Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara
"Si Zahra udah pergi belum?" bisik Dewa menatap mata Karmina.
Karmina terperangah, kemudian mengintip dari balik badan Dewa. Tampak Zahra masih berdiri cukup jauh di belakang sang ketos dengan muka ditekuk. Karmina mengembuskan napas pelan, sembari memandang Dewa lagi.
"Belum, Wa," ucap Karmina.
"Aduh! Gimana kalau dia nyamperin ke sini?" desis Dewa tampak panik.
"Emang maksud lo mau ngapain ngajak-ngajak gue ke sini segala? Lo mau bikin si Zahra nggak ngejar-ngejar lo lagi?" tanya Karmina mengerutkan dahi.
"Nah, itu lo tau. Lo lihat sendiri,kan, kelakuan nyokapnya kayak gimana ke gue? Gue udah males berurusan sama keluarga si Zahra," tutur Dewa.
Mendengar ucapan Dewa, Karmina tertegun.
"Cepetan bantuin gue! Bikin si Zahra kapok buat nyamperin gue lagi. Tangan gue pegel nih," desak Dewa bersungut-sungut.
"Emang maksud lo beginian tuh apaan? Mau cipokan sama gue?" tanya Karmina membelalakkan mata.
"Pura-pura doang!" tegas Dewa.
"Pura-pura doang?" Karmina memicingkan mata.
"Iya!" bisik Dewa memelototi Karmina dengan geram.
Sekali lagi, Karmina mengintip ke balik badan Dewa. Terlihat Zahra sedang berjalan mendekat ke arah mereka dengan tergesa-gesa.
Ditatapnya lagi Dewa yang sudah tak sabar untuk berpura-pura, kemudian melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher lelaki itu. Keduanya saling tatap untuk sejenak, merasakan canggung yang kian merasuk ke dalam dada mereka.
Dalam hening, terngiang di telinga Karmina tentang sorakan Jordi untuk berciuman sewaktu di rumah Dewa. Alih-alih merasa terusik dengan kilas masa lalu itu, jantung Karmina berdebar sangat kencang, menatap sorot mata Dewa yang tajam bagaikan elang. Apa gue udah mulai suka sama si ketos, ya? Ah, nggak mungkin, bisik batinnya.
Sementara itu, Zahra seketika terdiam. Perasaan obsesi yang menggebu-gebu dalam kalbu, seakan luluh lantak tatkala menyaksikan kemesraan sang lelaki pujaan dengan perempuan yang dibencinya. Pada akhirnya, gadis berambut panjang itu berbalik badan, membawa selaksa pedih yang menusuk-nusuk batinnya.
Adapun Karmina, mengintip lagi ke balik pundak Dewa. Dilihatnya Zahra yang sudah pergi menjauh dari area belakang sekolah, sambil sesekali berlari kecil. Gadis itu segera melepaskan kedua tangannya dari leher Dewa, lalu tertunduk malu.
"Udah pergi?" tanya Dewa, menatap Karmina.
Karmina mengangguk.
"Syukurlah." Dewa melepaskan kedua tangannya dari tembok belakang Karmina. Ia bisa bernapas lega setelah menoleh dan memastikan Zahra telah pergi.
"Lagian lu tuh aneh, ya. Kalau nggak suka sama si Zahra, cari cewek lain yang lebih kerenan, kek. Kalau perlu, pacaran aja sekalian. Bukan malah ngajak-ngajak gue!" cerocos Karmina mendengkus sebal.
"Gue nggak mau pacaran," jawab Dewa.
"Apa?! Tapi, kenapa?" Karmina terheran-heran. Kedua alisnya saling bertaut.
"Lo tau sendiri, kan, gue punya ambisi khusus buat menghukum orang-orang yang udah ngebunuh bokap gue? Selama orang-orang itu masih hidup enak, gue bakal terus berusaha buat nggak terdistraksi sama hal-hal lain," tutur Dewa memandang jauh dengan sorot mata tajam.
"Tapi lo berhak menikmati hidup, Wa. Masa remaja nggak bakal keulang lagi," sanggah Karmina.
"Iya, gue tau. Dan, gue bakal menghabiskan masa remaja gue buat menghukum para bajingan itu satu per satu," tegas Dewa, memegang buku agenda di tangan kanannya lebih erat.
"Jadi ... lo yakin, nggak bakal pacaran?" tanya Karmina sambil melipat kedua tangan dan memandang Dewa sambil mengangkat sebelah alisnya.
Dewa menoleh pada Karmina seraya berkata, "Kenapa, sih, lo nanya-nanya kayak gitu mulu dari tadi? Lo berharap kita pacaran, gitu?"
Karmina segera membuang muka sambil menggaruk belakang kepalanya. "E-Enggak, kok. Siapa juga yang mau pacaran sama lo?"
"Sebaiknya begitu. Selama orang-orang yang udah ngebunuh bokap gue belum kena karma, gue bakal berusaha tetap hidup, gimanapun caranya. Itulah kenapa gue nggak ngerokok, mabok-mabokan, balapan liar, tawuran, bahkan pacaran kayak kebanyakan cowok remaja. Gue nggak mau ngelakuin perbuatan sia-sia yang bisa bikin tekad dan fisik gue melemah," tutur Dewa, kemudian melangkah meninggalkan Karmina.
"Kalau gitu, izinin gue buat bantuin lo menghukum para pelaku yang udah ngebunuh bokap lo," ujar Karmina mengikuti Dewa.
Seketika, Dewa menghentikan langkahnya dan berhadapan dengan Karmina. "Lo mau bantuin gue dengan cara apa, ha? Badan lo kecil, fisik lo lemah, bahkan lo itu lugu dan naif. Yang ada lo nyusahin gue gara-gara gampang dibodohin sama musuh," cerocosnya.
Merasa direndahkan, Karmina mengangkat wajahnya dan memandang tajam kedua mata Dewa. "Lo pikir gue selemah itu, apa? Iya, gue akuin, gue ini naif. Tapi bukan berarti gue nerima gitu aja semua hinaan lo! Kalau aja bokap nyokap lo nggak ngasih amanat ke gue buat ngelindungin lo, gue males buat kenal sama lo," balas Karmina geram.
Dengan tergesa-gesa, Karmina berjalan lebih dulu meninggalkan Dewa. Sesekali gadis berambut pendek itu menyeka air mata yang mulai menetes ke pipinya. Ucapan Dewa benar-benar sangat menusuk, hingga meninggalkan luka begitu dalam di hati Karmina.
Sementara itu, Dewa berjalan dengan santai menuju ruang OSIS. Baru kali ini lelaki itu merasakan penyesalan begitu besar mengusik ketenangan hatinya. Harusnya gue nggak usah ngomong gitu sama si Mina, batinnya.
***
Setelah jam pelajaran terakhir selesai, Karmina buru-buru membereskan semua buku dan alat tulis ke dalam tasnya. Ia sudah tahu konsekuensinya dalam melindungi Dewa dari obsesi Zahra. Putri Sahar Muzakir itu tak akan tinggal diam dalam melampiaskan rasa cemburunya.
Saat bel tanda pulang berbunyi, secepatnya Karmina keluar kelas lebih dulu. Untuk sesaat, ia menoleh ke belakang, memastikan Zahra tak mengikutinya. Sungguh, hati Karmina tak karuan setelah memantik api cemburu di dada Zahra.
Sementara itu, Zahra mencari-cari Karmina yang sudah keluar kelas lebih dulu. Kecemburuan pada Karmina masih belum padam membakar hatinya. Ia benar-benar tak sabar ingin menghabisi harga diri teman sekelasnya itu.
Cukup jauh Zahra mencari Karmina, hingga akhirnya menemukan gadis yang dicarinya berada di gerbang sekolah. Tanpa banyak berpikir, Zahra berlari menuju tempat Karmina berdiri. Namun, dengan seketika, langkahnya terhenti tatkala mendapati seorang wanita berhijab keluar dari mobil sedan hitam berhenti di depan sekolah.
"Dokter Yuniza?!" gumam Zahra mengernyitkan kening.
Di depan sekolah, Yuniza tampak tersenyum menghampiri Karmina. Raut semringah terpancar jelas dari wajahnya yang ayu dan karismatik.
"Eh? Bu Yuniza, ya? Ada apa Ibu kemari?" tanya Karmina dengan mata membulat.
"Saya sengaja mau ketemu kamu. Kamu ada acara nggak hari ini?" Yuniza memandang Karmina dengan sorot mata berbinar-binar.
"Nggak ada, Bu," jawab Karmina singkat.
"Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa ikut saya sebentar, nggak? Ada hal penting yang perlu saya bicarakan sama kamu," ucap Yuniza memandang Karmina dengan sungkan.
"Ada hal penting apa, ya, Bu? Apa ini soal Pak Andika?"
"Salah satunya itu. Saya perlu bicara empat mata saja sama kamu di tempat yang lebih nyaman. Kamu bisa, kan?"
Karmina mengulas senyum seraya mengangguk. Yuniza tersenyum lebar, kemudian merangkul Karmina sampai ke mobilnya. Keduanya tampak akrab, seperti tante dan keponakan.
Di halaman sekolah, Zahra masih tertegun memandang Karmina dan Yuniza. Ia benar-benar heran melihat kebersamaan di antara keduanya. Bahkan, saat mobil Yuniza melaju meninggalkan sekolah, gadis berambut panjang itu masih diam mematung memikirkan awal perkenalan gadis paling payah di sekolah dengan seorang dokter forensik yang pernah mengautopsi mendiang sang ayah.
***
Setibanya di kafe, Yuniza langsung memesan dua jus stroberi untuknya dan Karmina. Suasana kafe yang tak begitu ramai, membuatnya bisa leluasa mengobrol dengan gadis SMA itu.
"Karmina, terimakasih, ya, sudah membantu saya memecahkan kasus kematian suami saya. Kalau saya nggak ketemu kamu, mungkin sampai sekarang atasan suami saya masih bebas berkeliaran menggelapkan uang," ucap Yuniza sambil duduk berhadapan dengan Karmina.
"Sama-sama, Bu. Saya juga berterimakasih banyak sama Ibu karena sudah percaya sama saya," balas Karmina sambil tersipu-sipu. "Sangat sedikit orang yang percaya dengan semua yang saya prediksi, termasuk tim penyidik."
"Maksud kamu Pak Farhan?" tanya Yuniza.
"Jadi, orang yang nanyain Ibu itu namanya Pak Farhan?" Karmina balik bertanya sembari membuka matanya lebar-lebar.
"Iya, namanya Farhan Akbar. Katanya kamu udah dua kali ketemu sama dia. Atas kasus apa aja?"
"Yang pertama, kasus kematian ibu teman saya. Yang kedua, kasus kematian teman saya. Apa Pak Farhan sempat ngobrolin tentang saya, Bu?"
Yuniza mengangguk. "Ya, katanya kamu ini selalu merasa paling benar menjadi saksi," ungkapnya sambil mengulas senyum.
"Saya bukannya merasa paling benar, Bu. Saya cuma nggak mau aja ngebiarin pelaku sebenarnya bisa bebas gitu aja," tegas Karmina.
Yuniza mengusap punggung tangan Karmina seraya berkata, "Saya percaya sama kamu, kok. Nggak usah terlalu mikirin asumsi Pak Farhan. Emang susah kalau ngobrol sama orang yang mengagungkan logika."
Di tengah-tengah obrolan mereka, seorang pelayan datang membawa dua gelas jus stroberi. Yuniza mempersilakan Karmina meminumnya terlebih dahulu. Gadis berambut pendek itu dengan sungkan menyeruput jus itu, lalu tertegun. Belum pernah ia merasakan jus yang begitu segar tatkala dicecap oleh lidah.
"Ada apa, Karmina?" tanya Yuniza mengerutkan dahi.
"Saya baru kali ini minum jus seenak ini, Bu. Terimakasih sudah ngajak saya ke sini. Maaf jadi ngerepotin Ibu," ucap Karmina dengan sungkan.
"Nggak perlu sungkan. Jasa kamu membantu saya mengungkap kematian Pak Andika justru lebih besar dari rasa jus itu. Anggap saja, ini rasa terimakasih saya sama kamu," ujar Yuniza, kemudian menyeruput jus stroberi miliknya.
Karmina tersenyum malu, mendengar ucapan wanita berhijab itu.
"Oya, Karmina. Sejak kapan kamu bisa memprediksikan kematian seseorang? Apa kamu bisa melihat hantu juga?" tanya Yuniza penasaran.
"Sejak kecil saya biasa tahu lebih dulu soal kematian seseorang. Entah orang itu sakit dulu atau kecelakaan. Kalau lihat hantu mah jarang, sih," tutur Karmina.
"Hm." Yuniza mengangguk takzim. "Kalau melihat kilas balik seseorang, apa kamu bisa juga?"
Untuk sejenak, Karmina terdiam mengingat-ingat lagi kemampuannya membaca sebuah kejadian. Cukup lama ia berpikir, hingga akhirnya teringat pada Dewa. Sejak menyentuh tangan sang ketos, ia jadi mengetahui kilas balik sebuah tragedi menyakitkan tentang lelaki itu.
"Kayaknya bisa, Bu," kata Karmina.
"Baiklah. Berarti kamu bisa bantuin saya dong," cetus Yuniza.