Rahasia Yang Terlupakan
Aku membalik halaman novel selanjutnya, ekspresiku sudah tak tertahankan ketika membacanya.
"Menjebak konflik antara Raja dan Grand Duke dan membuat mereka melalui perang dingin, Winola di klaim sebagai utusan penyihir dan akhirnya di adili. Dalam sistem kerajaan, barang siapapun yang terlibat dalam sihir hitam akan mendapatkan hukuman di bakar hidup-hidup di hadapan seluruh masyarakat, sebagai contoh agar tidak mengulang kesalahan yang sama.
Siang hari di balai kota, Winola di adili oleh tangan suaminya sendiri."
Brak, aku membuang buku itu dari hadapanku. Kenapa tokoh itu sangat lemah dan membuat dirinya sendiri terbunuh? Dasar Idiot!
"Wow, aku pikir dia cukup pintar karena bisa menikahi Grand Duke, malah dia mati secepat itu." Apa-apaan plot murahan itu?
Mataku jadi panas. Aku membakar buku itu di atas perapian, biarlah karakter bodoh itu lenyap selamanya, aku tak usah membacanya sampai akhir. Buang-buang waktu saja.
Di tengah kota yang tengah di dera hujan lebat, aku mendengar suara langkah kaki yang berat dari arah kegelapan. Tepat sebelum ia mendekat, aku berlari sekuat tenaga. Genangan air terkadang menciprat lantaran langkahku yang panjang dan cepat.
Dingin.
"Hey, berhenti, berhenti disana!"
"Cih," Aku berdecak. Ada tiga pria mengejarku di belakang. Langkah mereka cepat, namun tak cukup gesit untuk seorang mantan atlet lari sepertiku. Dalam beberapa belokan gang bertembok, mereka pun sudah tak mampu mengejarku lagi. Dalam kesempatan ini, aku berhasil lolos lagi.
Ya, lagi.
"Dasar beruang buncit."
Beginilah kehidupanku. Mantan konglomerat yang harus tinggal berpindah-pindah tempat. Menjadi buronan rentenir, pencopet, atau membodohi orang idiot, itulah kesibukanku selama ini. Bagaimana roda kehidupan sangat cepat mengobrak-abrik nasib seseorang. Menyebalkan.
Semua ini gara-gara hutang yang di tinggalkan orang tuaku yang bodoh itu. Aku membenci mereka. Benar-benar pembawa sial.
Aku melepas sepatuku yang basah, mengantinya dengan sandal selop dan masuk ke dalam kereta bawah tanah. Aku duduk bersender, napasku terengah. Beberapa pasang mata mungkin tengah menatapku aneh, seorang gadis kucel dengan jaket hitam yang basah. Siapa yang peduli. Mereka hanya sekumpulan orang rendahan.
"Dasar tikus jalanan, mau lari kemana lagi kau."
Sontak aku membuka mata, ketika beberapa pria sudah mengelilingiku dan membekapku dengan obat bius. Selanjutnya, aku sudah tidak ingat apa yang terjadi. Mendadak aku sudah berada di dalam ruangan pengap.
Mataku perih mencoba menyesuaikan cahaya. Ada bau nikotin dan asap yang membuat sesak. Para pecundang ini memang hidup di tempat sampah.
"Oh, kau sudah bangun?" Seorang pria berbadan tambun, menatapku dengan seringai jelek. "Rupanya tikus ini cepat sadar juga."
Beberapa orang menghampiriku dengan tatapan mencemooh.
"Sayang sekali bos tidak mengizinkan kami menyentuhnya dulu, dia punya mata yang cantik seperti ibunya, haha."
"Ibunya dulu bintang model busana, bukan? Sangat seksi dan cantik. Pantas saja tikus ini punya wajah mulus." Si tambun tadi mencoba membelai wajahku, tapi aku meludahinya.
"Jangan menyentuh ku dengan tangan menjijikanmu, akan ku potong tanganmu!" Peringatku.
Alih-alih marah, pria itu tertawa getir. "Kau hanya gadis jalanan, sialan. Jangan berlaga seolah kau memiliki uang, dasar banjingan kecil."
"Apa yang akan kalian lakukan? Menjual organku?"
"Menjual? Itu sudah tidak populer. Sepertinya lebih menguntungkan jika kau di jual ke rumah bordir."
"Sialan, lepaskan aku!" Aku meronta.
"Tutup saja mulutnya, besok pagi kita bawa dia ke pasar lelang." Si ceking membuat keputusan. Lantas mereka mengambil kain dan membungkam mulutku.
Aku, santai saja. Karena sendiri tadi, aku sudah bangun dan sudah memikirkan jalan pelarian. Mereka pikir semudah itu menjebakku? Mereka tidak tau siapa aku?
Sudah setahun berlalu aku menjalani kehidupan seperti ini, nampaknya aku sudah mahir dengan serangan mendadak dan kejar-kejaran. Tidak sia-sia aku mengikuti kelas bela diri dan ektrakurikuler lari sejak SMP. Rupanya sangat berguna di kemudian hari.
Aku menunggu sampai tengah malam sebelum memotong tali menggunakan pisau kecil yang tersembunyi di balik ikat pinggang. Ada jendela kecil, ventilasi di ujung tembok. Tak masalah jika tinggi, aku pun mahir memanjat. Tepat sesuai prediksiku, beberapa dari mereka pun ada yang berjaga di luar. Tapi, beruntungnya mereka berdua tengah mabuk, sangat mudah menggulingkan mereka.
Dasar pecandu, tidak becus mengurus orang.
Sialnya, beberapa dari mereka menyadari ada yang tidak beres dan melihatku. Mereka berlarian mengejarku, sementara aku sudah memanjat tembok dan berlari keluar. Untungnya ini masih di tengah kota, dan aku sedikit menghafal jalur pelarian aman.
Terdengar beberapa orang meneriaki namaku, peduli apa aku tetap berlari sekuat tenaga.
Melewati beberapa jalur kendaraan, sampai ke daerah pertokohan, aku mencoba memblokir jalur mobil. Mereka tak kunjung menyerah dan malah mengeluarkan senjata api.
"Hahh, mereka sulit di kelabuhi!" Aku berhasil bersembunyi di balik tumpukan sampah. Mungkin, ada sekitar sepuluh menit sebelum aku kembali berlari.
Kali ini mereka tidak terlihat dimana pun. Sungguh bodoh jika berpikir mereka menyerah. Entah apa yang membawaku kembali ke jalan raya, sudah tengah malam, sudah pasti tidak ada kendaraan yang lewat. Aku hanya terus berlari, tanpa tujuan dan tanpa tau kemana, atau, apakah ada yang akan menolongku?
Huh, sungguh malang nasip ini. Aku berhenti sejenak, di bawah lampu jalanan. Perutku sakit, sudah dua hari ini aku hanya makan roti. Lihatlah, aku seperti seorang gelandangan. Semua ini bukan salahku, kenapa aku harus menderita seperti ini?
Ayah memiliki penyakit jantung, tak lama setelah kebangkrutan perusahaannya. Ia harus di rawat seminggu penuh di rumah sakit, dan harus menebus obat setiap minggunya. Setelah sembuh, ayah bekerja menjadi sopir muatan barang, sementara ibu menjadi karyawan toko swalayan.
Semua itu mereka lakukan agar aku tak terlihat seperti seseorang yang jatuh miskin. Bukankah sudah sepantasnya mereka masih memanjakanku. Mereka memang tidak pernah berpikir panjang.
Memang bodoh. Aku yang sejak kecil selalu di manja, mendapatkan segalanya, tak pernah kekurangan apa pun sebab orang tuaku adalah orang berekonomi tinggi. Lantas aku tak pernah merasakan kekurangan. Aku tak pernah di ajarkan hidup berhemat dan selalu berbuat kikir. Lalu, ketika orang tuaku bangkrut, aku tidak bisa menerima kenyataannya.
Aku, si gadis keras kepala. Menolak hidup miskin dan berhemat. Siapa yang mau hidup miskin?
Aku mulai menangis, atau mengunci diri di dalam kamar. Tidak mau makan atau minum jika keinginanku tidak di turuti. Permintaanku dulu sangat aneh-aneh dan tidak berguna. Tetapi mereka-kedua orang tuaku tidak mau anaknya yang keras kepala ini ikut merasakan hidup sengsara.
Itu bukan salahku jika mereka tidak bisa mempertahankan kekayaannya. Bukankah sudah sepantasnya aku mendapatkan yang terbaik.
Mereka menjual rumah, mobil, segala yang mereka punya lantas pindah ke rumah yang lebih kecil. Mereka kembali memanjakanku, memberiku uang jajan yang besar, membawaku jalan-jalan, sama seperti kehidupanku sebelum mereka bangkrut. Minimal itu yang bisa mereka lakukan untukku.
Hari itu, hari kelulusanku. Aku hanya meminta mereka menyewa sebuah mobil mewah untuk datang di acara wisudaku. Aku hanya berpikir untuk menyembunyikan skandal ayah dan tetap menjadi nyonya muda, pikirku.
Ayah dan ibu mengusahakan segalanya, mereka akhirnya bisa mendapatkan sewa mobil dan datang ke acara wisudaku.
Aku menelpon ayah berkali-kali, mereka hampir terlambat datang ke acara utama. Mungkin saja saat itu ayahku sedang sakit kepala atau apalah, membuat mereka mengalami kecelakaan hebat. Mendadak terdengar suara bising lalu di ikuti jeritan ibu. Telepon terputus menyisakan aku yang membatu di tempat.
Kecelakaan merengut nyawa ayah.
Ibu mengalami pecah pembuluh darah dan kritis. Saudara ibu yang tinggal di kampung membiayai rumah sakit. Hingga ibuku sembuh. Namun, ibu tak benar-benar sembuh. Ia mengadu sakit setiap harinya. Biaya pengobatan serta operasinya begitu mahal hingga aku memutuskan untuk menjual rumah. Satu-satunya harta yang kami miliki.
Tetapi, takdir berkata lain.
Ibuku pergi ke langit, menyusul ayah.
Sebab kesombongan dan kecongakan keluargaku, kerabat ayah maupun ibu tak mau menampungku. Orang tuaku meninggalkan banyak hutang yang menjadi bebanku. Aku mulai hidup lontang-lantung di jalanan. Terkadang menjadi kurir makanan, atau bekerja paruh waktu. Namun, karena sikap keras kepalaku, belum genap satu bulan pasti sudah di pecat.
Para bos bodoh itu tidak tau bagaimana caranya memperlakukan orang berkelas sepertiku.
Entahlah, sifat memang susah diubah, bukan? Pekerjaan paling cocok untukku hanyalah berjudi, berhutang, dan melarikan diri. Haha.
"Ini semua, salah kedua orang tuaku. Ini semua akibat karma atas dosa mereka,"
Bahkan sekarang, aku bisa melihat cahaya putih sangat menyilaukan mata. Telingaku berdengung manakala suara klakson terus menyeru. Sejak kapan ada banyak orang menatapku dengan khawatir di sebrang jalan sana? Dan, sejak kapan aku melangkah ke tengah jalan?
Oh, ada truk yang akan menabrakku. Pantas saja mereka khawatir. Barangkali aku akan mati sebentar lagi. Oh, apakah pada akhirnya karma seperti ini yang menjadi akhirnya?
"Aku membenci ayah dan ibu, semoga kita semua bisa menebus dosa yang kita perbuat."
[Anda telah terpilih oleh Sistem Transmigrasi: Ini bukan hanya misi, dalam setiap langkah, Anda akan menemukan kesempatan untuk menebus dosamu serta meraih imbalan]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
sjulerjn29
bahasanya ringan mudah dimengerti
semangat 😊
mampir juga ya ke ceritaku..
kasih saran juga..makasih
2025-07-06
1