Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Di Tempat Berbeda...
Malam menyelimuti Jakarta dengan angin dingin yang menusuk, membelai tenda-tenda lusuh dan rumah-rumah kardus yang berjejer di sudut kota. Di antara kelamnya kehidupan jalanan, langkah-langkah kecil terdengar, diiringi suara lembaran koran yang masih terselip di tangan-tangan mungil mereka.
Anak-anak jalanan baru saja pulang setelah seharian menjajakan koran. Biasanya, di penghujung hari seperti ini, mereka akan bercanda dan tertawa riang. Namun, malam ini berbeda. Suasana terasa lebih hening, lebih berat.
Salah seorang anak, yang paling kecil di antara mereka, menarik napas panjang lalu bergumam lirih, “Baru juga senang jualan bareng Kak Mawar, tapi Kak Mawar malah udah pergi…”
Anak lain menimpali dengan nada penuh keraguan, “Iya… Kira-kira sekarang Kak Mawar lagi di mana, ya? Dia lagi ngapain?”
Seorang bocah perempuan yang memeluk boneka lusuhnya hanya menghela napas pelan. “Kita juga nggak tahu… Kak Mawar nggak bilang mau kerja ke mana…”
Mereka semua terdiam. Hati mereka terasa kosong.
Sehari bersama Mawar mungkin terdengar singkat bagi orang lain, tapi bagi mereka, kehadiran gadis itu seperti angin segar di tengah kerasnya kehidupan jalanan. Ia bukan sekadar teman baru—Mawar adalah harapan, kehangatan, seseorang yang mengerti mereka tanpa menghakimi.
Dan kini, ia telah pergi.
Di tengah kesunyian yang menggantung di antara mereka, suara langkah kaki terdengar mendekat—lebih berat, lebih mantap daripada biasanya.
“Hey, anak-anak!”
Seruan itu membuat mereka serempak menoleh. Mata-mata kecil mereka membelalak, nyaris tak percaya dengan sosok yang kini berdiri di hadapan mereka.
“K-Kak Anjas?”
Anjas yang mereka kenal selalu mengenakan jaket lusuh, celana jeans robek, dan sepatu kotor yang solnya hampir lepas. Tapi malam ini, ia tampak… berbeda.
Ia berdiri dengan postur lebih tegap, mengenakan kemeja putih bersih yang melekat rapi di tubuhnya. Celana bahan hitamnya jatuh dengan sempurna, menunjukkan kualitas kain yang jelas tak murah. Sepatu kulit mengilap yang tampak seperti baru melengkapi penampilannya. Bahkan, aroma parfum samar-samar menyeruak dari tubuhnya, sesuatu yang tak pernah mereka asosiasikan dengan seorang anak jalanan.
Anak-anak itu saling berpandangan, lalu kembali menatap Anjas dengan mulut menganga.
“Waaaah! Kak Anjas keren banget!” seru salah satu bocah dengan mata berbinar.
“Kak Anjas dari mana? Pakai baju siapa itu?” tanya yang lain, penasaran.
Anjas terdiam sesaat. Ada keraguan di matanya, tapi ia menyembunyikannya di balik senyum tipis. Tangan kanannya terangkat, memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut. Sial, seharusnya ia berganti pakaian dulu sebelum menemui anak-anak ini.
“Ini…” Ia menghela napas pelan, seolah mempertimbangkan kata-katanya. “Temen Kakak yang kasih. Dia anak orang kaya.”
Sontak, anak-anak itu bersorak riang.
“Waaah! Siapa temen Kakak? Kenalin dong!”
“Iya! Siapa tahu kita juga bisa dapet baju bagus kayak gitu!”
Mereka mendekat, tangan-tangan kecil mereka menyentuh kemeja dan celana Anjas, mengagumi kelembutannya. Seakan pakaian itu adalah sesuatu dari dunia lain—dunia yang selama ini hanya bisa mereka lihat dari kejauhan.
Anjas menelan ludah. Ia tetap diam, membiarkan mereka menyentuhnya, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang berubah—seakan ia sedang menyembunyikan sesuatu.
Namun, ia tidak ingin membahas ini lebih lama. Maka, dengan nada sedikit lebih ringan, ia segera mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya,” ucapnya, mencoba terdengar biasa saja. “Ngomong-ngomong, kakak-kakak yang kemarin ikut jualan koran sama kalian… Setelah tadi selesai jualan, kalian lihat nggak dia pulangnya ke mana?”
Nada suaranya terdengar santai, tapi ada ketegangan tipis di sana. Matanya tajam, seolah menunggu jawaban yang bisa menjelaskan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
Di antara keheningan yang sempat menyelimuti, suara bocah-bocah itu terdengar ragu. Mereka saling berpandangan, seolah mencari jawaban di wajah satu sama lain.
“Maksud Kakak, Kak Mawar?”
Anjas mengangguk, ekspresinya berubah serius.
Seketika, keceriaan yang tadi melingkupi mereka menguap begitu saja. Tatapan mereka meredup, dan wajah-wajah kecil itu tampak murung.
“Kak Mawar udah nggak jualan lagi bareng kita, Kak,” ucap salah satu bocah dengan suara lirih.
Anjas mengernyit. “Apa?”
“Iya… Kata Kak Mawar, dia udah punya pekerjaan lain.”
Anjas terdiam. Rasanya seperti ada sesuatu yang jatuh di dalam dadanya—sesuatu yang berat dan sulit dijelaskan.
Jadi, Mawar benar-benar pergi...
Perasaan aneh yang selama ini ia coba abaikan kini semakin menguat. Ada sesuatu tentang gadis itu yang tak bisa lepas dari pikirannya—senyum getirnya, sorot matanya yang menyimpan luka, caranya berbicara yang terkadang penuh keraguan, seolah ada rahasia yang ia sembunyikan.
Dan sekarang, ia menghilang begitu saja.
Namun sebelum ia sempat mencerna perasaannya lebih jauh, seorang bocah tiba-tiba berseru, seolah baru teringat sesuatu.
“Oh iya! Kak, ini ada surat dari Kak Mawar buat Kakak!”
Anjas menoleh cepat. “Surat?”
Bocah itu mengangguk, lalu mengulurkan secarik kertas lusuh yang terlipat rapi. “Tadi pagi sebelum Kak Mawar pergi, dia nitipin ini. Katanya buat Kak Anjas. Soalnya Kak Mawar nggak bisa nunggu sampai Kakak pulang.”
Jantung Anjas berdegup lebih kencang. Ia menerima surat itu dengan tangan sedikit gemetar, membalik-baliknya sebentar, sebelum akhirnya dengan perlahan membuka lipatannya.
Untuk Kak Anjas,
Kak, terima kasih karena sudah membiarkan Mawar menjadi bagian dari kalian—meskipun hanya sebentar. Terima kasih karena sudah membuat Mawar merasa tidak sendirian di kota besar ini.
Kak, Mawar tidak tahu apakah takdir akan mempertemukan kita lagi atau tidak. Tapi kalau suatu saat kita bertemu lagi, Mawar harap Mawar sudah menjadi seseorang yang lebih baik. Seseorang yang tidak hanya mencari tempat untuk bertahan, tetapi juga seseorang yang bisa memberikan arti untuk orang lain.
Jaga anak-anak itu baik-baik, ya. Mawar tahu mereka berharga untuk Kakak, sama seperti Kakak berharga bagi mereka.
Salam,
Mawar
Anjas mengembuskan napas pelan setelah membaca surat itu. Hatinya mencelos.
Matanya terpaku pada nama yang tertera di akhir surat. Mawar.
Ia menatap huruf-huruf itu lama, seakan ingin mengukirnya dalam ingatan.
Ada sesuatu yang berdenyut di dadanya. Sesuatu yang tak bisa ia definisikan, tapi cukup kuat untuk membuatnya sadar… bahwa kepergian Mawar meninggalkan ruang kosong yang sulit ia abaikan.
Namun, alih-alih tenggelam dalam kesedihan, sudut bibirnya malah terangkat. Sebuah senyum tipis, penuh arti.
“Mawar,” gumamnya dalam hati, mengulang nama itu seakan memastikan keberadaannya masih nyata. Wajah gadis itu melintas di benaknya, tatapannya, caranya tersenyum, dan kini... kepergiannya yang tanpa pamit.
Memang kamu siapa?
Datang seenaknya, lalu pergi begitu saja, meninggalkan sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana mengatasinya.
Anjas tidak percaya. Bagaimana mungkin gadis sederhana yang baru ia kenal berhasil mencuri sesuatu dari dirinya—sesuatu yang ia sendiri tidak menyadarinya.
Anak-anak di sekelilingnya memperhatikan dengan cemas.
“Kak… Kak Anjas nggak apa-apa?” tanya seorang anak kecil dengan suara pelan.
Anjas tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum kecil, meski ada bayangan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Enggak apa-apa.”
Ia melipat kembali surat itu dengan hati-hati, lalu menyelipkannya di dalam saku kemejanya.
Tapi di dalam hatinya, sesuatu mulai tumbuh.
Sebuah tekad.
Ia tahu satu hal—ia tidak akan membiarkan Mawar menghilang begitu saja dari hidupnya.
Namun, pertanyaannya sekarang adalah…
Ia harus mencarinya di mana?
***
Sementara di Rumah Lusi...
Malam semakin larut, dan rumah mewah itu telah tenggelam dalam kesunyian. Di dalam sebuah kamar sederhana di sudut rumah, Mawar berbaring di atas ranjang kecilnya. Kelelahan setelah hari yang panjang, ia membiarkan tubuhnya terlelap, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menghadapi hari esok yang penuh tantangan.
Namun, di tengah tidurnya yang lelap, tiba-tiba ia tersentak.
“M-Mbak Anjani...!”
Mawar terbangun dengan napas memburu. Tubuhnya basah oleh keringat dingin, dadanya naik turun dengan cepat. Mimpi itu—begitu nyata, begitu menusuk, hingga meninggalkan debaran kuat dalam hatinya.
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar yang asing, lalu ia menarik napas panjang sebelum berbisik pelan, “Ya Tuhan... kenapa aku memimpikan Mbak Anjani?”
Ada kegelisahan yang merayapi hatinya. Sesuatu tentang mimpi itu membuat dadanya terasa sesak, seakan ada panggilan dari kejauhan—panggilan yang tak mampu ia abaikan.
Mawar hanya bisa terdiam, duduk di ranjangnya, merasakan kesepian yang perlahan merambati dirinya.
***
Sementara di Pulau...
Di sebuah kamar dengan jendela sederhana yang menghadap laut, Anjani duduk diam, tubuhnya terbungkus kebaya pengantin yang anggun. Riasan lembut menghiasi wajahnya, membuatnya tampak begitu cantik. Namun, di balik keindahan itu, matanya tampak kosong, penuh kecamuk yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Bulan temaram menyinari wajahnya yang sendu. Anjani menatap cahaya itu dengan tatapan nanar, membiarkan pikirannya melayang jauh.
“Ibu... malam ini Anjani menikah,” ucapnya pelan dalam hati. “Mas Aryo selalu setia... dan kini, malam ini, ia akan mengikat Anjani dalam janji suci. Tapi, Ibu... tanpa kehadiranmu di sini, semuanya terasa kosong. Anjani merasa sepi, Anjani merasa sendiri...”
Tangannya perlahan meraba sprei dan selimut yang dulu sering digunakan ibunya. Jemarinya menggenggam kain itu erat, seolah ingin menyerap setiap kenangan yang pernah ada di dalamnya.
Namun, hatinya tak hanya dipenuhi oleh kerinduan terhadap ibunya. Ada seseorang lagi yang pikirannya terus membayangi—adiknya, Mawar.
Anjani menarik napas dalam. Bayangan Mawar terus berkelebat di benaknya.
“Kamu di mana, Mawar?” bisiknya, suaranya bergetar. “Kenapa sampai sekarang kamu belum juga memberi kabar? Apakah kamu baik-baik saja di Jakarta?”
Hatinya terasa semakin berat.
“Malam ini Mbak menikah, Mawar. Tapi betapa menyedihkannya... Di hari bahagia Mbak, kamu tidak ada di sini. Kamu adalah satu-satunya keluarga Mbak yang tersisa, dan sekarang, kamu entah di mana... jauh, tak tergapai...”
Air mata mulai menetes dari sudut matanya. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hendak pecah.
Ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunan Anjani. Suara samar gemuruh tamu di luar sana mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan, tanpa peduli dengan apa yang tengah ia rasakan.
Seorang perempuan paruh baya, salah satu pengurus acara pernikahan, melangkah masuk dengan penuh kelembutan.
“Maaf, Nak Anjani…” katanya lirih. “Mempelai pria sudah datang. Pernikahan akan segera dimulai. Ayo, kita keluar.”
Tangannya terulur, seolah ingin memberi kekuatan.
Anjani menatap tangan itu dalam diam. Ada gemuruh di dalam dadanya, sebuah pertarungan antara hati dan kenyataan yang harus ia jalani. Jemarinya gemetar saat akhirnya ia meraihnya—dan di saat yang sama, ia tahu bahwa hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Langkahnya terasa berat saat ia berjalan keluar, dituntun oleh keluarga Aryo yang menyambutnya dengan penuh haru. Tidak ada tangan ibu yang menggenggamnya, tidak ada adik yang menemaninya. Ia melangkah sendirian.
Dan akhirnya, di hadapan para saksi, di bawah langit malam yang kelam, suara ijab kabul pun mengalun. Kata-kata sakral itu terucap, menggema dalam ruang yang terasa begitu kecil baginya.
Ketika penghulu bertanya, “Bagaimana saksi, sah?”
Serempak, suara lantang menjawab, “Sah.”
Tangan Anjani refleks terangkat, menutupi wajahnya yang terasa panas. Ia menghela napas panjang, mencoba meresapi kenyataan bahwa mulai detik ini, ia telah resmi menjadi istri Aryo.
Namun, di balik kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan, dadanya justru terasa sesak. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh, bukan karena haru, tapi karena kehilangan yang begitu dalam.
Pernikahan itu diselimuti tangis—bukan hanya tangisnya, tetapi juga tangis keluarga Aryo yang turut merasakan kepedihan Anjani. Mereka tahu, gadis itu kini benar-benar sendiri. Ia tak lagi memiliki siapa-siapa.
Hanya kenangan yang tersisa. Hanya harapan bahwa suatu hari nanti, Mawar akan kembali kepadanya.
Tapi, sampai kapan ia harus menunggu?