"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
...****************...
Suster akhirnya meninggalkan kami berdua di ruangan, meninggalkan keheningan yang hanya diisi suara isapan kecil Nathan. Aku masih fokus menyusui bayi ini, sementara Arsen duduk di sampingku, mengelus kepala anaknya dengan lembut.
Aku meliriknya sekilas, lalu akhirnya membuka mulut. "Jadi, ibunya mana? Kok bisa kau punya anak, tapi dia gak punya ibu?"
Aku hanya bertanya dengan nada santai, tapi respons Arsen langsung berubah drastis. Tatapannya tiba-tiba tajam, menusuk, seperti peringatan halus yang membuat bulu kudukku meremang.
"Jangan bicara seperti itu di depan anakku," ucapnya, suaranya dingin.
Oke… baiklah. Aku mengangkat tangan menyerah. "Baik, aku gak akan tanya lagi."
Aku menunduk, menatap Nathan yang mulai tenang. Nafasnya teratur, matanya hampir tertutup. Aku berpikir mungkin sudah saatnya aku melepaskan payud**ku dari bibir mungilnya.
Perlahan aku mencoba menariknya, tapi—
"Auh!" Aku mengerang pelan.
Bayi ini ternyata masih ingin menyusu, dan sialnya, dia mengisap dengan lebih kuat. Tangannya yang mungil bahkan mulai meremas sebagian dadaku, membuatku menggigit bibir menahan nyeri.
"Ini anakmu, tolong!" seruku dengan wajah meringis.
Arsen menghela napas, lalu menatap Nathan dengan ekspresi bingung. "Lalu bagaimana cara melepaskannya?"
Aku memelototinya. "Mana aku tahu?! Kau yang ayahnya, kau pikir aku sudah punya pengalaman soal bayi?"
Arsen menatapku seolah aku menyulitkan keadaan. "Coba buka mulutnya perlahan."
"Aku sudah coba!" seruku frustrasi.
Nathan malah semakin kencang mengisap, membuatku kembali mengerang pelan. Aku benar-benar merasa dipermainkan oleh bayi mungil ini.
Arsen menghela napas, lalu tanpa ragu, dia bergerak mendekat. Aku hampir saja memprotes, tapi sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, dia sudah meraba lembut pinggir put*ngku dengan jemarinya.
Aku menegang.
Sensasi aneh menjalar di tubuhku, sesuatu yang asing dan tidak seharusnya aku rasakan dalam situasi seperti ini. Aku menelan ludah, mencoba mengabaikan getaran aneh yang merayapi kulitku.
Dengan hati-hati, Arsen membuat Nathan perlahan-lahan melepaskan isapannya. Aku menghela napas lega ketika akhirnya bibir mungil bayi itu terlepas dariku, meski rasa nyeri masih tersisa.
Arsen langsung menyodorkan dot berisi susu, menggantikan tempatku. Nathan awalnya tampak rewel, tapi setelah beberapa saat, dia akhirnya mulai menyedot dot itu tanpa perlawanan.
Aku mengusap wajahku dengan tangan, berusaha mengembalikan pikiranku yang sempat kacau.
"Tolong jangan lakukan itu lagi," gumamku lirih.
Arsen menatapku sekilas, ekspresinya datar seperti biasa. "Apa?"
Aku menatapnya tajam. "Menyentuhku seperti tadi."
Dia mengangkat alis, lalu dengan enteng menjawab, "Aku hanya membantu. Jangan pikirkan yang aneh-aneh."
Aku mendengus, lalu bangkit dari tempat tidur. "Ya, ya. Lupakan saja. Aku mau pakai bajuku lagi."
Tanpa menunggu jawaban, aku langsung membelakangi Arsen dan merapikan kemejaku dengan cepat. Aku masih bisa merasakan jantungku berdebar tidak normal, tapi aku segera menepis semua itu.
Ini bukan apa-apa. Aku hanya lelah.
Ya, hanya itu.
Aku sudah hampir selesai merapikan kemejaku ketika suara Arsen terdengar, begitu pelan dan lembut hingga nyaris tertelan oleh suara napas Nathan yang mulai tenang.
"Terima kasih."
Aku mendongak, sedikit terkejut. Sejak pertama kali bertemu, aku belum pernah mendengar nada selembut itu dari pria ini. Aku menatapnya sekilas, lalu pura-pura cuek.
"Hanya kali ini saja. Jangan berpikir aku akan terus melakukan ini."
Arsen tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Nathan dengan ekspresi yang sulit aku baca, seakan ada banyak hal yang ingin dia katakan tapi enggan untuk diucapkan.
"Aku butuh bantuanmu," akhirnya dia bersuara lagi, kali ini lebih pelan. "Jika anakku terus seperti ini, aku gak tahu harus bagaimana."
Aku menghela napas, sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. "Arsen—"
"Aku akan tetap jadi sponsormu."
Aku menutup mulut, mengerjap menatapnya.
Dia melanjutkan, "Aku tahu ini permintaan yang tidak masuk akal, tapi… aku tidak punya pilihan lain."
Aku menggigit bibir, hatiku terasa tidak nyaman. Menyusui Nathan sekali dua kali mungkin masih bisa aku anggap sebagai kejadian di luar nalar yang bisa aku lupakan. Tapi kalau ini terus-menerus?
Aku bukan ibunya. Aku bahkan bukan siapa-siapa.
Aku menarik napas dalam, lalu menatapnya serius. "Kalau begitu, aku juga punya syarat."
Arsen akhirnya mengangkat wajah, menatapku lurus.
"Beritahu aku," ucapku pelan. "Ke mana ibunya?"
Arsen tidak langsung menjawab. Aku bisa melihat otot rahangnya mengeras, pertanda bahwa pertanyaanku bukan sesuatu yang ingin dia bahas.
Tapi aku tidak peduli. Aku merasa tidak enak jika harus terus-menerus menyusui anak orang lain tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Aku tidak bisa memberi jawaban jika kau terus diam," desakku.
Arsen mengembuskan napas panjang, lalu akhirnya menatapku dengan mata yang entah kenapa terlihat lebih kelam dari sebelumnya.
"Ibunya sudah tidak ada."
Arsen menatap ke arah jendela, matanya terlihat kosong. Suaranya terdengar lebih pelan ketika dia akhirnya berbicara lagi.
"Ibunya pergi meninggalkan kami," katanya datar. "Dengan pria lain."
Aku membelalakkan mata. Tanpa sadar, aku menutup mulutku dengan tangan, seakan berusaha menahan reaksi berlebihan.
Jadi… dia diselingkuhi?
Dan anak ini…
Aku menunduk, menatap Nathan yang masih menyedot dotnya dengan tenang. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggalkan seperti itu, apalagi dengan seorang bayi yang masih sangat kecil.
Kasihan sekali.
Aku menggigit bibir, perasaan tidak nyaman mulai merayap di dadaku. Aku tidak pernah menyangka bahwa pria seperti Arsen—yang dari luar terlihat begitu kuat dan dingin—ternyata menyimpan luka seperti ini.
"Kapan?" tanyaku pelan, ragu apakah aku harus menanyakannya atau tidak.
Arsen menghela napas panjang sebelum menjawab, "Sejak Nathan baru lahir."
Aku semakin terkejut. "Baru lahir?" ulangku tanpa sadar.
Dia mengangguk, menatap bayinya dengan ekspresi yang sulit aku baca. "Dia bahkan tidak sempat melihat wajah anaknya."
Aku menunduk lagi, menatap Nathan lebih lama. Sekarang, aku mengerti kenapa Arsen terlihat begitu protektif terhadap anak ini. Tidak hanya kehilangan ibu, Nathan juga harus tumbuh dengan ayah yang mungkin masih berusaha memahami perannya sendiri.
Dan aku…
Aku mengusap wajahku, bingung kenapa aku merasa semakin terlibat dalam masalah mereka. Seharusnya ini bukan urusanku. Seharusnya aku tidak perlu peduli.
Tapi, kenapa rasanya sesak di dada?
.
.
.
Next 👉🏻