami mencoba!"

Raka merasakan sesuatu yang aneh di dadanya-seperti tusukan kecil yang membuat napasnya sedikit tersengal. Pertanyaan Vargas tidak hanya masuk ke telinganya, tapi menusuk langsung ke sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya.

"Kami telah melihat kehancuran," Vargas melanjutkan, suaranya semakin bergetar. "Kami telah melihat orang-orang mati. Miliaran jiwa. Anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang politik atau kekuasaan. Ibu-ibu yang hanya ingin memberi makan keluarga mereka. Kakek-nenek yang hanya ingin hidup dengan damai." Ia melihat langsung ke mata Raka. "Apakah mereka semua harus musnah karena kesalahan segelintir orang serakah?"

Pertanyaan itu menghantam Raka seperti tsunami yang tak terlihat. Ia merasakan kepalanya berdenyut, penglihatan sedikit buram. Kata-kata Vargas menancap dalam benaknya seperti pisau yang tajam, membedah setiap pembenaran yang telah Eva dan Bumi tanamkan padanya.

"Apakah Maria da Silva juga harus mati?" pikir Raka, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang menyerupai rasa bersalah. "Apakah anak-anak di desa-desa terpencil yang bahkan tidak pernah melihat pabrik juga harus musnah?"

"Kalian merusak," bisik Raka, mencoba menegaskan kembali keyakinan lamanya, namun suaranya terdengar tidak meyakinkan bahkan bagi dirinya sendiri. "Kalian mencemari. Kalian menguras. Kalian tidak bisa berhenti."

"Kami tahu!" Vargas memotong dengan suara yang penuh emosi. "Kami tahu kami telah merusak! Kami tahu kami berdosa! Tapi apakah kau tidak melihat?" Ia menunjuk ke para prajurit yang masih merawat rekan-rekan mereka yang terluka. "Ada ribuan, jutaan orang di luar sana yang mencoba memperbaiki. Ilmuwan yang mencari energi bersih. Aktivis yang melindungi hutan. Orang-orang biasa yang hidup sederhana dan menghormati alam."

Air mata mengalir deras di wajah Vargas. "Apakah mereka semua harus mati? Demi apa? Demi planet yang kosong? Demi kesunyian yang tidak akan pernah berubah menjadi kehidupan lagi?"

Vargas menunjuk ke reruntuhan di sekitar mereka. "Ini... ini bukan keseimbangan. Ini pembalasan yang membabi buta. Jika Bumi ingin memurnikan, mengapa ia menghancurkan setiap benih yang baik? Mengapa ia melenyapkan harapan? Mengapa ia tidak memberi kesempatan kepada mereka yang mencoba berubah?"

Kata-kata Vargas menghantam Raka seperti badai pasir yang ia ciptakan sendiri. Ia melihat kebenaran dalam mata Vargas, penyesalan yang tulus, bukan kepura-puraan atau manipulasi. Keraguan yang telah mulai berkembang di Arib kini berubah menjadi pergulatan batin yang menyakitkan. Hati nuraninya berteriak dalam bahasa yang tidak ia pahami, namun terasa begitu nyata.

Raka merasakan tangannya bergetar. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Ia adalah algojo yang sempurna, tangan Bumi yang tidak pernah ragu. Tapi sekarang, ia merasakan sesuatu yang menyerupai... keraguan? Penyesalan? Atau bahkan... kesadaran?

 

Eva melangkah maju, mendekati Raka dengan gerakan yang halus namun penuh otoritas. Raka merasakan sentuhan dingin Eva di bahunya-bukan sentuhan fisik, tapi gelombang energi yang mengirimkan rasa tenang yang dipaksakan ke dalam dirinya, menekan emosi yang baru muncul seperti obat bius yang disuntikkan langsung ke jantung.

"Cukup," Eva berkata, suaranya halus namun mengandung otoritas mutlak. Matanya yang pekat menatap Vargas dengan tatapan yang bisa membekukan darah. "Manusia telah berbicara cukup banyak. Logika mereka, emosi mereka, janji-janji mereka-semua itu telah membawa mereka pada kehancuran. Tidak ada negosiasi dengan kanker."

Raka merasakan pengaruh Eva mengalir melalui tubuhnya, menekan pergulatan batin yang baru saja muncul. Seperti kabut tebal yang menyelimuti pikirannya, membuat semuanya menjadi buram dan tidak jelas. Suara hati nuraninya yang berteriak perlahan meredup, digantikan oleh bisikan yang lebih familiar: "Lakukan tugasmu. Kau adalah algojo. Tidak ada ruang untuk keraguan."

Vargas menatap Eva, dan di matanya, ada kilatan ketakutan yang sesungguhnya. Ia merasakan aura yang tidak manusiawi dari wanita itu-kekuatan yang jauh lebih kuno dan dingin dari siapa pun yang pernah ia temui. Bukan hanya kekuatan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam: sebuah kehampaan yang absolut.

Eva tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah menyentuh matanya. "Jenderal, kau telah melihat kebenaran. Sekarang, kau akan menjadi bagian dari kebenaran itu."

 

Raka merasakan bisikan Bumi kembali menggelegar di benaknya, namun kini bercampur dengan suara Eva yang semakin dominan. *Singkirkan keraguan. Misi belum selesai. Cabut hingga tuntas. Tidak ada ruang untuk belas kasihan.*

Raka menatap Vargas, merasakan pergulatan batin yang memilukan. Sebagian dari dirinya-bagian yang baru saja mulai bangkit-ingin percaya bahwa ada cara lain. Ia ingin percaya bahwa kebaikan yang ia saksikan di Arib adalah bukti bahwa manusia bisa berubah. Namun bisikan Bumi dan kontrol Eva terlalu kuat, terlalu mendalam. Mereka mengalir dalam darahnya, menjadi bagian dari setiap sel dalam tubuhnya.

Ia adalah algojo. Itu takdirnya. Itu satu-satunya tujuan keberadaannya.

Raka mengangkat tangannya, jari-jarinya bergetar hampir tak terlihat. Jenderal Armando Vargas menatapnya dengan kepasrahan yang mendalam, air mata terus mengalir di wajahnya yang lelah. Namun di matanya, tidak ada kebencian-hanya kesedihan yang mendalam untuk dunia yang tidak sempat diselamatkan.

"Maafkan kami," bisik Vargas, tidak kepada Raka, melainkan kepada Bumi yang tak terlihat, kepada alam yang telah mereka sakiti. "Maafkan kami yang tidak sempat memperbaiki semuanya."

Tanah di bawah pangkalan militer itu bergetar hebat, dimulai dari gemuruh rendah yang naik dari perut bumi. Retakan-retakan raksasa muncul dengan suara yang memekakkan telinga, seperti kain yang dirobek oleh raksasa yang marah. Struktur beton yang masih berdiri mulai ambruk, dan para prajurit yang selamat berteriak dalam kepanikan.

Raka tidak hanya menciptakan gempa biasa. Ia memanipulasi tekanan air bawah tanah, menyebabkan semburan lumpur yang menyembur dari retakan-retakan besar. Udara di dalam bunker terkompresi, menciptakan tekanan yang luar biasa yang membuat telinga para penghuninya berdarah sebelum struktur itu benar-benar ambruk.

Vargas, bersama dengan seluruh pangkalan itu, jatuh ke dalam jurang yang menganga. Namun bukan hanya jatuh-mereka tenggelam dalam kombinasi mematikan dari lumpur, air, dan reruntuhan yang bergerak seperti makhluk hidup yang lapar. Suara teriakan mereka bergema selama beberapa detik sebelum tertelan oleh keheningan yang mengerikan.

Raka merasakan bunker itu terisi sepenuhnya, menyegel nasib para penghuninya dalam kuburan yang tidak akan pernah ditemukan. Tidak ada rasa bersalah, hanya sebuah kepuasan yang dingin dan mendalam-namun kali ini, kepuasan itu terasa hampa, seperti makanan yang tidak memiliki rasa.

"Satu persatu," bisik Eva, suaranya tenang namun terdengar seperti angin yang bertiup di kuburan. "Mereka semua akan membayar. Bumi akan membersihkan setiap akarnya."

Mereka bergerak melalui ruang dan waktu dengan kecepatan yang tidak manusiawi. Raka mengulurkan tangan, dan tanah di berbagai belahan dunia merespons. Di bawah Kremlin, bunker rahasia yang menyimpan para jenderal dan politikus Rusia ambles dalam ledakan yang terkendali, tertelan oleh retakan-retakan bumi yang muncul tiba-tiba.

Di Berlin, bunker-bunker NATO yang selama ini menjadi tempat persembunyian para kolonel dan analis intelijen juga ambruk. Namun Raka tidak puas dengan sekadar menghancurkan. Ia memanipulasi aliran air bawah tanah, menciptakan banjir yang mengisi setiap ruang, memastikan tidak ada yang bisa selamat.

Raka tidak hanya menghancurkan bunker-bunker yang sudah dikenal. Ia menyisir setiap sudut bumi dengan kesadaran yang diperluas, merasakan setiap kantong perlawanan, setiap tempat persembunyian terakhir yang manusia bangun untuk melarikan diri dari murka Bumi. Gua-gua yang diubah menjadi tempat perlindungan, gunung-gunung yang dilubangi menjadi benteng, bahkan kapal selam nuklir yang tersembunyi di kedalaman samudra-semua menjadi target yang harus dihancurkan.

Ia memanipulasi tekanan air di bawah samudra, menciptakan gelombang tekanan yang menyebabkan kapal selam meledak dari dalam. Suara ledakan itu bergema di kedalaman laut, menciptakan tsunami kecil yang tidak ada yang saksikan. Ia memicu letusan gunung berapi yang terkendali, menghanguskan benteng-benteng yang tersembunyi dalam lahar dan abu yang bergerak dengan kecepatan yang mengerikan.

"Mereka pikir mereka bisa menyembunyikan diri," bisik Raka, suaranya beresonansi dengan kekuatan yang ia pegang. "Mereka pikir mereka bisa mengalahkan alam dengan teknologi mereka. Tapi tidak ada tempat bersembunyi dari kehendak Bumi."

Namun di balik kata-kata itu, ada sesuatu yang berubah dalam diri Raka. Setiap kehancuran yang ia ciptakan, setiap nyawa yang ia padamkan, meninggalkan jejak yang aneh dalam jiwanya. Bukan rasa bersalah, tapi sesuatu yang lebih halus-sebuah kekosongan yang semakin membesar.

Di benaknya, bisikan Bumi kini terdengar seperti paduan suara yang gembira, merayakan pembersihan total. *Sempurna, anakku. Mereka semua telah musnah. Parasit-parasit itu telah tiada.*

Eva mengamati Raka dengan senyum puas yang mendalam. Matanya berkilat, bukan lagi dengan kepuasan yang tersembunyi, melainkan kemenangan yang mutlak. "Semuanya telah selesai, Raka," bisiknya. "Misi telah selesai. Bumi telah dibersihkan sepenuhnya."

Raka menatap ke bawah pada planet yang kini diselimuti keheningan yang luas. Miliaran jiwa telah musnah, kota-kota telah lenyap, dan semua jejak peradaban manusia yang merusak telah dihapus. Sebuah kehampaan besar mengisi hatinya. Namun dalam kehampaan itu, ada juga sesuatu yang aneh-sebuah ketenangan yang terasa seperti kematian.

"Apa selanjutnya?" tanya Raka, suaranya datar, tanpa emosi. "Dunia sudah bersih. Lalu?"

Eva tersenyum. Senyum itu kini terasa lebih... final. Seperti curtain call di akhir pertunjukan yang panjang. "Sekarang, Raka, kau akan menyaksikan fajar baru. Kau akan menyaksikan kelahiran kembali yang telah kau wujudkan."

Mereka melayang kembali ke arah Pasifik, menuju Arib. Raka merasakan panggilan yang aneh dari pulau itu-sebuah panggilan yang menjanjikan sebuah akhir dan sebuah awal. Ia telah menjadi algojo. Ia telah membawa kiamat. Dan kini, ia akan melihat dunia yang baru lahir dari abu kehancuran.

Namun di sudut terdalam pikirannya, suara Jenderal Armando Vargas masih bergema: "Apakah tidak ada jalan lain?"

Dan untuk pertama kalinya, Raka tidak yakin dengan jawabannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!