Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20
Kia memeluk lututnya di sudut kamar, membiarkan rambut panjangnya tergerai tanpa hijab. Udara malam menyusup lewat jendela yang belum tertutup rapat, membawa bisik-bisik kecil yang entah dari angin atau dari pikirannya sendiri.
Sejak menikah dengan ustadz Damar dua minggu lalu, hidupnya seperti berada di tengah badai yang tidak kunjung reda.
Ia mengingat dengan jelas hari ketika kakeknya memaksanya menikah dengan pria itu. Bukan karena cinta, bukan pula karena Kia ingin. Tapi karena kewajiban, karena restu, dan karena takdir yang terlalu cepat datang tanpa sempat ditanya perasaannya.
Tapi hari ini, saat Damar bicara pelan dengan sorot mata yang berbeda, ada getar di hati Kia. Bukan marah, bukan takut, tapi bingung.
“Masa iya sih Mas Damar udah jatuh cinta sama aku?” gumam Kia lirih sambil menunduk.
DIa mendongak, menatap bayangan wajahnya di kaca jendela. “Padahal kita nikahnya baru dua minggu. Itu pun penuh huru-hara, penuh bentakan, penuh dingin yang kadang bikin aku pengen lari,” lanjutnya pelan.
Kia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir segala tanya yang menggantung di dadanya.
“Mas Damar… beneran suka aku? Bukan karena kakek yang maksa kita nikah? Bukan cuma karena kasihan?” bisiknya lagi, nyaris tak terdengar.
Bayangan wajah Damar terlintas dalam ingatannya. Cara pria itu memperhatikannya diam-diam, menutupi selimut saat Kia ketiduran di sofa, atau sekadar menyelipkan teh hangat di meja saat pagi datang. Tapi benarkah semua itu karena cinta?
Keesokan paginya..
Aroma kaldu khas Jepang menguar dari dapur hingga ke ruang tamu. Udara pagi itu masih lembap oleh embun, tapi hangatnya hidangan yang sudah tertata rapi di meja makan justru lebih dulu menyentuh hati Kia.
Semangkuk miso soup dengan irisan tahu lembut, nasi kepal berisi salmon panggang, dan tamagoyaki kesukaannya tersusun dalam piring keramik kecil berwarna pastel.
Tidak ada suara hanya secarik kertas lipat yang ditindih cangkir teh hijau hangat di ujung meja.
Kia mendekat, membuka pelan memo kecil itu.
> “Sarapanmu, aku yang pilih, tapi tetap Allah yang kasih nikmatnya. Jangan lupa baca doa sebelum makan, bar-bar cantik. Damar, suami sahmu yang kangen tapi sok sibuk.
Kia tersenyum, matanya berkaca-kaca. Tangannya gemetar sedikit saat menyentuh sudut kertas yang terlipat rapi. Sambil duduk di kursi paling ujung, ia menatap piring itu seperti menatap perhatian yang selama ini tak pernah ia minta, tapi pelan-pelan mengisi ruang hatinya.
“Subuh-subuh udah pergi tapi ninggalin beginian,” gumam Kia lirih.
Ia membuka ponsel, melihat jam digital di layar. Sudah hampir pukul enam. Masih terbayang tadi malam sebelum tidur, Damar sempat membahas isi kitabnya dan betapa ia ingin menyampaikan ceramah subuh di Ponpes Al-Firdaus, tempat ia dulu menimba ilmu.
Kia sempat protes ringan semalam, “Emangnya harus banget jam empat subuh pergi, Mas?”
Dan waktu itu Damar hanya menjawab sambil nyender di bingkai pintu kamar, “Yang ngajak bukan manusia, Ki. Tapi panggilan buat membangunkan hati. Kalau bukan aku yang datang, siapa lagi?”
Ia tidak pakai nada tinggi. Tidak juga maksa. Tapi yang begitu justru bikin Kia diam, lalu pelan-pelan mengangguk, meski hatinya terasa sepi membayangkan pagi tanpa suara lelaki itu di rumah.
Sambil menyeruput teh hangat, Kia bergumam, “Ya udah, Mas ustadz... ngajar yang bener ya. Tapi kalau lapar, jangan pura-pura kuat.”
Tangannya memegang memo itu lagi, lalu memeluknya ke dada. Entah kenapa, dunia yang biasanya gaduh dan bebas sebebas-bebasnya kini terasa ingin ia jalani pelan-pelan.
Karena diam-diam, perhatian dari pria yang ia nikahi karena dijodohkan itu mulai tumbuh jadi rasa yang enggan Kia lepaskan begitu saja.
Berselang beberapa menit kemudian, langit belum sepenuhnya cerah ketika Kia berdiri di depan cermin kamarnya. Tangannya gemetar saat merapikan lipatan kerudung yang baru saja ia kenakan.
Bukan hijab syar’i seperti yang sering ia lihat di majelis ta’lim, tapi pilihan pertama yang paling Kia berani pakai jilbab modis, warna netral, dipadukan dengan blazer berpotongan ramping dan celana panjang berwarna senada.
Napasnya tertahan sesaat.
"Ya Allah... semoga ini jadi awal yang baik," bisiknya pelan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, gadis yang selama ini dikenal bar-bar dan penuh gaya itu menutupi mahkota kepalanya.
Bukan karena paksaan siapa-siapa, bukan karena ceramah panjang yang menggurui, tapi karena pelan-pelan hatinya disentuh oleh kelembutan yang ia tak sangka datang dari sosok suaminya sendiri.
Lelaki nyeleneh yang selalu punya cara unik dalam mengingatkan. Setelah selesai berdandan, Kia mengambil helm dan kunci motornya.
Ia melirik sekilas ke arah memo yang semalam masih disimpannya di atas nakas. Senyum tipis muncul di wajahnya sebelum ia melangkah keluar rumah.
Mesin motor sport miliknya meraung pelan. Ia mengenakan sepatu kulit dan sarung tangan hitam, lalu melaju menuju kantor. Jalanan belum terlalu ramai.
Angin pagi mengibarkan ujung hijabnya yang ringan, dan saat ia berhenti di lampu merah, ada tatapan dari pengendara lain yang sempat membuat Kia gugup, tapi ia hanya menarik napas dan menatap lurus ke depan.
Setibanya di depan gedung MK Corp, gerbang terbuka perlahan. Security yang berjaga spontan berdiri tegak, menunduk hormat.
"Selamat pagi, Bu Kia," sapa mereka hampir serempak.
Namun ekspresi mereka tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Mereka saling pandang, seperti tak percaya dengan penampilan baru CEO muda yang selama ini dikenal sebagai sosok bebas, keras kepala, dan selalu tampil mencolok.
Karyawan yang melihat dari kejauhan mulai berbisik.
“Itu... Bu Kia ya?” bisik salah satu staf HR.
“Eh serius? Dia pake jilbab? Nggak salah liat?” ucap bagian keuangan sambil menahan decak kagum.
"Padahal orang tuanya mualaf, kakeknya juga dulunya nonmuslim," celetuk seorang staf IT yang baru magang.
Suasana pagi itu mendadak ramai oleh bisik-bisik tak percaya. Namun tak ada satu pun yang berani menegur langsung.
Mereka hanya mengamati dari balik layar monitor, dari balik kaca ruang pantry, dari balik pintu ruang rapat yang belum dimulai.
Langkah Kia mantap menuju lift. Setiap lantai yang dilewatinya terasa seperti mata yang menyorot tanpa suara, namun tak satu pun yang Kia hiraukan.
Di dalam hati, justru ada ketenangan baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Biarlah orang mau bilang apa. Ini hidupku, ini jalanku,” ucapnya pelan sambil menatap pantulan wajahnya di dinding logam lift.
Sesampainya di ruang utama, sekretarisnya sempat menatap dengan mulut sedikit terbuka.
“Bu Kia...” gumamnya lirih.
“Iya, ini aku. Masih CEO kalian. Tapi sekarang versi yang agak beda,” jawab Kia santai sambil menyampirkan blazer ke sandaran kursi.
Ia duduk, membuka laptop, lalu menghela napas.
Hari itu, meskipun terasa asing, hatinya justru lebih ringan. Seperti ada lembaran baru yang ia buka, bukan karena ingin terlihat baik, tapi karena ingin belajar jadi hamba yang tahu arah pulang.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣