Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 : Between Us
Setelah makan siang, semua kembali pada aktivitas masing-masing. Zora telah pulang lebih awal dengan alasan ada urusan keluarga, Aaron sibuk mengunjungi pasien rawat inap, sementara Luna kembali ke ruang seninya, tenggelam dalam dunia warna dan kanvas.
Hening menyelimuti ruang terapi seni, hanya suara goresan kuas di atas kanvas yang terdengar samar.
“Bukankah aku sudah memintamu untuk beristirahat?” suara berat dan tegas itu memecah keheningan, membuat tangan Luna berhenti seketika.
Ia menoleh cepat, sedikit terlonjak kaget. “Xavier! Astaga, kau mengagetkanku.” Ia mengusap dadanya pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang mendadak melonjak.
Xavier berdiri di ambang pintu dengan lengan bersedekap, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi bercanda.
“Apa kau masih pusing?” tanyanya kemudian, langkahnya masuk lebih dekat dan duduk di bangku kecil di samping Luna.
Luna menggeleng pelan, meski ia tak menatap langsung pria itu. “Tidak terlalu. Aku bisa mengatasinya.”
“Kalau kau butuh tempat beristirahat, kau bisa ke ruanganku,” ucap Xavier, matanya tak beranjak dari wajah Luna.
Luna hanya mengangguk kecil. Ia kembali fokus pada sapuan kuasnya, seolah mencoba menghindari tatapan pria itu.
Beberapa detik kemudian, ponsel Xavier berdering. Layar menunjukkan nama sang mama.
Ia tidak langsung menjawab, hanya memandangi layar ponsel itu dalam diam.
Luna menoleh dengan dahi berkerut. “Kenapa? Ada apa?” tanyanya pelan.
Xavier menggeleng singkat. “Sebentar,” ucapnya, lalu berdiri dan berjalan ke dekat jendela kaca. Ia menjawab panggilan itu dengan suara tenang, membelakangi Luna.
Percakapannya tidak lama. Hanya beberapa menit sebelum ia kembali menghampiri Luna, kali ini dengan ekspresi sedikit berbeda.
“Mama akan berkunjung,” ujarnya, suaranya lebih pelan.
Luna menoleh cepat, menatap Xavier dengan rasa penasaran yang jelas terlihat di wajahnya. Ia menunggu kelanjutan kalimat itu.
“Mungkin aku akan tinggal di hotel selama beberapa hari,” lanjut Xavier akhirnya.
Luna mengerutkan kening, menghentikan gerakan kuasnya. Ia menatap Xavier dengan alis terangkat.
“Kenapa? Kenapa tidak mengajaknya ke apartemen?” tanyanya pelan. “Maksudku… biar aku saja yang tinggal di hotel. Mamamu pasti akan lebih nyaman tinggal di sana ketimbang harus tidur di kamar hotel selama di sini.”
Xavier menarik napas pelan, lalu duduk kembali di bangku dekat Luna.
“Mama akan tinggal bersama Zora,” jawabnya setelah jeda cukup panjang.
Luna menoleh, menatap pria itu, menunggu penjelasan lanjutan.
“Aku hanya tidak ingin dia tiba-tiba datang ke apartemen dan—mengganggu kenyamananmu,” lanjut Xavier. “Jadi, aku katakan padanya kalau apartemen sedang direnovasi. Kalau dia ingin bertemu denganku, dia akan datang ke hotel. Lebih aman seperti itu.”
Luna mengangguk pelan. “Baiklah,” ujarnya pendek.
Xavier berdiri. “Kalau begitu, aku akan kembali bekerja.”
Luna mengangguk sekali lagi,dan kembali fokus dengan lukisannya.
Baru melangkah beberapa langkah, Xavier tiba-tiba berhenti. Ia membalikkan tubuh dan kembali menatap Luna yang kini sedang membersihkan ujung kuasnya dengan kain.
“Luna…” panggilnya, suara itu mengandung nada yang lebih dalam.
Luna mendongak, menatap Xavier dengan alis sedikit terangkat.
“Sebenarnya… aku kembali bersama Zora karena mama,” ucap Xavier perlahan. “Dia sangat menyukai Zora sejak dulu. Saat tahu kami kembali berkomunikasi, dia langsung antusias. Dia—memaksa aku untuk kembali bersamanya. Baginya, Zora tetaplah yang terbaik.”
Ada jeda di antara kalimat itu. Seolah Xavier sedang menyusun ulang kebenaran agar Luna tidak salah paham.
Luna terkekeh pelan. “Dan aku dengan pedenya berpikir semua ini karena keberhasilanku menyatukan kalian.”
Xavier tersenyum hambar. “Kau tahu sendiri… aku paling tidak bisa menolak permintaan mama.”
Luna mengangguk. “Ya, aku tahu. Bahkan kalau aku jadi kau, mungkin aku juga tidak akan tega mengecewakan orang tua.” Ia terdiam sejenak. Senyumnya memudar, suaranya menurun. “Sayangnya… aku tidak punya.”
Xavier menatap gadis itu dalam diam. Luka yang tersirat dalam ucapan sederhana Luna terdengar seperti gema dari masa lalu yang tak pernah benar-benar sembuh.
Luna kehilangan kedua orang tuanya saat duduk di bangku SMA. Sebuah kecelakaan tragis yang merenggut segalanya dalam sekejap. Rumah. Kehangatan. Tempat pulang.
Xavier mengambil satu langkah mendekat, lalu duduk kembali di kursinya.
“Tapi kau punya aku sekarang,” ucapnya, tulus. “Aku bisa jadi siapa pun yang kau butuhkan. Sahabatmu, partner lukismu, bahkan—orang tuamu, kalau kau mau.”
Luna tersenyum, meski matanya sedikit berkaca.
“Baiklah, ‘orang tua’,” katanya, berusaha ringan. “Sekarang waktunya kau kembali bekerja. Atau kau akan kebanjiran keluhan dari pasien-pasienmu yang merasa ditelantarkan.”
Xavier mengangkat kedua tangan, berpura-pura menyerah. “Baik, baik. Tapi janji, kalau pusingmu kembali, kau akan istirahat.”
“Janji,” jawab Luna sambil memberi hormat kecil dengan kuas di tangannya.
Xavier tersenyum, lalu berbalik pergi. Tapi sebelum benar-benar melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi.
“Oh, dan Luna…”
“Hm?”
“Terima kasih karena tak pernah berubah, bahkan saat semua orang menginginkan aku untuk berubah.”
Sebuah kalimat ambigu yang membuat Luna mengernyit bingung. Xavier melangkah pergi, dan menghilang dari ruangan itu.
*
Suara gesekan koper di lantai terdengar pelan di antara keheningan malam. Xavier sedang melipat kemeja terakhirnya ketika ketukan ringan terdengar dari arah pintu.
“Masuk saja,” ucapnya tanpa menoleh.
Luna membuka pintu perlahan, lalu bersandar santai di kusen pintu. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.
“Kau butuh bantuan?” tawarnya.
Xavier menoleh, bibirnya mengulas senyum kecil. “Tentu. Yang kubutuhkan sekarang adalah tenaga.”
Luna menghela napas sambil tersenyum geli. “Mau kubantu? Beresin yang mana?” Ia berjalan mendekat, langkahnya ringan.
Xavier tak langsung menjawab, hanya menepuk bagian kosong di sampingnya di atas tempat tidur. Luna menaikkan satu alis sebelum akhirnya duduk di sana, menatap Xavier dengan ekspresi menunggu.
Tangan Xavier terulur, menyentuh lembut sisi wajah Luna. Tak butuh waktu lama sampai bibir mereka bertemu, mencuri jeda dari keheningan malam.
Luna menarik diri sejenak, menatap Xavier dengan senyum main-main. “Jadi ini... bantuan yang kau maksud?”
Xavier tertawa pelan, matanya redup tapi hangat. “Aku akan tinggal di hotel beberapa hari... dan kau tahu, aku paling tidak bisa tanpa asupan.” Ia menatapnya dramatis. “Kepalaku akan pusing, pekerjaanku bisa berantakan.”
Luna mengerucutkan bibirnya, berpura-pura berpikir. “Jadi, kau butuh asupan... untuk kau simpan selama beberapa hari?”
Xavier mengangguk polos, seperti anak kecil yang sedang merengek minta permen.
Luna terkekeh, lalu membisik, “Baiklah... aku berikan asupan yang bisa membuatmu bertahan selama beberapa hari ini.”
Perlahan, ia mendorong tubuh Xavier hingga terbaring di atas ranjang. Kedua mata mereka saling mengunci, tanpa kata, tapi penuh makna. Luna menaiki tubuh Xavier dengan gerakan lembut dan nakal, tangan mereka saling mencari—menggenggam, menyentuh, dan menyampaikan semua yang tak pernah benar-benar terucap.
To Be Continued >>>