NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32•

...Jeritan di Kamar Mandi Sekolah...

Pukul tiga sore, ketika bel pulang sekolah berdering nyaring, bukan suara riuh rendah siswa yang berebut keluar gerbang yang memenuhi telingaku, melainkan keheningan pekat. Aku masih duduk di bangku paling belakang kelas 12 IPA 2, menuntaskan tugas Fisika yang dari tadi pagi tak kunjung selesai. Angin sore yang masuk melalui jendela terbuka membawa hawa dingin yang menusuk, seolah sekolah ini, SMA Harapan Bangsa, punya cara sendiri untuk menahan kepergianku.

Aku Alisa, dan jujur saja, aku membenci tempat ini. Bukan karena pelajaran atau teman-teman, tapi karena aura yang selalu menyelimutinya, terutama setelah jam pulang. Rasanya seperti ada mata yang selalu mengawasi dari balik dinding, di setiap koridor gelap, bahkan di setiap loker usang. Dan yang paling parah, kamar mandi di lantai dua.

Kamar mandi itu punya reputasi. Banyak cerita beredar di kalangan siswa tentang penampakan, suara-suara aneh, bahkan ada yang bilang pernah melihat darah menetes dari keran air. Aku tak pernah percaya sepenuhnya, sampai hari itu.

"Alisa, kamu nggak pulang?" Suara Bu Lastri, guru Fisika kami, membuyarkan lamunanku. Wajahnya yang keriput terlihat lelah.

"Sebentar lagi, Bu. Tinggal sedikit," jawabku, pura-pura fokus pada rumus-rumus di buku. Aku sengaja menunda, berharap bisa pulang bersama Bima, teman sebangkuku yang biasanya juga telat pulang. Tapi hari ini, Bima sudah duluan dijemput orang tuanya.

Setelah Bu Lastri beranjak, keheningan kembali merayap. Jam dinding di sudut kelas berdetak monoton, seolah menghitung setiap menit kesendirianku. Tiba-tiba, perutku terasa mulas. Sial. Mau tak mau, aku harus ke kamar mandi. Dan kamar mandi di lantai dua adalah yang terdekat.

Dengan langkah ragu, aku menyusuri koridor yang kini tampak lebih panjang dan gelap dari biasanya. Lampu-lampu sudah dipadamkan di beberapa bagian, hanya menyisakan temaram dari cahaya sore yang masuk melalui jendela-jendela tinggi. Setiap langkah kakiku bergaung, memecah kesunyian dan membuat bulu kudukku meremang.

Sesampainya di depan pintu kamar mandi, aku berhenti sejenak. Pintu kayu yang sudah usang itu tampak lebih gelap, seolah menelan semua cahaya di sekitarnya. Bau apek dan lembap langsung menyeruak begitu aku membuka pintunya perlahan. Aku menyalakan sakelar lampu, dan cahaya kuning remang-remang membanjiri ruangan.

Ada tiga bilik di sana, dua bilik toilet dan satu bilik khusus wastafel. Cermin besar di atas wastafel tampak kusam, memantulkan bayanganku yang terlihat pucat. Aku segera masuk ke salah satu bilik toilet, menyelesaikan urusanku secepat mungkin.

Saat aku keluar dari bilik, tiba-tiba terdengar suara samar. Krekk... krekk... Seperti suara gesekan kaki di lantai keramik. Aku menegang. "Siapa di sana?" tanyaku, suaraku sendiri terdengar bergetar. Tidak ada jawaban.

Aku memutar pandanganku. Tidak ada siapa pun. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku segera mendekati wastafel untuk mencuci tangan. Saat air mengalir dari keran, aku melihatnya di cermin. Di belakang bayanganku, samar-samar, terlihat sosok kecil berdiri di ujung koridor, di luar pintu kamar mandi. Sosok itu mengenakan seragam putih abu-abu yang lusuh, dengan rambut panjang terurai menutupi wajahnya.

Jantungku berpacu kencang. Aku cepat-cepat mematikan keran, menoleh ke belakang, tapi tidak ada siapa pun di sana. Koridor kosong melompong. Aku kembali menatap cermin. Sosok itu juga sudah hilang.

"Ini nggak mungkin..." gumamku, mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku memutuskan untuk segera keluar. Tapi saat tanganku menyentuh gagang pintu, sebuah jeritan panjang, melengking, dan penuh penderitaan tiba-tiba menggema di dalam kamar mandi. Jeritan itu seolah datang dari segala arah, menusuk telingaku hingga rasanya ingin pecah.

Aku langsung tersentak mundur, menabrak wastafel di belakangku. Cermin di atasnya bergetar hebat. Aku menutup telingaku, mencoba meredam suara mengerikan itu. Jeritan itu tidak berhenti, malah semakin intens, seolah ada seseorang yang sedang disiksa habis-habisan di dalam ruangan ini.

"Tolong! Siapa di sana?" teriakku, suaraku serak karena ketakutan.

Jeritan itu tiba-tiba terhenti, digantikan oleh suara isakan tangis yang lirih, seperti suara anak kecil yang menangis tersedu-sedu. Aku membuka mata perlahan. Suasana kamar mandi terasa dingin dan pengap, jauh lebih dingin dari sebelumnya.

Di salah satu bilik toilet, pintu yang tadinya sedikit terbuka, kini tertutup rapat. Dari celah bawah pintu itu, terlihat tetesan air mengalir keluar. Bukan air biasa, melainkan cairan merah pekat, seperti darah.

Napas tertahan di tenggorokanku. Darah? Aku tak pernah percaya dengan cerita-cerita itu, tapi ini... ini nyata! Dengan gemetar, aku mendekati bilik tersebut. Isakan tangis masih terdengar samar dari dalam.

"Halo... ada orang di dalam?" suaraku berbisik. Tidak ada jawaban, hanya isakan yang semakin jelas.

Aku memberanikan diri mendorong pintu bilik itu perlahan. Krieett... Suara engsel berkarat terdengar mengerikan.

Dan pemandangan di dalamnya membuatku memekik tertahan.

Seorang gadis kecil, mungkin setinggi lututku, duduk meringkuk di lantai, memeluk lututnya, wajahnya tertutup rambut panjang yang leurai. Seragam putih abu-abu yang dikenakannya lusuh dan kotor, berlumuran noda merah. Dan di lantai di sekelilingnya, genangan darah itu semakin melebar.

"Astaga... kamu kenapa?" Aku berlutut, mencoba menyentuhnya, tapi tanganku gemetar hebat.

Gadis itu mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung, dan bibirnya membiru. Ia menatapku dengan tatapan kosong, penuh keputusasaan.

"Tolong..." Bisikannya sangat lemah, nyaris tak terdengar. "Aku... terjebak..."

"Terjebak? Kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini?" tanyaku panik, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Gadis itu tidak menjawab. Tangannya yang mungil terangkat perlahan, menunjuk ke arah cermin di wastafel. "Di sana... dia yang melakukannya..."

Aku menoleh ke cermin. Bayanganku di sana tampak panik, tapi di belakangnya, samar-samar terlihat siluet seorang pria tinggi dengan jubah hitam, memegang pisau berkilauan. Wajahnya tidak terlihat jelas, tertutup bayangan.

"Siapa dia?" tanyaku pada gadis kecil itu, suaraku bergetar.

"Guru... itu guru..." jawabnya terbata-bata, lalu terbatuk, mengeluarkan darah dari mulutnya.

Jantungku seperti ingin lepas dari tempatnya. Guru? Guru siapa? Di sekolah ini? Pria berjubah hitam dan pisau? Otakku berputar mencari penjelasan. Lalu, satu nama muncul di benakku: Pak Toni, guru Sejarah yang terkenal aneh dan sering terlihat mondar-mandir di sekolah sampai larut malam. Tapi tidak mungkin, Pak Toni orangnya pendiam dan kaku.

Gadis itu terbatuk lagi, napasnya tersengal. "Dia... dia yang mengunci kami di sini..."

"Kami? Siapa lagi?"

Tiba-tiba, jeritan lain kembali terdengar. Bukan dari bilik ini, melainkan dari bilik di sebelahnya. Jeritan itu terdengar seperti jeritan seorang anak laki-laki.

Aku melirik gadis kecil di depanku, lalu ke pintu bilik sebelah yang tertutup rapat. Kakiku langsung melangkah menuju bilik itu, dorongan untuk menolong begitu kuat.

"Jangan! Jangan ke sana!" teriak gadis itu lemah, mencoba meraih tanganku. "Dia akan melukaimu!"

Tapi aku sudah terlalu dekat. Aku membuka pintu bilik sebelah. Dan pemandangan di dalamnya membuatku terhuyung mundur.

Seorang anak laki-laki tergeletak tak berdaya di lantai, bersimbah darah. Matanya terbelalak, menatap kosong ke langit-langit. Di sampingnya, pisau berkilauan yang sama seperti yang kulihat di cermin tergeletak di lantai. Dan di dinding, dengan darah, tertulis sebuah nama: ANTON.

Anton? Nama itu... itu nama Bima! Bima Antonius! Tapi ini... ini bukan Bima. Ini anak laki-laki lain yang jauh lebih muda.

Aku berbalik, menatap gadis kecil yang masih meringkuk di biliknya. "Siapa kalian?"

Gadis itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku Tania... dan itu adikku, Danu..."

"Kalian kenapa di sini? Bagaimana kalian bisa sampai berdarah seperti ini?" Aku kembali berlutut di depannya, tanganku gemetar saat menyentuh lengannya yang dingin.

"Kami... kami terjebak... setiap kali kami mencoba keluar, dia akan datang... dengan pisaunya..." Tania berbisik, lalu matanya terpejam.

Aku terkesiap. Mereka terjebak? Di kamar mandi ini? Berapa lama? Dan siapa "dia" yang dimaksud Tania? Guru Anton? Pak Toni?

Tiba-tiba, pintu kamar mandi di belakangku terbuka perlahan. Sebuah suara berat, dalam, mengisi ruangan. "Alisa... masih di sini?"

Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku mengenali suara itu. Suara Pak Toni.

Aku berbalik perlahan, tubuhku kaku. Pak Toni berdiri di ambang pintu, seragam coklatnya rapi, kacamata bertengger di hidungnya. Wajahnya terlihat tenang, seperti biasa. Tapi di tangannya... ia memegang sebuah pisau ukir kecil, berkilauan di bawah cahaya remang-remang.

"Pak Toni... apa yang Bapak lakukan di sini?" suaraku nyaris tak keluar.

Ia tersenyum, senyum yang sama sekali tidak menenangkan. "Saya hanya... memastikan semuanya rapi sebelum pulang." Pandangannya beralih ke dalam bilik, ke arah Tania dan Danu. "Oh, mereka belum pergi ya? Keras kepala sekali."

Aku menatapnya horor. "Mereka... mereka kenapa, Pak? Bapak... Bapak yang melakukan ini?"

"Melakukan apa, Alisa?" Pak Toni tertawa pelan, tawanya terdengar kering dan mengerikan. "Mereka hanya... sedikit nakal. Suka bersembunyi di sini. Dan saya, sebagai penjaga sekolah, punya tugas untuk memastikan tidak ada yang mengganggu ketenangan."

Penjaga sekolah? Pak Toni adalah guru Sejarah!

"Bapak bukan penjaga sekolah!" teriakku, mundur selangkah demi selangkah.

"Oh, benarkah?" Pak Toni mengangkat alisnya, lalu perlahan melepas kacamata. Matanya yang tadinya terlihat redup, kini memancarkan kilatan tajam. "Saya sudah jadi bagian dari sekolah ini jauh sebelum kamu lahir, Alisa. Jauh sebelum Tania dan Danu terperangkap di sini."

Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari koridor. Seseorang sedang berlari mendekat.

"Alisa! Kamu di mana? Aku nyariin dari tadi!" Itu suara Bima.

Mata Pak Toni melebar. Ia menatap ke arah pintu, lalu kembali menatapku dengan pandangan penuh amarah. "Sial! Dia kembali!"

Ia mengangkat pisau ukirnya, melangkah maju dengan cepat.

"Jangan mendekat!" teriakku, meraih gagang pel yang ada di sudut kamar mandi, mengacungkannya sebagai pertahanan.

Pintu kamar mandi terbuka dengan kasar. Bima muncul di ambang pintu, napasnya terengah-engah. Pandangannya langsung tertuju pada Pak Toni yang memegang pisau, lalu ke arahku, dan akhirnya ke dalam bilik toilet yang penuh darah.

Wajah Bima langsung pucat pasi. "Pak Toni! Apa yang Bapak lakukan?!"

Pak Toni, dengan wajah yang kini benar-benar terlihat gila, melompat ke arahku. Aku menghindar, berteriak, dan refleks melemparkan gagang pel ke arahnya. Pel itu mengenai kepalanya, dan Pak Toni tersandung, terjatuh ke lantai.

Bima langsung berlari ke arahku, menarik tanganku. "Cepat lari, Alisa! Dia gila!"

Kami berdua berlari keluar dari kamar mandi, meninggalkan Pak Toni yang meringkuk di lantai. Suara jeritan yang lain kembali terdengar dari dalam kamar mandi, bukan jeritan Tania atau Danu, melainkan jeritan kemarahan yang dalam, seperti raungan binatang buas.

Kami terus berlari menyusuri koridor, tanpa menoleh ke belakang. Aku tahu kami berhasil lolos, tapi bayangan Tania dan Danu yang berlumuran darah, serta kilatan pisau di tangan Pak Toni, akan terus menghantuiku.

Beberapa hari kemudian, berita menyebar cepat. Pak Toni ditangkap. Ternyata, dia bukan guru Sejarah. Dia adalah mantan penjaga sekolah yang diberhentikan secara tidak hormat bertahun-tahun yang lalu karena gangguan jiwa. Ia masih sering menyelinap masuk ke sekolah, terutama kamar mandi, tempat ia percaya arwah anak-anak nakal bersembunyi. Tania dan Danu? Mereka adalah anak-anak yang hilang lima tahun lalu, jasad mereka ditemukan di sumur tua di belakang sekolah. Mereka adalah korban Pak Toni. Selama ini, arwah mereka terperangkap di kamar mandi, mencoba mencari pertolongan.

Namun, yang tidak diketahui siapa pun, yang tak pernah bisa kuungkapkan pada Bima atau polisi, adalah hal lain. Saat kami berlari keluar dari kamar mandi, tepat sebelum aku melangkahi ambang pintu, aku sempat melihatnya lagi. Di cermin kamar mandi, di belakang bayanganku yang berlari, terlihat samar-samar, sebuah senyuman. Bukan senyumku, bukan senyum Tania, bukan pula senyum Pak Toni. Itu adalah senyum seorang wanita dewasa, dengan mata merah menyala, melambaikan tangan perlahan. Seolah, ia baru saja selesai menyaksikan sebuah pertunjukan. Dan entah kenapa, aku merasa, ia akan terus ada di sana, menunggu pertunjukan berikutnya. Aku berhasil lolos dari Pak Toni, tapi apakah aku benar-benar lolos dari Jeritan di Kamar Mandi Sekolah itu? Aku tak yakin.

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!