Mu Yao, seorang prajurit pasukan khusus, mengalami kecelakaan pesawat saat menjalankan misi. Secara tak terduga, ia menjelajah ruang dan waktu. Dari seorang yatim piatu tanpa ayah dan ibu, ia berubah menjadi anak yang disayangi oleh kedua orang tuanya. Ia bahkan memiliki seorang adik laki-laki yang sangat menyayanginya dan selalu mengikutinya ke mana pun pergi.
Mu Yao kecil secara tidak sengaja menyelamatkan seorang anak laki-laki yang terluka parah selama perjalanan berburu. Sejak saat itu, kehidupan barunya yang mendebarkan dan penuh kebahagiaan pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seira A.S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Salju Lotus yang Tiba-Tiba Menghilang
Waktu berjalan cepat, tahu-tahu sudah lewat tiga hari. Selama itu, Mu Yao belum juga ke kota untuk mengambil alat pemanggangnya. Soalnya hari ini bukan hari pasar, dan kalau harus naik gerobak sapi sendirian, biayanya jadi lebih mahal. Lagi pula, memang belum ada keperluan mendesak. Jadi Mu Yao memutuskan untuk berburu lagi sebelum ke kota.
Setelah selesai menyembelih babi kemarin, Mu Cheng langsung berangkat ke kota untuk membantu kerjaan pertukangan. Anak sulung Kepala Desa Sun, yaitu Sun Cai, memang bekerja sebagai tukang kayu di kota. Sehari sebelumnya, dia sudah menitip pesan lewat warga desa yang sedang ke pasar. Katanya, tempat dia kerja butuh tambahan tiga sampai empat tukang kayu untuk menyelesaikan pesanan sebelum Tahun Baru.
Makanya, Mu Cheng pun pergi bersama beberapa warga desa lainnya seperti Zheng Huaishan, Liu Zheng, dan Zhou Baogui. Mereka semua adalah tukang kayu andalan—terampil dan jujur, nggak pernah berbuat curang. Begitu Sun Cai kirim kabar, Kepala Desa langsung terpikir untuk mengajak mereka. Soalnya dalam hidup ini, apa pun pekerjaan kita, yang penting tetap jujur. Kalau nama sudah jelek, nggak ada orang yang mau mempercayai kita lagi.
Hari itu, Mu Yao naik gunung sendirian. Cuacanya cukup hangat, jadi dia memutuskan mendaki lebih jauh, sampai ke pegunungan di belakang desa.
Butuh waktu satu jam lebih sampai akhirnya dia sampai di lereng gunung. Selama perjalanan, dia cuma dapat beberapa ekor ayam hutan. Ukuran ayam hutan memang lebih kecil dari ayam biasa. Dulu di kehidupan sebelumnya, Mu Yao pernah makan ayam hutan paling besar beratnya sekitar tiga kilo. Tapi hari ini, ayam yang dia dapatkan paling kecil saja beratnya kira-kira empat sampai lima kilo! Yang paling besar mungkin sampai enam atau tujuh kilo. Aneh sih, tapi karena udah sering lihat hal aneh sejak reinkarnasi, Mu Yao nggak terlalu terkejut.
Ayam-ayam itu punya jengger merah tebal seperti mau berdarah, paruhnya tajam mirip burung pelatuk. Ekor mereka lebih panjang dari ayam biasa, menggantung ke bawah. Bulu di tubuh mereka berwarna-warni dan berkilau saat terkena pantulan sinar salju. Ayam hutan punya dua lapis bulu: bulu halus dan tebal di dalam, serta bulu luar yang besar dan bertumpuk rapat—angin kencang pun sulit menembusnya. Cakar mereka kuat dan padat, bahkan saking gemuknya, kalau nggak lihat cakarnya, mereka lebih mirip kumparan benang daripada ayam.
Daging ayam hutan lebih kenyal dan enak dibanding ayam kampung. Cocok banget kalau dibakar atau dimasak semur, pasti bikin makan sampai kenyang banget.
Bulu halus ayam hutan juga nggak kalah dengan bulu bebek, bisa dipakai untuk bahan jaket musim dingin. Cuma karena ayam hutan jarang ditemukan, orang jarang memanfaatkannya.
Mu Yao lalu menyusuri tempat-tempat yang sering dilewati ayam-ayam itu, dan ternyata dia menemukan sarang telur ayam hutan! Telurnya memang kecil, tapi gizinya tinggi, satu telur bisa menyamai dua telur ayam kampung. Dia taruh ayam-ayam tadi di dasar keranjang bambu, lalu dilapisi jerami kering yang tebal, dibuatkan sarang sederhana, dan telur-telurnya ditaruh di situ.
Karena hari masih pagi dan ayam-ayam itu nggak terlalu berat, Mu Yao melanjutkan perjalanan naik ke puncak. Setelah berjalan lebih dari sejam, akhirnya dia sampai di atas. Dari sana, dia bisa lihat pemandangan indah perpaduan salju putih dan hutan hijau tua—bagaikan lukisan alami.
Ini pertama kalinya tubuh Mu Yao yang sekarang berhasil mendaki sampai setinggi ini. Di kehidupan sebelumnya, Mu Yao memang hobi mendaki. Setiap sampai di puncak, dia selalu merasa bahagia dan tenang. Kali ini pun begitu. Dia merentangkan tangan, memejamkan mata, merasakan angin gunung yang dingin menyentuh wajah, dan sensasi salju yang langsung meleleh di pipi.
Entah berapa lama waktu berlalu, Mu Yao merasa seolah seluruh pori-pori tubuhnya terbuka. Angin dingin meresap ke dalam, seperti ada sesuatu yang perlahan berkumpul dan menyebar dalam tubuhnya.
Tiba-tiba, dia mencium aroma obat yang menenangkan. Mu Yao membuka mata perlahan. Di sekelilingnya cuma ada pohon cemara pegunungan, batangnya panjang dan beberapa melengkung sampai hampir menyentuh tanah. Daunnya seperti cemara biasa. Biasanya, pohon ini digunakan untuk bahan papan dan kertas, tapi Mu Yao nggak yakin apa di dunia ini kertas dibuat dari bahan yang sama.
Gunung ini sebenarnya nggak terlalu tinggi atau besar. Di ujung pohon cemara, ada tebing batu biru keabu-abuan yang curam setinggi sekitar enam atau tujuh meter, dipenuhi pohon cemara raksasa.
Dari atas tebing, menjuntai beberapa sulur tanaman kering, dan celah-celah batu dipenuhi rumput liar yang sudah mengering dan tertiup angin. Beberapa pohon cemara kecil tampak berusaha tumbuh di tebing curam itu, akar mereka mencengkeram batu. Ada juga akar besar yang mencuat keluar dari batu, menyerupai pegangan tangan di tebing.
Mu Yao berpikir, kalau ini musim panas, rumput sudah tumbuh kembali, pasti tebing ini tertutup hijau dan nggak terlihat jelas bentuknya.
Dia tidak melihat ada yang aneh, tapi bau obat itu terus terasa. Dari mana asalnya, ya? Saat hendak turun, dia sekilas melihat ada warna putih di tebing sebelah kiri atas. Awalnya dia kira cuma salju biasa, tapi kok kayaknya bisa bergerak? Seolah-olah salju itu hidup dan menari di tebing. Rasa penasarannya membuat dia mendekat.
Warna putih itu kira-kira lima meter di atas kepalanya. Mu Yao membawa pisau dan cambuk, jadi nggak terlalu khawatir untuk memanjat. Dia letakkan keranjang bambunya, lalu keluarkan cambuk panjang dari pinggang. Dengan lompatan dan gerakan gesit, dia berhasil mengaitkan cambuk ke dahan pohon kecil di atas. Dengan tangan kanan memegang cambuk dan tangan kiri meraih batu yang menonjol, dia mulai memanjat. Kalau tak ada batu, dia menancapkan pisau ke celah tebing untuk pegangan. Kadang dia juga menggantung di sulur tanaman yang sudah kering—syukurlah dia kurus, jadi sulur-sulur itu nggak langsung patah.
Setelah dua puluh menit, akhirnya dia sampai ke tempat putih itu. Saat itu kaki kirinya berpijak di akar pohon, kaki kanan menjejak batu yang menonjol. Tangan kanannya masih memegang cambuk yang terikat di dahan pohon kecil, dan tangan kirinya baru bisa meraih warna putih itu.
Posisinya agak aneh, sih, tapi ya mau gimana lagi.
Yang aneh, angin sebenarnya bertiup ke arah lain, tapi aroma obat dari benda putih itu langsung masuk ke hidung Mu Yao. Aneh banget.
Dia cium lagi—dan yakin, ini bau Salju Lotus! Dia menyibak salju yang menutupi, dan... ternyata benar! Sebuah bunga salju lotus yang utuh. Bunganya tertutup bulu halus putih tebal, kelopak putih dengan ujung sedikit merah muda, dan putik kuning mengelilingi biji hijau di tengah. Cantik banget!
Salju lotus ini dikenal sebagai raja herbal. Kandungannya penuh protein dan asam amino. Bisa melancarkan peredaran darah, menghangatkan tubuh, mengurangi pembengkakan, dan meningkatkan daya tahan tubuh. Tapi tidak cocok untuk semua orang—ibu hamil dan orang dengan sistem pencernaan lemah harus hati-hati.
Bunga ini langka banget. Proses dari benih sampai berbunga butuh 3–5 tahun. Sama langkanya dengan ginseng dan jamur lingzhi. Makanya, bunga ini termasuk tiga besar herbal penyelamat jiwa.
Bunga ini udah tumbuh tersembunyi di tebing itu selama lima tahun. Kalau bukan karena aroma tubuh Mu Yao menarik perhatiannya, orang biasa pun bisa lewat di depannya tanpa sadar ada bunga di sana.
Mu Yao ingin membawanya pulang, tapi dia nggak bawa wadah yang aman. Kalau dimasukkan ke saku, takutnya nanti hancur. Jadi dia berniat turun dulu dan kembali dengan persiapan.
Tapi baru disentuh sedikit, bunga itu tiba-tiba terlepas dan jatuh ke tangannya! Bahkan terasa seperti menusuk telapak tangannya!
Karena kaget, Mu Yao kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke belakang. Parahnya lagi, cambuk yang dia pegang justru menarik dan mematahkan pohon kecil di atas. Gawat!
Tanpa pikir panjang, dia segera menyelipkan salju lotus ke dalam bajunya. Untungnya, sebagai mantan pasukan khusus, refleks Mu Yao cepat. Sebelum kepalanya membentur batu, dia menepuk batu dengan tangan kiri, memutar badan, dan menendang dinding batu untuk mendorong tubuhnya menjauh. Dengan dua kali salto, dia mendarat mulus di tanah.
Dia nggak terluka, cuma keranjangnya jatuh. Dia buru-buru periksa telur ayam hutan—untungnya, semuanya masih utuh. Beberapa memang berguling ke rumput, tapi nggak pecah.
Mu Yao tepuk dadanya lega, lalu baru ingat soal salju lotus di dalam bajunya. Dia buru-buru merogoh ke dalam... tapi—hah? Kosong?
Apa mungkin jatuh ke bagian bawah baju? Dia cek lagi, hampir saja buka jaket. Nggak ada. Dia raba sampai ke celana. Tetap nggak ada!
Apa jatuh waktu dia jatuh tadi? Dia cari di area sekitar tempat dia mendarat. Semua semak dan salju dia periksa—tapi tetap nihil. Bener-bener seperti menghilang begitu aja.
Setelah satu jam lebih nyari dan kedinginan, Mu Yao akhirnya menggerutu, “Dasar salju lotus sialan! Jelas-jelas tadi udah aku masukin ke baju, kok bisa hilang?! Terbang sendiri, ya?!”
Salju Lotus (kesal): Siapa suruh ninggalin Tuan Kecil sendirian? Hmph!
Mu Yao merasa seperti mendengar suara... tapi dia lihat sekeliling, nggak ada siapa-siapa.
Bayi Salju Lotus (gembira): Wah! Airnya enak banget! Gluk gluk... eh, gawat, aku mabuk! Byur!
Mu Yao kaget. Itu suara anak kecil? Tapi dia udah cek ke mana-mana dan nggak lihat siapa pun. Apa dia halu? Mu Yao menggelengkan kepala, pasrah, lalu berjongkok merapikan telur ayam dan turun gunung.
Saat hampir sampai kaki gunung, dia menemukan dua batang seledri gunung tua yang sudah layu. Seledri gunung ini aromanya lebih kuat dari seledri biasa, dan kalau ditumis pakai cabai, rasanya enak banget. Dia cabut hati-hati bersama akarnya—meski akarnya agak beku, semoga bisa tumbuh kalau ditanam ulang.
Dengan seledri gunung di tangan, rasa kesal Mu Yao perlahan mulai mereda.