Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebersamaan Zoya dan Radit
"Pfft..."
Suara itu terdengar sangat jelas. Bukan suara angin, bukan suara keran bocor, dan pastinya bukan suara hantu karena setahu Zoya hantu tidak bisa menahan tawa.
Gerakan sikat Zoya terhenti di udara. Tubuhnya membeku seketika, persis seperti patung es. Pelan-pelan, dengan leher yang terasa kaku seperti robot karatan, Zoya memutar kepalanya ke arah pintu.
Di sana, bersandar santai di ambang pintu dengan tangan terlipat di dada, berdiri Pak Radit.
Wali kelas ganteng itu sedang berusaha keras menahan senyumnya agar tidak meledak menjadi tawa. Bahunya sedikit berguncang.
"Jadi..." Pak Radit akhirnya bersuara, nada bicaranya geli. "Menurut analisis kamu, daging Pak Badri mengandung lebih banyak protein daripada daging kamu yang... 'alot' itu?"
DUAR!
Rasanya ada petir yang menyambar tepat di ubun-ubun Zoya. Wajahnya yang tadi kusam dan lelah, seketika berubah warna menjadi merah padam, semerah tomat busuk.
Dia mendengar semuanya! Pak Radit mendengar semuanya! Dari teriakan histeris Zoya soal "daging alot" sampai "makan Pak Badri aja"!
"P-Pak Radit..." cicit Zoya, suaranya gemetar. Sikat lantai di tangannya merosot jatuh.
Klotak.
Zoya rasanya ingin menyiram dirinya sendiri ke dalam lubang WC dan hanyut sampai ke laut lepas. Malunya itu lho, sampai ke tulang sumsum!
Pak Radit melangkah masuk, sepatunya berbunyi tuk-tuk-tuk di lantai keramik yang basah. Ia berhenti beberapa langkah dari Zoya, menatap murid barunya yang kini sedang berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam-dalam.
"Saya kebetulan lewat mau ambil berkas yang ketinggalan, terus dengar ada 'konser tunggal' dari arah sini," kata Pak Radit santai, matanya menyapu sekeliling toilet yang sebenarnya sudah cukup bersih, tapi masih bau sabun yang menyengat.
"Bapak... sejak kapan di situ?" tanya Zoya pelan, masih menunduk menatap ujung sepatunya yang basah.
"Sejak bagian... 'Jangan makan Zoya, ampun!'" Pak Radit terkekeh pelan. "Imajinasimu liar juga ya, Zoya. Hantu toilet sekolah pasti bingung mau nanggepinnya gimana."
Zoya memberanikan diri mendongak, bibirnya manyun lima senti. Matanya berkaca-kaca, campuran antara malu, capek, dan lega karena yang datang bukan hantu atau Pak Badri.
"Bapak jahat ih, ngetawain orang yang lagi menderita!" rengek Zoya, sifat kekanak-kanakannya keluar lagi. "Zoya kan kaget, Pak! Kirain setan beneran! Lagian Pak Badri sama bu Mirna tuh ngasih hukuman nggak kira-kira, masa Zoya ditinggal sendirian di sini? Kalau Zoya diculik wewe gombel gimana? Nanti kelas Bapak kurang satu murid yang paling cantik, lho!"
Pak Radit menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi senyum di wajahnya makin lebar. "Percaya diri sekali kamu. Tapi... wewe gombel juga kayaknya bakal mikir dua kali mau nyulik anak yang berisiknya minta ampun kayak kamu."
"Iih, Bapak!" Zoya menghentakkan kakinya ke lantai yang basah, membuat cipratan air kecil.
Pak Radit tertawa renyah, lalu melihat jam tangannya. Wajahnya berubah sedikit lebih serius, tapi tetap lembut.
"Sudah, sudah. Ini sudah hampir maghrib. Sekolah sudah mau dikunci penjaga."
"Tapi belum selesai, Pak..." Zoya menunjuk lantai dengan sedih. "Kata Pak Badri harus sampai bisa buat ngaca. Ini boro-boro buat ngaca, buat ngelihat nasib masa depan aja buram."
"Biarkan saja. Nanti saya yang bilang ke Pak Badri kalau toiletnya sudah steril," ujar Pak Radit sambil memberi isyarat dengan dagunya ke arah pintu keluar. "Ayo, pulang. Anak perempuan tidak baik sendirian di sekolah jam segini. Nanti dikira penunggu toilet beneran."
Mata Zoya langsung berbinar cerah, seolah baru saja memenangkan lotre. "Serius, Pak?! Bapak nggak bohong kan? Zoya boleh pulang?!"
"Iya, Bawel. Ayo, ambil tas kamu. Saya tunggu di parkiran, sekalian saya antar sampai depan gerbang komplek biar kamu nggak diculik wewe gombel beneran."
"YEY! PAK RADIT EMANG PALING THE BEST!" seru Zoya girang, langsung melempar sikat lantai ke ember dengan semangat '45. Rasa capeknya mendadak hilang. Ia menyambar tasnya, lalu berlari kecil mengekor di belakang Pak Radit seperti anak ayam mengikuti induknya.
Dalam hati Zoya bersorak: Satu poin untuk Zoya, nol untuk Pak Badri! Tapi kemudian dia tersadar... Pak Radit tadi bilang mau nungguin dia?
Duh, jantung Zoya mendadak dugem lagi. Tapi kali ini bukan karena takut, tapi karena... Pak Radit wangi banget!
...***...
Koridor sekolah saat maghrib ternyata memiliki aura yang jauh lebih menyeramkan, persis seperti adegan film horor yang sering Zoya tonton sambil sembunyi di balik selimut. Lampu-lampu lorong yang hanya menyala sebagian membuat bayangan pepohonan di luar jendela terlihat seperti tangan raksasa yang siap menyambar siapa saja yang lewat.
"Hiii..." Zoya bergidik ngeri.
Untungnya, di depannya ada punggung tegap Pak Radit. Punggung itu lebar dan terlihat sangat kokoh, rasanya seperti berjalan di balik benteng pertahanan berjalan. Zoya berjinjit di belakangnya, berusaha menyamakan langkah kakinya dengan langkah Pak Radit yang panjang.
Satu hal yang membuat Zoya gagal fokus: Wanginya.
Setiap angin berhembus, aroma parfum Pak Radit langsung menyapa hidung Zoya. Wanginya bukan seperti parfum bunga-bunga pasaran milik Ines, melainkan wangi yang... mahal. Campuran aroma mint segar dan kayu-kayuan yang maskulin, membuat Zoya ingin menempel terus seperti perangko.
"Pak," panggil Zoya pelan, takut suaranya memecah keheningan yang mencekam.
"Hm?" Pak Radit menyahut singkat tanpa menoleh. Kedua tangannya masih tersimpan tenang di saku celana.
"Bapak nggak takut jalan sendirian di sini? Kata Kakak kelas, lorong ini kalau malem suka ada suara nenek-nenek nangis lho."
Pak Radit berhenti sejenak, lalu kembali melangkah santai. "Lebih menakutkan suara kamu yang teriak-teriak soal 'daging alot' tadi daripada suara nenek-nenek nangis."
Zoya langsung kicep. Pipinya kembali memanas. "Ih, Bapak mah dendam!"
Mereka tiba di area parkir guru yang sudah sepi. Di sana, hanya tersisa satu mobil sedan hitam mengkilap yang terparkir manis di sudut. Mobil itu terlihat gagah, persis mobil yang dipakai agen rahasia di film action.
Bip! Bip!
Lampu mobil berkedip saat Pak Radit menekan tombol di kuncinya.
Mata Zoya membulat kagum. "Wah... Mobil Bapak keren banget! Kayak Batmobile!"
Pak Radit membuka pintu pengemudi, lalu menatap ke arah Zoya yang masih terpaku di aspal. "Kamu mau jadi tukang parkir di situ sampai pagi?"
"Eh?" Zoya mengerjap polos. "Maksudnya... Zoya boleh ikut naik?"
"Rumah kamu di mana?"
"Di Komplek Cendana, Pak. Yang gerbangnya warna hijau lumut."
"Searah. Masuk."
Zoya rasanya ingin sujud syukur detik itu juga. Sudah dibebaskan dari hukuman, diantar pulang naik mobil mewah, disupiri wali kelas ganteng pula! Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Zoya?
Dengan semangat '45, Zoya membuka pintu depan dan melompat duduk di jok penumpang yang empuk. Wushh! Hawa sejuk AC langsung menyembur, mengusir gerah dan lelah. Interior mobilnya sangat bersih, tidak ada sampah tisu atau bungkus permen seperti di angkot yang sering ia naiki.
Zoya duduk tegak, kaku persis boneka Annabelle. Tangannya diletakkan rapi di atas pangkuan. Ia takut kalau banyak bergerak, jok kulit mahal itu akan lecet.
Pak Radit masuk, menyalakan mesin, dan mobil pun meluncur halus meninggalkan gerbang sekolah, membelah jalanan sore yang mulai gelap.
Suasana di dalam mobil sangat hening. Hanya terdengar suara mesin yang halus dan napas Zoya yang ditahan saking groginya.
Kruyuuuk....
Tiba-tiba, suara protes terdengar nyaring dari perut Zoya. Cacing-cacing di perutnya seolah berdemo meminta jatah makan malam karena tenaganya habis dikuras untuk menyikat WC tadi.
Zoya memejamkan mata rapat-rapat. Ya Tuhan, cabut nyawa Zoya sekarang juga. Malunya nggak ketulungan!
Pak Radit melirik sekilas ke arah perut Zoya, lalu ke wajah muridnya yang sudah merah padam. Sudut bibirnya terangkat sedikit, membentuk senyum tipis. Tanpa berkata apa-apa, tangan kirinya merogoh laci dashboard.
Ia mengeluarkan sebungkus roti cokelat yang masih utuh.
"Nih," Pak Radit menyodorkan roti itu ke arah Zoya, matanya tetap fokus ke jalan raya.
Zoya membuka satu matanya ragu. "Buat Zoya, Pak?"
"Makan," perintah Pak Radit singkat. "Daripada kamu kelaperan terus nekat gigit jok mobil saya. Kulit jok rasanya nggak enak, Zoya."
Zoya mengerucutkan bibirnya, tapi tangannya dengan cepat menyambar roti itu. "Bapak ih, ngeledek terus! Makasih ya, Pak! Bapak memang penyelamat bangsa!"
Zoya membuka bungkus roti dan mulai makan dengan lahap, pipinya menggembung lucu seperti tupai. Sambil mengunyah, matanya curi-curi pandang ke profil samping Pak Radit. Hidung mancung, rahang tegas, dan tangan yang memegang setir dengan santai…
Duh, Pak Radit kalau diam begini gantengnya bertambah 1000 persen, batin Zoya sambil senyum-senyum sendiri.
Tak lama kemudian, mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang hijau lumut Komplek Cendana.
"Sudah sampai," ucap Pak Radit datar.
Zoya menelan potongan roti terakhirnya buru-buru. Ia merasa sedih perjalanannya terasa begitu singkat. "Yah… udah sampe, ya."
"Kenapa? Mau saya antar balik ke toilet sekolah?"
"ENGGAK!" Zoya menggeleng panik. Ia segera membuka pintu mobil. Sebelum turun sepenuhnya, ia menoleh lagi ke arah Pak Radit sambil nyengir lebar.
"Pak Radit!"
Pak Radit menoleh, alisnya terangkat sebelah. "Apa lagi?"
"Makasih banyak ya, Pak! Tumpangannya, rotinya, sama... udah nyelametin Zoya dari amukan Pak Badri. Bapak baik banget deh, kayak malaikat tapi versi nggak pake sayap!”
Pak Radit mendengus geli, tatapannya melembut. "Sama-sama. Besok jangan terlambat. Kalau kamu telat di jam saya, hukumannya bukan bersihin toilet."
"Terus apa dong, Pak?"
"Saya suruh kamu ngajar Fisika gantiin Pak Badri."
Zoya tertawa renyah. "Siap, Bos! Dadah, Pak Radit! ati-ati di jalan, jangan ngebut-ngebut, nanti rindu!"
Zoya menutup pintu mobil pelan, lalu melambaikan tangannya heboh saat mobil Pak Radit perlahan melaju menjauh.
Zoya berdiri di pinggir jalan sambil mendekap bungkus roti kosong di dada, menatap lampu belakang mobil yang menghilang di tikungan.
"Hhh..." Zoya menghela napas panjang, senyum lebar masih menghiasi wajahnya.
Hari ini dimulai dengan bencana dikejar dua singa betina dan satu guru killer, disuruh menyikat WC tapi ditutup manis dengan diantar pulang oleh pangeran berkuda besi.
"Kayaknya..." gumam Zoya sambil melangkah riang memasuki gerbang rumahnya. "Kayaknya besok sekolah bakal seru deh."