Seorang polisi harus menikahi putri dari jendral yang menjadikannya ajudan. Dengan kejadian tak terduga dan tanpa ia ketahui siapa orang yang telah menjebak dirinya.
"Ini semua pasti kerjaan kamu 'kan? Kamu sengaja melakukan hal ini padaku!" Sentak Khanza saat menyadari dirinya telah tidur dengan ajudan yang diberikan oleh Papanya.
"Mbak, saya benar-benar tidak tahu. Saya tidak ingat apapun," jelas Yusuf, polisi yang ditunjuk sebagai ajudan untuk putri jenderal bintang dua itu.
Jangan ditanya bagaimana takutnya Pria itu saat menyadari, bahwa ia telah menodai anak dari jenderal bintang dua itu.
Siapakah Jendral bintang dua itu? Kalau sudah pernah mampir di karya aku yang berjudul, (Dokter tampan itu ayah anakku) pasti tahu dong😉 Yuk kepoin kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan-jalan
Aku turun dari ranjang segera masuk ke kamar mandi, kujalani ibadah wajib dua rakaat. Selesai sholat aku melihat Mas Yusuf sudah bersiap untuk pergi. Wajah Pria itu masih tampak datar.
"Dek, saya pulang dulu ya. Jika kamu butuh sesuatu kabari saya."
Aku hanya mengangguk dan menyalami tangannya, dia hanya membalas mengusap kepalaku lalu keluar dari kamar. Padahal ini masih terlalu pagi tapi kenapa dia ingin cepat-cepat pergi. Tidak ada pembahasan tentang kejadian tadi. Apakah dia begitu kecewa dan marah kepadaku?
Setelah menyimpan peralatan ibadah. Aku duduk di sofa, sekelabat kejadian beberapa menit yang lalu masih memenuhi otakku. Kenapa Mas Yusuf ingin melakukan hal itu padaku? Apakah ada perasaan dihatinya untukku? Jujur aku tak ingin munafik, aku menikmati sentuhan darinya. Tanpa sadar aku meraba bibirku membayangkan bagaimana Mas Yusuf memagutnya.
Nafasku terasa sesak, hatiku kembali bergemuruh, Sentuhan itu begitu lembut tidak seperti sentuhan yang pernah dia lakukan saat dia dalam pengaruh obat.
"Ya ampun, kenapa aku memikirkan hal itu? Ah, aku benci sekali dengan perasaan ini yang begitu mudah terlena." Aku bergumam sendiri sembari memukul keningku dengan pelan, menyebalkan sekali.
Seperti biasanya, aku tetap fokus dengan pekerjaanku, sebagai istri kedua aku tidak lagi banyak berharap, aku berusaha untuk ikhlas menjalani takdir hidupku.
Sudah satu minggu berlalu, Mas Yusuf mulai bisa mengatur waktu agar dia tetap adil pada kedua istrinya, aku tidak tahu apakah dia sudah memberitahukan hubungan kami pada Mbak Tiara, karena Mas Yusuf tidak pernah lagi membahasnya.
Ya, sejak kejadian pagi itu hingga sekarang sikapnya masih dingin dan kaku. Aku tidak tahu harus berbuat apa, bahkan Mas Yusuf sengaja tidur di sofa dia sengaja menghindari untuk tidur seranjang denganku.
Pagi ini aku bangun lebih siang karena ini hari libur, maka setelah sholat subuh aku kembali tidur. Saat aku membuka mata, sebuah senyuman telah menyambut pagiku. Senyum yang sudah beberapa hari ini hilang dari pandanganku.
"Mas Yusuf! Kok tumben pagi-pagi sekali sudah disini Mas?" tanyaku sembari menegakkan tubuhku dan beringsut bersandar di kepala ranjang.
"Kenapa? Apakah saya tidak boleh datang terlalu pagi?"
"Ah, bu-bukan Mas. Cuma heran saja, kan tidak pernah begitu."
"Ya karena ini hari libur, maka saya mempunyai waktu untuk kamu. Saya ingin membawa kamu jalan-jalan, apakah kamu mau?" tanyanya yang membuat aku tidak percaya
"Hei, kenapa bengong? Tidak mau ya?"
"Ah, bu-bukan, ya aku mau." Aku membalas dengan anggukan cepat dan senyuman, karena ini adalah hal yang langka. Aku juga ingin refreshing agar otakku segar.
"Yasudah, ayo mandi, saya tunggu dibawah ya," ujar Mas Yusuf, kembali tersungging senyum di bibir tipisnya. Aku hanya mengangguk dan segera beranjak menuju kamar mandi.
Setelah selesai bersiap, aku segera turun kebawah untuk menemui Mas Yusuf, dia sedang ngobrol dengan Papa dan Bunda. Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka begitu serius.
"Sudah siap, Dek?" tanya Mas Yusuf saat melihat aku sudah berada dihadapannya.
Aku mengangguk. "Pa, Bun, aku dan Mas Yusuf minta izin untuk jalan-jalan sebentar ya, kami akan menjaga sikap," ujarku meminta izin kepada kedua orangtuaku
"Pergilah, Yusuf sudah meminta izin. Berhati-hatilah amati sekeliling. Jangan lupa gunakan masker. Ujar Papa memberi pesan.
Aku dan Mas Yusuf mengangguk patuh. Kami menyalami tangan Papa dan Bunda dengan takzim, saat tiba diluar, Mas Yusuf membukakan pintu mobil untukku dia sempat bertegur sapa dengan ADC yang lainnya sebelum masuk dan duduk di bangku kemudi. Mungkin mereka tidak menaruh curiga karena mereka tahu Mas Yusuf masih menjadi ajudan Papa.
Kini mobil melaju dengan kecepatan sedang, Mas Yusuf mengarahkan mobil masuk kedalam sebuah pencucian. "Tunggu disini ya Dek, saya ambil mobil." Dia segera keluar dan masuk kedalam pencucian, tak berselang lama sebuah mobil berhenti di samping pintu tempat aku duduk.
"Dek, ayo pindah." Ternyata itu mobil Mas Yusuf, aku segera turun dan pindah ke mobil yang dikemudinya. Sementara itu mobil Papa dimasukkan oleh petugas pencucian untuk di doorsmeer.
"Kok ditukar mobilnya Mas?" tanyaku sedikit heran.
"Biar aman Dek. Nggak pa-pa 'kan pake mobil ini? Memang nggak semewah mobil Papa."
"Ish, kok gitu ngomongnya Mas? Siapa juga yang merasa keberatan. Aku cuma mau tanya apa alasannya," ujarku sedikit kesal dengan sikapnya yang selalu saja merasa rendah. Padahal aku tidak pernah memandangnya seperti itu.
"Hehe... Bercanda Dek, bumil sensi amad." Dia mengusap kepalaku dengan lembut, sesaat tatapan kami bertemu. Sampai saat ini aku tidak tahu apa arti dari tatapannya.
Kini mobil sudah melaju keluar dari kota Padang. Aku belum tahu dia mau mengajak aku kemana. Aku hanya mengamati jalanan yang ditempuh.
"Mas, kita mau kemana?" tanyaku ingin memastikan.
"Kita ke pesisir Selatan ya? Mau naik ke puncak bukit Langkisau nggak?"
"Emang berani naik ke atas? Aman nggak?" Tanyaku yang ingin memastikan karena tanjakannya begitu curam, jika kondisi mobil tidak prima maka bisa berbahaya.
"Insyaallah aman, Dek."
"Hmm, baiklah. Aku juga sudah lama tidak melihat olahraga para layang." Aku menyetujui ajakan mas Yusuf untuk naik keatas bukit Langkisau.
Dari kota Padang ke tempat tujuan wisata kami, yaitu memakan waktu satu setengah jam perjalanan. Selama perjalanan kami masih terasa kaku, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang meskipun jantungku tetap berdebar bila bersamanya.
Jujur aku tidak pernah merasakan hal seperti ini saat dekat dengan Pria manapun. Namun, pesona ayah dari anakku ini membuat jantungku bekerja lebih ekstra.
"Dek, mau beli sesuatu nggak? Nanti untuk ngemil dipuncak," ujarnya memecah keheningan.
"Hmm, boleh, nanti mampir di minimarket ya Mas."
"Okey. Kapan mengundurkan diri dari RS Dek?" tanyanya yang melenceng dari pembahasan.
"Tunggu dapat Dokter pengganti, Mas. Lagi proses, mungkin Akhir bulan ini Dokternya sudah mulai tugas, dan aku segera resign."
Dia hanya mengangguk tak lagi bertanya. Setelah menempuh perjalanan waktu yang cukup panjang, akhirnya kami sampai di puncak bukit.
Setelah memarkirkan kendaraan, Mas Yusuf masih seperti biasanya tidak mengizinkan aku turun sebelum dia memeriksa keadaan sekitar. Setelah merasa cukup aman, maka dia segera membukakan pintu untukku.
Saat aku turun dan menapaki kaki, aku segera disuguhkan keindahan pemandangan. Tampak jelas keindahan kota Painan, yaitu kampung halaman Bundaku, terlihat angke pulau hingga jalan raya, begitu juga lautan lepas mengelilingi kota itu. Walaupun langit sedikit mendung tetapi tidak mengurangi keindahannya.
"Ayo Dek, kita duduk disana." Mas Yusuf membawaku duduk di sebuah pelataran yang menghadap ke laut lepas, bisa kami nikmati pemandangannya dari ketinggian.
Bersambung....
Happy reading 🥰