"aku pernah membiarkan satu Kalila merebut milik ku,tapi tidak untuk Kalila lain nya!,kau... hanya milik Aruna!"
Aruna dan Kalila adalah saudara kembar tidak identik, mereka terpisah saat kecil,karena ulah Kalila yang sengaja mendorong saudara nya kesungai.
ulah nya membuat Aruna harus hidup terluntang Lantung di jalanan, sehingga akhirnya dia menemukan seorang laki laki tempat dia bersandar.
Tapi sayang nya,sebuah kecelakaan merenggut ingatan Aruna,sehingga membuat mereka terpisah.
Akankah mereka bertemu kembali?,atau kah Aruna akan mengingat kenangan mereka lagi?
"jika tuhan mengijinkan aku hidup kembali, tidak akan ku biarkan seorang pun merebut milik ku lagi!"ucap nya,sesaat sebelum kesadaran nya menghilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aru_na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.Hanya milik Aruna
"Kalila..." Suara berat itu menghentikan aksinya, membuat tangannya yang melayang di udara langsung tertarik kembali. Dengan cepat, Kalila mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar terlihat semanis mungkin.
"Mas, kamu ternyata ada di rumah?" Kalila memandang Arza dengan sorot mata berbinar, seolah baru saja menemukan harta karun.
"Kapan kau datang?" Arza sama sekali tidak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi antara istrinya dan Kalila.
"Sudah sejak tadi, tapi Aruna melarangku bertemu denganmu, dia mengatakan kau telah pergi," suara Kalila terdengar sangat lembut, seakan-akan ia adalah gadis rapuh yang butuh dilindungi.
Arza menoleh ke arah istrinya, Aruna, yang tampak bersikap acuh tak acuh. "Memangnya ada perlu apa, Kalila? Kenapa setiap hari datang?" tanya Arza, nadanya ramah namun ada sedikit rasa ingin tahu.
"Apakah aku tidak boleh datang lagi, Mas? Aku hanya ingin menjengukmu, sekalian juga ingin dekat dengan istrimu," Kalila berujar, ia sangat dongkol saat harus menyebut Aruna 'istri Arza', namun ia harus mengatakannya dengan senyum yang dipaksakan.
"Tidak bolehkah aku berteman dengan Aruna?" Kalila memasang tampang sedih, bahunya sedikit bergetar seolah sangat terluka.
Arza menepuk bahu Kalila, mencoba menenangkan. "Tidak masalah, kalian bisa berteman." Melihat itu, Aruna merasa jengkel, ia muak dengan kepolosan suaminya yang begitu mudah tertipu oleh sandiwara Kalila.
"Terima kasih, Mas! Aku sangat bahagia! Aruna, kamu mau 'kan berteman denganku? Aku akan memperkenalkanmu pada orang-orang desa," ujar Kalila sok baik, mencoba meraih tangan Aruna. Aruna tidak menanggapi, dia hanya duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya.
"Aruna..." Arza mencoba melunakkan hati istrinya.
"Aku tidak suka berteman, Dokter Arza," jawab Aruna singkat, matanya memandang lurus ke depan.
"Kalian seusia, pasti akan cocok," Arza menambahkan, mencoba mencairkan suasana yang mulai terasa dingin.
Aruna mendengus pelan, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Usia tidak menjamin kesamaan visi, Dokter Arza. Saya lebih suka berteman dengan orang yang jelas tujuannya, bukan sekadar basa-basi."
Kalila tersentak. Wajahnya yang semula tampak sedih kini sedikit mengeras. "Maksudmu apa, Aruna? Apa kau meragukan ketulusanku?"
"Ketulusan itu seperti berlian, Kalila. Langka dan tidak mudah dipalsukan," jawab Aruna, matanya menatap tajam Kalila. "Saya tidak meragukan, saya hanya mengamati."
Arza mencoba menengahi. "Aruna, jaga bicaramu." Ia melirik Aruna dengan pandangan memperingatkan.
"Kenapa, Mas? Apa aku salah bicara jujur?" Aruna menoleh pada Arza, tatapannya menyiratkan sedikit kekecewaan. "Atau Mas lebih suka aku berpura-pura baik-baik saja dengan semua drama ini?"
Kalila dengan cepat mengambil kesempatan. "Lihat, Mas. Aruna tidak menyukaiku. Mungkin memang benar, aku tidak pantas berteman dengannya." Kalila menunduk, bahunya bergetar seolah menahan tangis.
Namun, Aruna tidak terpengaruh. Dia bangkit dari sofa, melangkah mendekati Kalila dengan tenang. "Saya tidak bilang tidak menyukaimu, Kalila. Saya hanya tidak tertarik dengan pertemanan yang didasari motif lain selain ketulusan. Dan sejujurnya, saya tidak punya waktu untuk drama."
Kalila mengangkat wajahnya, terkejut dengan keberanian Aruna. "Motif apa? Aku hanya ingin berteman!"
"Benarkah? Teman sejati biasanya tidak perlu memaksakan diri atau mencari simpati," Aruna menyilangkan tangan di dada. "Dan tentang memperkenalkan saya pada orang-orang desa, saya rasa tidak perlu. Saya sudah cukup dewasa untuk memilih lingkaran pergaulan saya sendiri, dan saya lebih suka berteman berdasarkan kesamaan nilai, bukan popularitas."
Arza menatap kedua wanita itu bergantian, merasa tidak nyaman dengan ketegangan yang meningkat. "Cukup, Aruna. Kalila hanya berniat baik."
"Niat baik itu mudah diucapkan, sulit dibuktikan, Mas," Aruna menatap lurus ke mata Kalila. "Dengar, Kalila. Saya menghargai niatmu, entah itu tulus atau tidak. Tapi, saya punya prinsip. Saya tidak berteman hanya karena 'kalian seusia' atau karena desakan orang lain. Pertemanan itu butuh koneksi, butuh kepercayaan. Dan sampai saat ini, saya belum menemukan alasan untuk membangun itu denganmu."
Kalila terdiam, wajahnya pucat. Dia jelas tidak menyangka Aruna akan sefrontal ini.
"Jadi, daripada membuang waktu dengan mencoba meyakinkan saya, bagaimana kalau kita fokus pada urusan masing-masing?" Aruna melanjutkan, suaranya tenang tapi tegas. "Saya tidak akan mengganggu hidupmu, dan saya harap kamu juga berlaku sama."
Aruna kemudian berbalik, melangkah anggun menuju dapur tanpa menoleh lagi, meninggalkan Arza dan Kalila dalam keheningan yang canggung.
Arza menghela napas panjang, menatap punggung Aruna yang menghilang ke dapur. Ia kemudian beralih menatap Kalila yang masih berdiri mematung, ekspresi sedihnya kembali mendominasi. Arza menepuk bahu Kalila pelan.
"Maafkan Aruna ya, Kalila. Dia memang agak... susah bergaul," ucap Arza, suaranya terdengar tidak enak hati. "Kamu jangan masukkan ke hati."
Kalila mendongak, matanya berkaca-kaca. "Tapi, Mas... dia sepertinya sangat tidak suka padaku. Apa aku berbuat salah?"
"Tidak, kamu tidak salah," Arza menggelengkan kepala. "Aruna memang begitu orangnya. Dia terlalu tertutup. Kamu jangan khawatir, aku tahu niat baikmu."
Tak lama kemudian, Arza menyusul Aruna ke dapur. Dilihatnya sang istri sedang menyiapkan minuman dengan gerakan cepat, raut wajahnya masih terlihat kesal.
"Aruna, Sayang," panggil Arza lembut, suaranya membelai udara.
Aruna menoleh, mengangkat alisnya. "Ada apa, Dokter Arza? Mau minta saya melayani tamu Mas yang sok rapuh itu?" sindirnya tajam.
"Aruna! Bicara apa kamu ini?" Nada suara Arza sedikit meninggi, ia tidak suka Aruna bicara seperti itu. "Tidak seharusnya kamu bicara seperti itu pada Kalila. Dia tamuku, dan dia datang dengan niat baik."
Aruna meletakkan gelas dengan sedikit keras di meja. "Niat baik? Mas, apa Mas tidak lihat bagaimana dia bersikap? Dia itu pintar bersandiwara!"
"Jangan menuduh sembarangan, Aruna," Arza mendekat, meraih tangan Aruna dengan lembut, mencoba meredakan emosi istrinya. "Kalila itu perempuan baik. Dia tulus ingin berteman denganmu. Kalian seusia, pasti bisa akur."
Aruna tertawa sinis, melepaskan genggaman tangan Arza. "Seusia? Mas, aku tidak peduli dengan usia. aku peduli dengan kejujuran. Dan Kalila itu... dia memakai topeng."
"Topeng apa maksudmu, Sayang?" Arza mengerutkan kening, bingung. "Dia hanya ingin berteman. Mungkin kamu saja yang terlalu berpikiran buruk, Aruna. Coba deh, buka hatimu sedikit. Jangan terlalu tertutup seperti ini. Tidak semua orang punya niat jahat, Aruna."
"Mas bilang aku berpikiran buruk?" Aruna menatap Arza tajam. "Atau Mas yang terlalu mudah percaya pada orang lain? Mas tidak melihat bagaimana dia memandang Mas? Bagaimana dia mencoba menarik perhatian Mas? aku tidak buta, Mas."
"Dia tidak melakukan apa-apa!" bantah Arza, suaranya mulai terdengar frustrasi. Ia mengelus lembut pipi Aruna. "Dia hanya bersikap ramah, Aruna. Kamu terlalu berprasangka buruk padanya. Dia hanya ingin menjengukku, sekalian juga ingin dekat denganmu."
"Dekat dengan ku?" Aruna tersenyum pahit. "Atau dekat dengan suami ku? Mas, dengarkan aku baik-baik. aku tidak akan berteman dengan orang seperti dia. Titik."
Aruna membalikkan badan, kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa peduli pada Arza yang masih berdiri di sana, menatapnya dengan pandangan campur aduk antara bingung dan kecewa.
Arza mendekat, meraih pundak Aruna. "Aruna, sudahlah. Kenapa kamu jadi begini, Sayang? Aku tahu kamu mungkin belum terbiasa dengan teman-temanku, tapi Kalila tidak seburuk itu. Dia itu anak baik, dan dia sering membantuku di sini sedari dulu, keluarga nya juga sangat baik." Arza memeluk Aruna dari belakang, dagunya bersandar di bahu Aruna.
Aruna menepis tangan Arza pelan, namun tidak melepaskan pelukan itu sepenuhnya. "Mas, Mas tidak mengerti. Ada hal-hal yang tidak bisa aku jelaskan. aku hanya... tidak nyaman berada di dekatnya."
"Tapi ketidak nyamananmu itu membuatmu jadi keras kepala, Aruna," Arza mencoba melunakkan suaranya, matanya menatap Aruna dari samping dengan lembut. "Aku hanya ingin kamu bisa akur dengan siapa saja, apalagi dengan orang yang sudah ku anggap seperti adik sendiri."
"Adik sendiri?" Aruna mendengus. "Sampai kapan Mas akan percaya dengan topeng manisnya itu? Dia bukan adik, Mas. Dia itu... dia wanita yang jelas-jelas menyimpan perasaan lebih padamu."
Arza mengerutkan kening, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia membalikkan tubuh Aruna menghadapnya, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan. "Kamu cemburu, ya, Sayang?" Dia mengecup lembut kening Aruna, mencoba menenangkan. "Jangan khawatir. Aku hanya milik kamu, Aruna. Kalila itu hanya teman, tidak lebih."
Aruna tetap diam dalam pelukan Arza, tidak membalas. Ia tahu Arza mencoba menenangkannya, dan mungkin Arza memang tulus menganggap Kalila hanya teman. Tapi, instingnya sebagai wanita tidak bisa dibohongi. Ia bisa merasakan aura permusuhan dari Kalila, dan itu bukan sekadar ketidak cocokan biasa.
"Aruna, dengarkan aku," Arza melanjutkan, suaranya pelan dan menenangkan. Ia mengusap lembut pipi Aruna. "Aku tahu kamu mungkin merasa terancam, tapi sungguh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku sudah memilihmu, dan itu tidak akan pernah berubah. Jadi, bisakah kamu mencoba untuk sedikit saja bersikap ramah padanya? Demi aku?"
Aruna mendongak, menatap Arza dengan mata yang masih menyiratkan keraguan. Permintaan Arza adalah sebuah dilema baginya. Di satu sisi, ia ingin menuruti suaminya. Di sisi lain, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa Kalila adalah ancaman.
"Bagaimana, Aruna? Mau ya?" Arza mengusap rambut Aruna dengan lembut, tatapan matanya penuh harap. "Aku hanya ingin kita semua bisa hidup berdampingan dengan damai. Aku sangat mencintaimu, Sayang." Arza menciu m bibir Aruna sekilas, mencoba meyakinkan dengan sentuhan romantis.