Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undeniable
Tamparan itu meninggalkan sensasi panas yang sulit dihilangkan.
Kepalanya sedikit terputar. Tak sakit.
Nicko menahan napas, rahangnya mengatup keras. Mata terpejam sesaat, tapi pikirannya masih kacau.
Sara menamparnya dengan tangan dan tubuh yang gemetar, matanya menyala dengan amarah yang tak bisa ia sembunyikan.
Nicko menatapnya kembali.
Ia tak menjauh, tak juga marah.
Ia justru mendekat, mengurung Sara di wastafel lagi, kedua tangannya menyentuh sisi pinggang wastafel seperti sangkar mendekatkan kembali wajahnya.
Napas mereka bertaut.
“Tampar aku lagi.” suaranya rendah, dingin. “Sampai kau puas, sampai gemetar dalam tubuhmu hilang”
Sara menatapnya dengan mata nyala.
"Keep your fucking hands off me. ” bisiknya pelan, tapi tajam.
Pundaknya bergetar. Entah karena dingin, takut, atau karena amarah yang tak bisa ia tahan.
Nicko menatapnya, lalu menurunkan pandangannya ke arah bawah.
Paha Sara terbuka di antara pinggangnya
Bergetar hebat di bawah piyama yang tersingkap.
Ia tersenyum.
Bukan senyum hangat. Tapi senyum kepemilikan yang tahu betapa besar kuasa yang ia punya.
Ia mengangguk pelan.
Sara turun dari wastafel dengan langkah goyah. Tubuhnya sempat terhuyung, membuat Nicko refleks meraih lengannya. Namun Sara cepat menepis tangannya, menolak sentuhan itu.
“Menjauhlah dariku.” Ucapannya lirih, namun jelas terdengar.
Nicko hanya menahan napas dengan memejamkan matanya beberapa detik, mencoba menahan gejolak amarah yang timbul dari penolakan dan hasrat yang tak tersalurkan.
“Baiklah ” ucapnya sambil melangkah mundur.
“Aku yang akan pergi.”
Tapi sebelum ia menutup pintu kamar mandi, ia berbalik.
Tatapannya menusuk Sara yang kini berdiri membelakanginya.
“Kau tahu. Aku sudah mencoba menahan diri Sara."
"Tapi kau membuka celah, dan aku akan masuk kapan pun aku mau."
Ucapan terakhirnya terdengar tenang, tapi sarat dengan ancaman halus.
Ia menutup pintu dengan tenang.
Langkahnya panjang dan cepat, bukan karena terburu-buru, melainkan karena terlalu banyak yang harus ditenangkan sebelum meledak. Ia masuk ke ruang kerja, melepaskan kemeja yang basah oleh keringat, lalu melemparkannya ke lantai tanpa peduli di mana jatuhnya. Setelah itu, tangannya bergerak ke rak buku. Sentuhan jarinya pada salah satu sisi kayu memicu suara mekanis pelan
Klik.
Panel terbuka.
Sebuah ruang tersembunyi terlihat di baliknya, gelap dengan satu lampu gantung kecil dan rak berisi minuman mahal yang jarang tersentuh.
Ia masuk. Menyalakan lampu redup, lalu membuka pintu kamar mandi.
Tanpa suara, ia melangkah masuk ke bawah pancuran dengan tubuh telanjang dari pinggang ke atas. Bukan untuk membersihkan diri, melainkan untuk meredam sesuatu yang bergolak di dalam dirinya.
Hasrat dan amarah, bercampur jadi satu.
Ia memejamkan mata, membiarkan air menghantam wajah dan dadanya yang tegang.
Tadi dia mencoba menahan diri. Mencoba waras. Tapi entah kenapa… semua gerak tubuh Sara, cara dia bicara, bahkan ekspresi takutnya, justru membuatnya semakin gila.
Kenapa kau selalu terlihat paling indah saat menolakku?
Giginya mengatup. Ia meninju dinding satu kali.
Ia tahu, dia telah menabrak batas yang dulu ia janjikan pada dirinya sendiri.
Tapi dia tidak peduli.
Dia tidak bisa memisahkan Sara dari keinginannya.
Rindunya.
Gairah yang terus mengendap dan tak pernah tersalurkan. Semua terlalu lama ditahan. Dan malam ini, hampir semuanya tumpah.
Sial.
Nicko menutup matanya. Dan wajah itu muncul lagi.
Wajah Sara.
Ia menggigit lidahnya sendiri.
Setelah lima menit yang terlalu lama, ia keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi tipis dan dada telanjang. Rambutnya basah masih meneteskan air.
Ia mengambil sebotol absinthe dari rak. Tanpa gelas. Langsung diteguk dari botol.
Tak ada yang berubah pada tubuhnya. Minuman keras tak lagi mampu mengacaukannya. Ia hanya terus minum, membiarkan sensasi terbakar di tenggorokan menjadi alasan sederhana untuk diam.
Ia melangkah ke balkon, matanya menatap ke gelapnya langit Manhattan.
"Aku tidak bisa mencintaimu seperti orang normal, Sara.." bisiknya.
Nicko bersandar di pagar balkon, membiarkan dingin malam menggigit kulitnya yang masih memanas. Di balik kelopak matanya, bayangan Sara kembali muncul, tatapan marahnya, napasnya yang berat, dan tubuhnya yang tak bisa berbohong.
Ia tertawa kecil, seperti menikmati permainan yang hanya ia pahami sendiri.
Sara memang menolaknya.
Tapi tubuhnya… sudah mulai bicara dalam bahasa yang Nicko pahami.
Dan itu cukup untuk membuat darahnya mendidih lagi.
Perlahan, dengan caranya, ia akan memilikinya. Sepenuhnya.
Hening itu hanya bertahan sebentar, sebelum sebuah ketukan pelan terdengar, bukan dari pintu utama ruang kerja, melainkan dari panel rahasia di belakang rak buku.
Nicko memalingkan kepala, keningnya berkerut. Hanya ada satu orang yang tahu cara mengetuk seperti itu.
Matheus.
Dengan gerakan malas, ia menutup botol absinthe dan meletakkannya di meja balkon. Lalu melangkah masuk kembali, membuka panel rahasia.
Di baliknya, Matheus sudah berdiri tegak. Setelan hitamnya rapi, wajahnya tanpa ekspresi.
Di tangannya ada map hitam tebal.
“Maaf mengganggu, Tuan,” ucapnya singkat, nada suaranya dalam dan tenang. “Tapi ini mendesak.”
Saat Nicko mendekat, Matheus bergerak maju dan menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal.
Nicko menerimanya tanpa banyak bicara, lalu membuka isinya. Deretan foto jatuh ke atas meja, wajah Gaston Braylon, tertangkap kamera sedang duduk dengan beberapa pria berpengaruh di Manhattan. Beberapa dokumen penuh angka dan catatan rahasia ikut terbuka.
“Dia mulai menemui beberapa nama besar,” suara Matheus dalam, datar, namun tegas. “Koneksi yang ia bangun… tidak main-main.”
Nicko menatap foto-foto itu satu per satu. Senyum tipis melintas di bibirnya.
“Biarkan saja. Aku ingin tahu… sampai sejauh mana Gaston berbalik arah menjauhiku.”
Matheus berdiri tegak, nada suaranya tenang.
“Dia jelas bergerak menjauh, Tuan. Apa langkah ini yang memang Anda inginkan?”
Nicko mengangkat kepalanya perlahan, tatapannya menusuk dingin.
“Yang ada di tangannya bukan kekuatan… tapi umpan. Aku pastikan sendiri.”
Matheus mengangguk sekali.
“Semua data sudah saya susun ulang sesuai perintah. Dokumen, blueprint, hingga laporan keuangan, tak ada satu pun yang asli. Dia percaya, tapi sebenarnya dia hanya membawa kebohongan ke mejanya.”
Nicko mengangguk pelan.
"Bagus. Biarkan dia merasa pintar. Karena semakin tinggi ia naik, semakin keras pula ia akan jatuh.”
Hening sesaat, lalu Nicko memiringkan kepalanya, sorot matanya berubah seolah menembus Matheus.
“Dan aku dengar… dia juga sudah cukup berani mengganggu kesenanganmu akhir-akhir ini.”
Bahunya menegang sepersekian detik, tapi Matheus cepat meredakannya. Ekspresinya tetap tenang.
“Wanita itu tidak tahu apa-apa, Tuan. Bagi saya, ia hanya bayangan. Tidak ada artinya.”
Nicko terkekeh rendah, hampir tanpa suara. “Tetap saja… Gaston memilih jalannya terlalu jauh. Sampai-sampai orang-orang di sekitarku ikut tersentuh.”
Matheus menahan napas, lalu berkata singkat. “Jika itu mengganggu, saya bisa mengakhirinya.”
Nicko menggeleng perlahan. “Tidak perlu. Untuk sementara, biarkan. Anggap saja hiburan kecil sebelum badai datang.”
Ia menyandarkan tubuh ke meja, menatap Matheus dengan tatapan yang lebih tenang tapi tetap menusuk.
“Pada akhirnya… kau sama saja denganku, Matheus. Seberapa dingin pun kita di meja ini, kita tetap pria. Dan pria kadang butuh sentuhan wanita.”
Ada jeda singkat. Wajah Matheus tetap terkontrol, tapi kilatan kikuk itu sempat muncul di matanya. Ia menghela napas tipis.
“Mungkin begitu, Tuan. Tapi bagi saya… itu hanya bagian kecil. Yang utama tetap perintah Anda.”
Nicko mengangkat alis, seolah puas dengan jawaban itu
“Take it easy Mate. Nikmati malammu."
Matheus menunduk hormat, lalu melangkah pergi dengan tenang.
Ruang itu kembali sunyi, hanya menyisakan Nicko di balik tumpukan foto-foto Gaston.
Tatapannya tajam, seolah ia tengah mengintai dari kejauhan, menilai setiap langkah lawannya. Ia sudah lebih dulu tahu bagaimana permainan ini akan berakhir.
akan melakukan nya lagi dengan Sura
dan pada akhirnya sura berkata jujur karena minuman minuman itu...
hanya author yg tau
lanjut thor ceritanya
pelan" akan terobati...
kasihan Nick selalu bermain solo
karena ingin menyembuhkan Sara...
lanjut thor ceritanya
Sara bisa tenang
berada di sisi Nick
bisa jadi obat untuk trauma nya
yg menyakiti akan menyembuhkan
lanjut thor ceritanya
tetapi masih mengikuti keegoisannya...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya lagi