Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERTEMUAN
Barra duduk di salah satu kafe favoritnya dan Nadea di sudut kota, letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Ia menunggu Nadea, selain memang mereka ada janji temu, ia juga ingin memastikan sesuatu yang sejak semalam terus terngiang-ngiang di pikirannya. Nama Ardya Pranata Kusuma, suami Nadea sekaligus sponsor utama proyek amal Btari, kini menjadi pusat rasa penasaran Barra.
Nadea datang dengan langkah anggun seperti biasanya, menyapanya dengan senyum ramah yang Barra kenal dan tidak lupa memeluk Barra dengan erat. Mereka saling melepas rindu, bicara untuk masa depan mereka. Namun, saat pembicaraan mulai beralih ke Ardya, ia bisa melihat kilatan keterkejutan di mata Nadea meskipun wanita itu dengan cepat mencoba menyembunyikannya.
Barra menatap Alina dengan serius, “Aku baru tahu kalau Ardya terlibat dalam proyek amal yang sedang dikerjakan Btari. Apa kamu tahu soal itu?”
Nadea ang baru saja meletakkan cangkir minumannya terdiam sejenak. Ia memaksa sebuah senyum tipis sambil memikirkan jawaban yang tepat.
Nadea berusaha tenang, “Oh, iya? Aku nggak terlalu tahu detailnya. Ardya jarang cerita soal hal seperti itu ke aku.”
Jawaban Nadea itu membuat Barra kurang puas. “Tapi bukankah Ardya nggak pernah tertarik dengan kegiatan seperti itu? Kenapa tiba-tiba dia jadi terlibat hingga menjadi sponsor utama disitu?”
Nadea tampak tertegun. Ia tidak menyangka Barra akan bertanya sejauh ini. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk memanipulasi situasi.
"Kamu dengar apa dari Btari?" Tanya Nadea dengan wajah santai. Walaupun seperti itu, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Btari tidak mengatakan apapun. Ia hanya mengatakan kalau Ardya begitu antusias dengan acara ini. Dari beberapa rekannya, Btari juga mengetahui bahwa Ardya memang sering kegiatan seperti itu "
Alina tertawa kecil, terkesan meremehkan, “Itu cuma untuk pencitraan, Barra. Ardya selalu seperti itu. Dia akan melakukan apapun untuk menutupi sifat aslinya. Kamu tahu kan, dia bukan orang yang sebaik kelihatannya.”
Barra memiringkan kepala, tatapannya penuh tanda tanya, “Pencitraan? Jadi kamu pikir dia terlibat di proyek ini cuma untuk itu?”
Nadea mengangguk mantap, suaranya sedikit tegas “Aku yakin. Percayalah, aku tahu siapa Ardya. Kalau dia melakukan sesuatu seperti ini, itu bukan karena dia peduli. Dia hanya ingin terlihat baik di mata orang lain. Bukankah pendapat publik itu penting untuk citra perusahaan?"
Lama Barra terdiam. Berusaha mencoba mencerna kata-kata Nadea. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya ragu, tapi ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan apa yang dikatakan perempuan itu. Bagaimana pun ia sangat mempercayai kekasihnya ini. Namun di sudut hatinya, ia merasa ada yang tidak beres disini.
"Hei, kenapa melamun?" Tanya Nadea. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Barra dengan lembut. "Masih memikirkan Ardya?"
Barra diam. Ia menatap wajah Nadea dengan bingung. Mengapa akhir-akhir ini banyak hal yang membuatnya ragu dengan Nadea?
"Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula itu hanya pendapat Btari. Bukankah Btari baru pertama kali bertemu Ardya? Bisa saja Btari tertipu dengan kesan pertama yang Ardya tampilkan." Ucap Alina mengusap lembut punggung tangan Barra yang ada di atas meja. Berusaha menenangkan kekasihnya.
"Iya. Semoga saja Btari tidak terlalu dekat dengan Ardya. Terkadang ia mudah dimanipulasi keadaan."
Mendengar nama Btari disebutkan dengan cara yang tak biasa membuat Nadea tidak suka.
"Akhir-akhir ini kamu sering cemas berlebihan pada Btari. Aku khawatir kamu akan berpaling padanya." Ungkap Nadea dengan wajah sedih. Ada gurat khawatir disana.
Barra menggenggam tangan Nadea, menatapnya dengan serius dan dalam. "Nggak akan, Sayang. Aku melakukan itu hanya karena tanggung jawab saja. Tidak ada perasaan berlebih untuknya." Barra menenangkan kekasihnya ini.
Meskipun ragu, Nadea berusaha tersenyum lega. Namun ia sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkan Barra. Lelaki itu sekarang lebih sering mengintrograsi dirinya. .
"Sekarang ayo makan. Aku sudah pesan makanan kesukaanmu." Kata Barra tersenyum pada Nadea-yang kini hatinya sedang gundah.
Tanpa keduanya ketahui, pertemuan kedua kekasih itu diketahui oleh seseorang. Tangan orang tersebut mengepal menahan amarah. Apalagi melihat interaksi keduanya yang begitu mesra.
Jauh dari tempat Barra dan Nadea melepas rindu, Btari menelusuri deretan rak buku di toko buku kota yang luas dan tenang. Tangannya dengan hati-hati menyentuh punggung buku yang berbaris rapi, matanya mencari judul yang menarik untuk dibeli dan dibawa pulang. Di tengah kesibukannya, tanpa sengaja ia berbalik cepat untuk menuju rak lain dan bertabrakan dengan seseorang.
Buku yang digenggamnya hampir terjatuh, namun tangan lelaki itu lebih cepat menangkapnya. Saat Btari mengangkat wajah, ia tertegun.
"Maaf, saya nggak lihat ada orang." Kata Btari tersenyum kikuk.
Lelaki itu, dengan wajah khas oriental dan kacamata tipis, tersenyum hangat. Matanya tampak familier, dan butuh beberapa detik sebelum Btari menyadari siapa yang ada di depannya.
Itu Ardya Pranata Kusuma.
Ardya tertawa kecil, "Nggak apa-apa, saya juga tadi kurang hati-hati." Namun matanya yang sipit menatap Btari dengan penuh selidik. "Kamu fotografer itukan? Btari Almadina, rekannya Alvian. Kita bertemu lagi."
"Pak Ardya? Wah, nggak nyangka ketemu di sini. Apa kabar, Pak?"
Ardya mengangguk. "Baik, Alhamdulillah. Saya sering ke sini kalau ada waktu. Sedang cari buku apa?"
Btari menunjukkan buku di tangannya "Oh, ini untuk referensi pameran amal saya. Kebetulan lagi cari inspirasi." Jawab Btari.
Ardya memandang buku itu sebentar, lalu menunjuk rak di sebelah kanan.
"Kalau soal seni dan filantropi, rak di sana lebih banyak pilihannya. Saya sering nemu buku menarik di sana." Tunjuk Ardya.
"Terima kasih banyak, Pak bantuannya." Ucap Btari sambil tersenyum.
"Iya. Ayo, saya juga mau kesana." Btari terdiam sejenak. Merasa ragu, apalagi Btari sadar siapa Ardya. "Ayo, Btari!" Ajak lelaki itu ramah.
Akhirnya Btari mengekor di belakang Ardya. Bagaimana pun ia terlalu sungkan berada dekat dengan lelaki itu. Namun pribadi Ardya yang hangat membuat Btari pun berusaha menyesuaikan diri. Keduanya berjalan bersama menuju rak yang dimaksud Ardya. Percakapan mulai mengalir dengan alami, membahas buku favorit mereka, pandangan tentang seni, dan pengalaman masing-masing. Btari merasa nyaman berbicara dengan Ardya.
"Kalau begitu saya duluan, Btari. Masih ada pekerjaan yang harus saya kerjakan." Kata Ardya tersenyum hangat.
Btari ikut tersenyum. "Oh iya, baik Pak. Terima kasih sudah memberikan beberapa rekomendasi buku untuk saya. Saya masih nggak menyangka kalau anda ternyata menyukai dunia fotografi juga." Ungkap Btari.
Ardya tertawa pelan. Matanya yang memang sudah sipit itu bertambah kecil ketika tertawa. "Itu hanya hobi. Tentunya tidak sehebat dan seteliti anda dalam membidik objek."
Btari tertawa pelan. Sesuai dugaannya kemarin. Ardya memang adalah sosok yang hangat. Memang dasar Barra yang pikirannya sering berpikir negatif ke Ardya.
Setelah beberapa menit berbicara, keduanya berpisah. Btari melanjutkan pencarian bukunya, sementara Ardya pergi ke kasir. Namun, saat berjalan keluar, Ardya tak bisa mengabaikan kesan mendalam yang Btari tinggalkan padanya.
Di sisi lain, Btari kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tak menyadari bahwa interaksi singkat itu akan membuka babak baru dalam dinamika hubungannya dengan Barra—dan mungkin juga Nadea.
Tanpa Btari atau pun Ardya ketahui, pertemuan dan pembicaraan singkat mereka dilihat oleh seseorang. Tak lupa sebuah foto mereka berdua diabadikan dengan kamera ponsel orang tersebut.