NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:432
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengkhianati Pusat, Menjual Tanah Air

Kabut tipis belum mengangkat sepenuhnya dari lembah saat Jing Rui tiba.

Angin musim gugur membawa aroma tanah lembab,

dan rumah-rumah di sisi tebing seperti membungkuk—minta maaf karena terlalu lama tak diperbaiki.

Pasar kecil yang dulu ramai kini sunyi.

Pekat. Hampa.

"Mereka bilang, orang-orang di sini mulai menjual kambing untuk beli gandum,”

bisik seorang pengawal.

Jing Rui tidak menjawab.

Matanya menyapu ladang yang gundul, dan dinding rumah yang retak.

Tapi ia juga melihat:

anak-anak bertelanjang kaki berlarian,

ibu-ibu yang tetap menjemur pakaian,

dan lelaki tua yang menunduk menyapu halaman dari batu kecil.

“Rakyat yang diam... bukan rakyat yang tak tahu.”

“Mereka hanya... kehabisan pilihan.”

Ia turun dari kudanya.

Membiarkan Lian He membawa jubah luar dan menaruhnya di pelana.

Hari itu, ia berjalan tanpa tanda pangkat,

tanpa mahkota logam di pinggir topi.

Hanya pakaian perjalanan, dan wajah yang sedikit kelelahan.

Di antara tenda pengungsi musim dingin,

seorang wanita tua mendongak saat melihatnya lewat.

Tatapannya ragu. Tapi ia mengenali wajah itu.

“...Yang... Mulia...?”

Jing Rui menunduk, tidak menjawab sebagai seorang bangsawan.

Tapi mendekat dan berlutut di depan api kecil yang nyaris padam.

“Apakah kayunya habis?”

“Kita akan kirim lagi besok pagi. Tapi malam ini... aku bisa bantu memasang penghangat sementara dari karung rami.”

Lian He, dari jauh, memutar mata pelan.

“Dan begitulah tuanku.

Selalu mencari kesalahan sendiri... di tempat yang seharusnya ia beri perintah.”

Beberapa penduduk mulai keluar dari rumah dan tenda.

Tidak percaya.

Karena... Pangeran itu... berjongkok di lumpur,

bukan di pelataran penginapan bangsawan.

Seorang anak kecil mendekat, menggigit rotinya setengah kering.

Lalu, tanpa suara, menyodorkan sepotong pada Jing Rui.

Ia tersenyum, menolak lembut. Tapi tangan kecil itu bersikeras.

“Karena tadi kau... bantu nenekku.”

Di tengah tanah lembah yang terluka,

seorang lelaki berdiri bukan karena ditunjuk,

tapi karena dipilih.

Bukan oleh titah,

tapi oleh harapan.

Langit terlihat meremang ungu.

Angin yang tadinya hanya sejuk kini membawa gigil.

Dari samping, seorang pengawal berkuda turun dan mendekat.

Ia menunduk dalam.

“Yang Mulia, hari akan segera gelap.

Kami harus membawa Anda ke kediaman cadangan di sisi utara lembah.”

Jing Rui berdiri dari tempat ia tadi berjongkok membantu mendirikan penghangat karung.

Ia menoleh pelan.

"Di dekat lereng batu itu, bukan?”

“Benar. Bangunan lama yang dibersihkan dan diperbaiki sesuai perintah Kaisar.

Pelayan dan penjaga sudah siap menunggu.

Itu akan menjadi tempat tinggal resmi selama Anda bertugas di sini.”

Jing Rui mengangguk.

Langkahnya pelan menyusuri jalan kecil di antara tenda-tenda rakyat.

Saat mereka keluar dari jalur pemukiman,

pengawal yang lain menunjuk ke arah timur—ke barisan pepohonan yang masih rimbun dan belum dijamah.

“Rencana pembangunan pusat logistik ada di sisi itu, Yang Mulia.

Jalur air mengarah langsung ke utara.

Jika proyek berjalan lancar...”

Jing Rui menyelesaikannya.

“…maka harga barang akan turun.

Pasokan pangan tidak akan terlambat.

Dan lembah ini... akan merasa lebih dekat dengan kerajaan,

bukan hanya sebagai pembayar pajak.”

Ia menatap pohon-pohon jauh itu.

Tak ada cahaya lentera.

Hanya siluet. Hutan lebat yang menunggu dipetakan.

Tapi di matanya... sudah terlihat jalur dagang, pasar kayu, gudang pangan,

dan tawa rakyat.

“Esok... kita akan meninjau sisi tenggara juga,”

katanya pada Lian He.

“Tanahnya curam, tapi subur.

Mungkin bisa dikembangkan untuk pertanian penyangga.”

Lian He berjalan di sampingnya, mengangkat alis.

“Bukankah proyek utama adalah pusat logistik, Tuanku?”

Jing Rui mengangguk.

“Benar. Itu perintah Ayahanda.

Dan itu yang akan kutuntaskan dulu.

Tapi... pemimpin tidak boleh hanya melihat hari ini.”

“Jika ada peluang mengubah tempat ini jadi bukan hanya penyangga,

tapi penyumbang kekuatan baru bagi negeri…

aku tak akan melewatkannya.”

---

Kediaman cadangan wilayah utara tidak besar.

Tapi cukup untuk disebut rumah pejabat tinggi—

dengan halaman batu, gudang kecil, dan tiga kamar tertutup.

Malam mulai turun. Api unggun dinyalakan di sisi dapur luar.

Tapi Jing Rui tidak masuk ke ruang utama.

Ia melangkah ke ruangan samping yang tertutup tirai abu-abu.

Di sana, enam orang telah menunggu. Diam. Tanpa suara salam.

Lian He menutup pintu rapat, lalu berdiri di sisi pintu sambil berjaga.

Jing Rui menatap satu per satu. Wajah-wajah biasa.

Tapi tidak ada satu pun yang berasal dari sini.

Mereka... bukan rakyat lembah.

Mereka orangnya.

"Terima kasih telah datang tanpa jejak,” katanya lirih.

Mereka menunduk.

Yang tertua, seorang pria dengan wajah penuh bintik matahari, mengangguk.

"Kami datang sebagai yang tidak dikenal.

Dan akan pulang tanpa tanda. Apapun untuk Yang Mulia Pangeran Keempat yang bijaksana, kami akan mengabdi bagi negara ini!" tekadnya dan mulai berlutut.

Jing Rui berjalan mendekat, membantunya berdiri dengan senyuman puas, dan menunjuk satu peta kecil.

Ia melingkari beberapa area: pasar belakang, sumur timur, tenda dapur warga, dan titik pos pertanian.

“Tempat-tempat ini... tempat berkumpul.

Dan tempat kata-kata menyebar.

Jika ada suara tentang perubahan, tentang ‘negara gu kecil’, tentang musuh, ataupun hasutan perpecahan...

aku ingin tahu sebelum matahari naik besok lusa. Selain itu, cari dalangnya, siapa yang menyuruh mereka,"

“Tapi... bukan hanya itu.”

Ia menatap mereka lebih dalam.

“Jika ada yang membantu rakyat dengan makanan, dengan bantuan...

tapi bukan dari kita—aku ingin tahu juga.

Karena bukan semua yang memberi... berniat menolong.”

Salah satu dari mereka bertanya pelan:

“Batasnya, Yang Mulia?”

Jing Rui menjawab tanpa ragu.

"Jangan menyakiti.

Jangan menuduh. Hanya gali informasi dan bersikap netral.

Beritahu aku informasi yang berguna.

Karena jika tanah ini berdiri bersama Dinasti Rong kita...

aku tidak akan membiarkan ia diracuni dari akar.”

Perintah selesai.

Mereka semua bangkit—lalu lenyap lewat jalan belakang.

Tak akan dikenali esok pagi.

Karena mereka... akan jadi bayangan di pasar,

penolong di ladang,

dan mata di tengah senyum.

---

Gudang penyimpanan itu makin terasa sesak, meski jendelanya terbuka lebar.

Bukan karena udara... tapi karena isi pembicaraan.

Kepala Pasar meletakkan surat dari Negeri Gu Kecil, dari orang Kaisar Hui Hui di atas meja kasar.

Segel merahnya tampak retak—tanda sudah dibaca berkali-kali.

“Mereka janjikan lebih dari cukup.

Koin emas dua keranjang per kepala wilayah.

Perdagangan hasil bumi langsung—tanpa pajak ke kerajaan pusat.

Dan pengakuan gelar lokal untuk siapa pun yang membantu.”

Mata lelaki tua itu mengerling ke tiga lainnya.

“Kita akan punya lebih banyak dari sebelumnya.

Dan tak perlu terus membungkuk, bahkan di depan kasim utusan kekaisaran sekalipun.”

Kepala desa bersandar. Bibirnya miring.

“Tapi itu... artinya menyerahkan lembah ini.”

“Dan rakyatnya?”

tanya si pemuda kurus di sudut, satu-satunya yang tampak masih ragu.

Kepala Pajak tertawa ringan.

"Rakyat tidak tahu. Mereka hanya tahu harga gandum dan kayu yang melonjak dan kemiskinan yang masih merajalela di pemerintahan pusat, mereka menelantarkan kami.

Kalau Hui Hui bantu mereka makan saja, apa lagi bantu ekonomi logistik, mereka akan bersorak.

Mereka tak akan peduli lambang siapa yang tergantung di atas gerbang desa.”

"Tapi begitu kekuasaan berpindah...?”

“Ya.”

Nada suara itu menjadi dingin.

"Kaisar Hui Hui akan mulai mengatur sendiri.

Semua kembali ke keadaan semula. Tak lagi ada bantuan makan dan pakaian hangat seperti hari ini.

Tanah akan diklaim, dan rakyat—kalau tidak patuh—akan dipaksa kerja.

Tapi semua... akan tampak seperti ‘penyesuaian normal’.

Dan siapa yang akan menyadari?

Mereka pikir kita pahlawan...

padahal kita pedagang. Tanah ini... hanya barang dagangan.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!