Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 27
Hujan deras mengguyur tanpa ampun, membuat tanah perkebunan menjadi licin dan berbahaya. Raka dan Aruna, yang tadi sibuk meninjau lahan, kini terpaksa berlari menembus hujan. Saat itu, kaki Aruna terpeleset. Dengan sigap, Raka menangkap tubuhnya sebelum jatuh sepenuhnya.
"Ibu Aruna!" seru Raka cemas.
"Aku... terpeleset," ujar Aruna pelan, menahan perih di pergelangan kakinya.
Melihat kondisinya, Raka tak berpikir lama. Ia langsung menggendong Aruna, melindunginya dari hujan sekuat mungkin, dan menuju rumah bilik kecil di dekat sana. Suasana bilik itu sepi, hanya suara hujan dan napas mereka yang terdengar.
Raka menurunkan Aruna di bangku kayu usang. Bajunya basah kuyup, tubuhnya menggigil, namun ia tetap memusatkan perhatian pada wanita di hadapannya. Ia melepas sepatu boot Aruna dan mulai memeriksa kakinya yang keseleo.
"Aku urut sebentar, ya," ujarnya lembut.
Aruna hanya mengangguk, menggigit bibir menahan rasa sakit. Tangan Raka bekerja perlahan, penuh kehati-hatian. Tapi semakin lama ia menyentuh kulit lembut itu, semakin sulit ia mengendalikan perasaannya.
Aruna menatapnya dalam. Tatapan itu bukan hanya karena sakit, tapi karena ada gejolak lain yang tak bisa ia sembunyikan.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Raka pelan, mencoba memalingkan wajah.
"Aku tidak tahu..." jawab Aruna, suaranya nyaris bergetar. "Mungkin karena kamu terlalu perhatian. Terlalu lembut. Terlalu... dekat."
Raka menelan ludah. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu ini bukan tempat dan waktu yang tepat, tapi perasaannya tak bisa dibohongi.
"Ibu, aku..." ucap Raka pelan, namun kalimatnya terhenti saat tangan Aruna menyentuh pipinya, pelan, seolah meminta Raka tak perlu banyak bicara.
Aruna membuka kancing kemejanya yang basah, tapi Raka segera menahan tangannya.
"Jangan," bisiknya serak. "Ibu... kalau kau lakukan ini, aku bisa benar-benar jatuh. Dan bukan hanya sekali."
Aruna terdiam. Raka tidak menghindar, tapi juga tidak melangkah maju. Ketegangan di antara mereka begitu nyata. Di antara rasa sakit, kesepian, dan hujan yang turun seperti tak ingin berhenti, ada dua hati yang berusaha menahan badai di dalam diri mereka masing-masing.
Hening menyelimuti rumah bilik yang remang dan basah itu. Di luar, hujan masih mengguyur tanah dengan derasnya, seolah ikut mencurahkan perasaan yang selama ini terpendam di antara mereka.
Aruna tak menarik tangannya. Ia tetap menatap Raka dengan mata yang berkaca, menyimpan banyak rasa rindu, luka, dan sesuatu yang tak bisa lagi ia kendalikan.
"Biarkan aku... merasa hidup kembali, meski hanya sesaat," bisik Aruna dengan suara nyaris tak terdengar.
Raka menutup matanya sejenak, seperti sedang berperang dengan nuraninya sendiri. Tapi saat ia kembali membuka mata, yang terlihat hanya satu hal: Aruna. Wanita yang selama ini ada di pikirannya, yang diam-diam telah mengisi ruang kosong di hatinya.
Perlahan, ia mendekat, menyentuh pipi Aruna dengan lembut, seolah memastikan bahwa ini nyata. Aruna menutup matanya saat jemari Raka menyusuri sisi wajahnya, lalu jatuh di belakang lehernya, menariknya perlahan dalam dekapan.
Ciuman pertama itu bukan ledakan gairah tapi pertemuan dua jiwa yang sama-sama lelah. Lembut, penuh rasa, dan lama tertahan. Hujan menjadi latar musik yang mengiringi keheningan mereka, menyelimuti rumah bilik itu dalam rasa yang terlalu lama dipendam.
Tak ada kata. Hanya napas yang perlahan berpadu, dan pelukan yang menghapus jarak. Mereka tidak tahu akan ke mana semua ini berakhir, tapi untuk pertama kalinya, mereka membiarkan hati mereka bicara. Tanpa logika, tanpa alasan.
Hanya rasa.
Dalam keheningan yang tiba-tiba menggantung, napas mereka masih tersengal, tapi bukan karena hasrat melainkan karena kenyataan yang perlahan kembali menyelinap ke dalam kesadaran mereka.
Raka menarik diri perlahan. Tatapannya berubah. Ada gelisah di sana, ada rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan.
"Maafkan aku," katanya pelan, nyaris seperti bisikan. "Kita tak seharusnya... Aku tak seharusnya membiarkan ini terjadi."
Aruna tidak langsung menjawab. Ia masih diam menatap ke arah hujan yang jatuh di luar jendela bilik. Wajahnya tenang, tapi ada luka kecil yang mulai tumbuh di matanya.
"Aku yang memulai," katanya lirih. "Aku tahu apa yang kulakukan, Raka. Aku sadar... Dan aku tidak menyalahkanmu."
Raka menunduk. "Bukan soal siapa yang memulai, tapi... ibu masih istri seseorang. Itu yang tak bisa kupalingkan. Bahkan jika hatiku berkata lain."
Aruna mengangguk pelan, walau hatinya terasa ngilu. Ia tahu Raka tidak salah. Tapi ia juga tahu betapa rumitnya keadaan yang mereka hadapi.
"Aku hanya lelah," ucap Aruna, nyaris tak terdengar. "Lelah merasa sendiri... Lelah menggantungkan harapan yang tak pasti."
Raka memandangnya lagi, kali ini lebih dalam. "Aku mengerti. Dan aku pun sama. Tapi biar bagaimana pun... aku tak ingin kau menyesal karena aku."
Mereka kembali terdiam. Hujan kini mulai mereda, menyisakan sisa embun dan dingin di udara. Tapi suasana di antara mereka lebih hangat dari sebelumnya bukan karena tubuh, tapi karena perasaan yang akhirnya terucap, meski belum selesai.
Mereka tak tahu ke mana arah hubungan ini akan pergi. Tapi setidaknya, hari itu mereka tahu ada ruang kosong dalam hati mereka masing-masing yang telah saling disentuh.
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor