NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: Nama Kiran

#

Tiga hari berlalu seperti kabut—ada, tapi tidak terasa nyata.

Larasati menjalani rutinitas seperti robot yang diprogram: bangun pagi, siapkan sarapan, antar Abimanyu ke sekolah, pulang ke rumah kosong, tunggu Gavin yang hampir tidak pernah pulang tepat waktu. Dia tersenyum saat harus tersenyum, bicara saat harus bicara, tapi seluruh dirinya terasa mati rasa, seperti anestesi lokal yang menyebar ke seluruh tubuh.

Gavin tidak menyadari apapun. Atau dia pura-pura tidak sadar—Larasati sudah tidak tahu lagi mana yang lebih buruk.

Pagi ini, Kamis, Gavin berangkat lebih pagi dari biasanya. "Ada presentasi penting sama investor," katanya sambil merapikan dasi di depan cermin. Larasati berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan gerakan tangannya yang terampil—gerakan yang dulu dia bantu, dulu dia sentuh dengan penuh cinta.

"Good luck," kata Larasati datar.

Gavin berhenti sejenak, menatapnya lewat pantulan cermin. Ada sesuatu di matanya—rasa bersalah? Atau hanya imajinasi Larasati? "Thanks. Lo... lo okay, Lara?"

Pertanyaan itu seharusnya membuat Larasati lega—bukti bahwa Gavin masih peduli, masih memperhatikan. Tapi yang dia rasakan justru amarah yang membara. _Sekarang_ kamu tanya? Setelah tiga hari aku hancur di depan matamu dan kamu tidak lihat?

"Aku baik," jawab Larasati dengan senyum yang tidak sampai ke mata.

Gavin mengangguk, lalu pergi. Bunyi mobilnya menghilang di kejauhan.

Larasati berdiri diam di koridor, mendengar dengung AC dan detak jam dinding. Lalu dia berbalik, berjalan ke ruang kerja Gavin di lantai dua.

Ruangan itu jarang dia masuki—Gavin bilang itu "sacred space" untuk pekerjaan. Tapi hari ini, Larasati tidak peduli dengan batas-batas itu. Dia sudah melewati terlalu banyak batas yang dilanggar.

Laptop Gavin tergeletak di meja—dia lupa membawanya karena terburu-buru. Larasati menatap benda persegi panjang berwarna silver itu seperti menatap peti Pandora. Jika dia buka, tidak ada jalan kembali. Apapun yang dia temukan di sana akan mengubah segalanya.

Tapi apakah tidak tahu itu lebih baik?

Tidak. Dia harus tahu. Ketidaktahuan justru membunuhnya perlahan.

Larasati duduk di kursi kerja Gavin, membuka laptop. Layar login muncul—butuh password.

Jemarinya melayang di atas keyboard. Dia coba tanggal lahir Gavin. Salah. Tanggal pernikahan mereka. Salah. Nama Abimanyu. Salah.

Frustrasi mulai merangkak. Tiga kali salah dan laptop akan terkunci. Satu kesempatan lagi.

Larasati menutup mata, mencoba berpikir. Apa yang penting bagi Gavin? Apa yang...

Dia ketik nama ayah Gavin yang sudah meninggal: Saka1970.

Layar terbuka.

Napas Larasati tertahan. Tangannya berkeringat dingin. Dia masuk.

Desktop laptop penuh dengan folder pekerjaan—proposal, laporan keuangan, presentasi. Tapi Larasati tidak tertarik pada itu. Dia buka email Gavin.

Kotak masuk penuh dengan email bisnis. Tapi saat dia ketik "Kiran" di search bar, dunianya berhenti.

Puluhan email muncul. Ratusan, mungkin.

Email pertama dari enam bulan lalu—formal, tentang laporan marketing. Lalu perlahan berubah. Dua bulan lalu, emailnya mulai berbeda: "Dinner malam ini?" "Aku kangen." "Tadi siang indah sekali."

Larasati scroll dengan tangan gemetar. Emailnya semakin intim, semakin mesra, semakin... semakin seperti email sepasang kekasih.

Dia klik satu email dari tiga minggu lalu. Subjeknya: "About us."

Isinya membuat Larasati merasa seperti ditusuk ribuan jarum sekaligus:

_"Gavin,_

_Aku tahu ini sulit. Aku tahu kamu punya keluarga, punya tanggung jawab. Tapi aku tidak bisa pura-pura bahwa yang kita punya ini tidak nyata. Setiap detik bersamamu terasa seperti pulang. Kamu membuatku merasa hidup dengan cara yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya._

_Aku tahu aku egois. Tapi aku tidak minta kamu langsung meninggalkan semuanya. Aku hanya minta... waktu. Waktu untuk kita. Waktu untuk memikirkan masa depan yang mungkin kita punya._

_Aku mencintaimu. Bukan karena posisimu, bukan karena apa yang bisa kamu berikan. Tapi karena kamu. Pria yang tersenyum padaku seolah aku satu-satunya perempuan di dunia. Pria yang membuatku percaya pada cinta lagi._

_Tunggu aku malam ini? Tempat biasa._

_Yours,_

_K"_

Larasati menatap layar sampai huruf-huruf itu kabur. Dadanya terasa seperti diremas, diperas, dikosongkan. Dia baca ulang email itu—setiap kata seperti cambuk.

_Pria yang tersenyum padaku seolah aku satu-satunya perempuan di dunia._

Itu seharusnya untuknya. Senyum itu seharusnya untuknya.

Larasati scroll lebih jauh, menemukan balasan Gavin:

_"Kiran,_

_Aku tahu ini rumit. Lebih dari rumit. Tapi kamu benar—apa yang kita punya ini nyata. Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa yang aku rasakan padamu hanya... kesalahan atau fase. Ini lebih dari itu._

_Larasati adalah istri yang baik. Ibu yang baik. Tapi kita tumbuh menjauh. Pernikahan kami sudah lama terasa seperti kewajiban, bukan cinta. Aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi sekarang rasanya kami hanya dua orang asing yang berbagi nama keluarga._

_Bersamamu berbeda. Kamu membuatku merasa... muda. Bebas. Seperti aku bisa jadi diriku sendiri tanpa ekspektasi, tanpa beban._

_Aku tidak janji apa-apa sekarang. Tapi aku janji akan memikirkan ini serius. Tentang kita. Tentang masa depan._

_Aku cinta kamu, bukan dia._

_G"_

Kalimat terakhir itu membunuh sesuatu di dalam Larasati.

_Aku cinta kamu, bukan dia._

Larasati adalah "dia" sekarang. Bukan lagi "Lara," bukan lagi "istriku," bukan lagi nama. Hanya "dia"—kata ganti orang ketiga yang asing dan jauh.

Tangannya bergerak sendiri, membuka folder attachment di email-email itu. Foto-foto muncul—foto Gavin dan Kiran di restoran, di pantai, di kamar hotel yang tidak dia kenal. Mereka tertawa, berpelukan, berciuman.

Ada satu foto yang membuat Larasati berhenti bernapas: Gavin dan Kiran di ranjang hotel, selimut menutupi tubuh mereka, tapi tidak menutupi keintiman. Gavin tersenyum—senyum yang belum Larasati lihat bertahun-tahun. Senyum bahagia. Senyum jatuh cinta.

Larasati menutup laptop dengan tangan gemetar. Tapi kepalanya masih penuh dengan gambar-gambar itu, kata-kata itu, pengkhianatan itu.

Dia berdiri dari kursi, tapi kakinya tidak kuat. Dia jatuh berlutut di lantai ruang kerja Gavin, tangannya mencengkeram karpet.

Kali ini dia tidak menangis. Tidak ada air mata. Hanya rasa sakit yang begitu dalam sampai melewati air mata, melewati tangis, langsung ke tempat paling dalam di jiwanya yang mulai retak dan hancur.

Dia memberi Gavin segalanya. Karirnya sebagai fashion designer yang sedang naik—dia tinggalkan saat Gavin minta dia fokus ke keluarga. Impiannya punya butik sendiri—dia kubur saat Abimanyu lahir dan Gavin bilang anak butuh ibu penuh waktu. Identitasnya, harga dirinya, seluruh hidupnya—dia korbankan untuk jadi istri sempurna, ibu sempurna, untuk membuat rumah ini jadi surga bagi Gavin.

Dan Gavin membalas semua itu dengan perempuan lain.

Dengan Kiran.

Larasati akhirnya ingat wajah itu—wanita muda di foto Instagram Gavin. Wanita yang berdiri terlalu dekat di acara gala kantor. Dia pernah bertemu Kiran, setahun lalu di acara ulang tahun perusahaan.

"Ini Kiran Anindita, marketing manager baru kami," kata Gavin waktu itu, memperkenalkan mereka. "Kiran, ini istriku, Larasati."

Kiran tersenyum manis, terlalu manis. "Senang bertemu Anda, Mrs. Narendra. Gavin sering cerita tentang Anda."

Kebohongan. Semua kebohongan.

Larasati bangkit dengan kaki yang masih gemetar. Dia berjalan ke kamar mandi di lantai bawah, membuka keran wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin sampai kulitnya mati rasa.

Dia menatap pantulannya di cermin—wanita dengan mata kosong, bibir pucat, wajah yang kehilangan cahaya.

"Kamu harus kuat," bisiknya pada bayangan itu. Tapi suaranya pecah di tengah kalimat.

Untuk apa kuat? Untuk siapa?

Ponselnya berbunyi. Pesan dari Gavin: "Presentasi sukses! Makan siang sama client. Pulang sore. Love you."

_Love you._

Kata-kata itu terasa seperti lelucon kejam.

Larasati tidak membalas. Dia hanya menatap pesan itu sampai layar ponsel mati.

---

Sore itu, Larasati menjemput Abimanyu dari sekolah seperti biasa. Anaknya berlari ke arahnya dengan senyum lebar, tas ransel memantul di punggungnya.

"Mama! Tadi aku dapat nilai seratus untuk ulangan matematika!" seru Abimanyu, memeluk pinggangnya.

Larasati memaksakan senyum, mengusap rambut anaknya. "Pinter banget, sayang. Mama bangga."

Di mobil, Abimanyu bercerita tentang harinya—tentang teman-temannya, tentang gurunya, tentang permainan saat istirahat. Larasati mengangguk, tersenyum di tempat yang tepat, tertawa saat harus tertawa. Tapi hatinya tidak di sana. Hatinya masih di ruang kerja Gavin, membaca email-email itu, melihat foto-foto itu.

"Mama, Papa pulang malam lagi ya?" tanya Abimanyu tiba-tiba, suaranya kecil.

Larasati melirik anaknya lewat kaca spion. "Iya, sayang. Papa kerja keras untuk kita."

Kebohongan lain yang dia tambahkan ke tumpukan kebohongan.

"Aku kangen Papa," bisik Abimanyu. "Dia jarang main sama aku sekarang."

Sesuatu di dada Larasati mencengkeram. Anaknya kehilangan ayahnya—bukan karena Gavin pergi, tapi karena Gavin memilih pergi. Memilih pergi ke pelukan perempuan lain daripada pulang ke anaknya sendiri.

"Nanti kita ajak Papa main, ya? Mama janji," kata Larasati, meski dia tidak tahu apakah janji itu bisa dia tepati.

Malam itu, setelah Abimanyu tidur, Larasati duduk sendirian di ruang keluarga. Lampu redup, hanya TV yang menyala tanpa suara.

Gavin pulang jam sepuluh—lebih cepat dari biasanya. Dia masuk dengan tas kerja dan senyum lelah.

"Lara? Masih bangun?"

Larasati menatapnya. Pria ini—pria yang pernah dia cintai lebih dari apapun, pria yang pernah bilang dia adalah segalanya—sekarang terasa seperti orang asing. Orang asing yang tidur di ranjang yang sama, berbagi rumah yang sama, tapi hidup di dunia yang berbeda.

"Aku tunggu kamu," kata Larasati pelan.

Gavin duduk di sofa seberang, bukan di sebelahnya. Jarak kecil itu terasa seperti jurang.

"Presentasi tadi lancar banget. Investor setuju untuk ekspansi ke Surabaya. Ini big deal, Lara. Perusahaan bisa berkembang dua kali lipat." Gavin bicara dengan semangat, matanya bersinar—semangat yang tidak pernah dia tunjukkan lagi saat bicara tentang mereka, tentang keluarga ini.

"Bagus," kata Larasati. "Aku senang untukmu."

Gavin menatapnya, dahi berkerut. "Lo... lo kedengarannya aneh. Ada apa?"

_Ada apa?_ Pertanyaan itu hampir membuat Larasati tertawa histeris. _Ada apa?_ Suamimu selingkuh. Suamimu cinta perempuan lain. Suamimu menghancurkan pernikahan ini. Itu yang ada.

Tapi Larasati tidak bilang itu. Belum.

"Tidak ada," jawabnya dengan senyum tipis. "Hanya capek."

Gavin mengangguk, tampak lega dengan jawaban itu. "Gue juga capek. Mau tidur?"

Mereka naik ke kamar bersama, tapi terpisah—Gavin di satu sisi ranjang, Larasati di sisi lain. Tidak ada sentuhan, tidak ada kata-kata, tidak ada kehangatan. Hanya dua tubuh yang berbagi tempat tidur karena kebiasaan, bukan karena cinta.

Larasati berbaring terjaga, menatap langit-langit. Di sebelahnya, Gavin sudah tertidur—napasnya teratur, wajahnya tenang. Tenang karena tidak ada beban. Tidak ada rasa bersalah yang cukup kuat untuk membuatnya terjaga.

Tapi Larasati terjaga. Pikirannya berputar, merencanakan, memutuskan.

Dia tidak akan konfrontasi Gavin sekarang. Tidak akan menangis, tidak akan menuntut penjelasan, tidak akan mengemis untuk dipertahankan. Itu yang perempuan lemah lakukan.

Larasati akan melakukan sesuatu yang berbeda.

Dia akan mengumpulkan bukti. Setiap email, setiap foto, setiap pesan. Dia akan dokumentasikan semuanya. Lalu, saat waktunya tepat, dia akan membuat Gavin menghadapi konsekuensi dari pilihannya.

Dan Kiran—perempuan yang berani merusak rumah tangga orang, yang berani mengambil yang bukan miliknya—dia juga akan belajar bahwa ada harga untuk membahayakan perempuan lain.

Larasati bukan lagi istri yang naif dan percaya. Dia sekarang perempuan yang dikhianati, yang terluka, yang marah.

Dan kemarahan itu—kemarahan yang dingin dan terkendali—akan menjadi senjatanya.

Jam menunjuk pukul dua pagi. Larasati akhirnya bangkit perlahan, berjalan ke ruang kerja Gavin. Dia buka laptop lagi, kali ini dengan tujuan jelas.

Dia copy semua email antara Gavin dan Kiran ke flash drive. Dia screenshot semua foto. Dia save semua bukti percakapan mereka.

Proses itu memakan waktu satu jam. Setiap foto, setiap kata, setiap bukti pengkhianatan tersimpan rapi dalam folder digital yang dia beri nama: "Kebenaran."

Saat selesai, Larasati menutup laptop, menyimpan flash drive di dalam tas tersembunyinya—tas yang Gavin tidak pernah tahu ada.

Dia kembali ke kamar, berbaring di ranjah. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di dadanya. Bukan hanya sakit. Bukan hanya kehancuran.

Ada tekad.

Tekad untuk tidak menjadi korban.

Tekad untuk melawan.

Tekad untuk membuat siapapun yang menghancurkan hidupnya merasakan apa yang dia rasakan.

Larasati menutup mata, dan untuk pertama kali dalam tiga hari ini, dia tidur—tidur dengan mimpi tentang pembalasan, tentang keadilan, tentang hari di mana Gavin dan Kiran akan menyesali apa yang mereka lakukan.

Dan dia akan memastikan hari itu datang.

---

**Bersambung ke Bab 4**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!