Marissa Lebrina, gadis manis berasal dari satu kota kecil di Bandung. orangtuanya PNS di kota itu. Kehidupan mereka tidak bisa dikatakan miskin juga. Karena untuk ukuran kota kecil, PNS sudah dianggap baik dalam penghasilan.
Icha nama kecilnya. Setelah lulus SMA, Icha berencana untuk melanjutkan kuliahnya di Jakarta. Bukan tanpa alasan dia memilih kota metropolitan itu. Ada rasa yang harus dia lupakan. Ya, perasaan yang berbeda pada salah satu gurunya di sekolah. Dia harus pergi jauh agar melupakan sosok guru dingin nan tampan itu. Marco Guatalla. Lelaki tampan dengan sejuta pesona yang sudah membuat hari-hari Icha berantakan.
Namun, semua tidak sesuai dengan harapan Icha. Justru Icha harus bertemu dengan Marco di Jakarta. Apakah Icha bisa menata hatinya kembali? Padahal Icha sudah bertekad cukup menyimpan rasa itu dalam hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Richie Hirepadja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menepi sejenak
Raymond menarik napas berat setelah membantu Icha mengobati jari tangannya yang terluka akibat memungut pecahan beling. Cukup banyak luka kecil dan satu luka sobek yang lumayan besar. Raymond mengajaknya ke klinik perusahaan yang berada di salah satu ruangan di gedung besar ini, tetapi Icha menolak. Cukup membersihkan dengan air mengalir dan memberi obat tetes merah lalu diperban, lukanya akan sembuh. Icha hanya tidak ingin menjadi perhatian karyawan lain.
Icha bahkan melupakan bagaimana rasa sakit ketika tangannya terkena beling gelas. Obat tetes merah yang mewarnai luka-luka itu pun tidak terasa. Hatinya lebih sakit ketika membayangkan ia harus melepaskan cintanya. Ya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Bertahan atau melepaskan. Namun, kecil kemungkinan untuk bertahan ketika ia mengingat lagi ciuman Marco dan Valencia. Ditambah lagi perkataan perempuan itu tentang rencana mereka untuk menikah.
"Apa yang terjadi? Sampai kamu harus memungut sampah yang nggak berguna itu?" Tanya Raymond kesal. Icha tersadar sesaat setelah mendengar pertanyaan itu. Matanya sudah penuh menampung air yang siap ditumpahkan. Jika ia pejamkan mata sedikit saja, sudah dipastikan airmata akan luruh.
"Ray, aku boleh pulang?" Icha balik bertanya. Tanpa bisa ditahan, luruh juga airmatanya. Ia melihat wajah Raymond untuk mendapatkan izin. Sebenarnya Raymond tidak mempunyai hak untuk mengizinkan Icha, tetapi tidak mungkin bagi Icha untuk bertemu Marco saat ini. Ia hanya ingin menyendiri, agar bisa menangis sepuasnya, menumpahkan semua beban di hati.
Raymond menunduk. Ia pun sedih melihat keadaan Icha. Walau pun sebenarnya ia belum mengetahui apa yang terjadi, Namun ia sudah bisa membayangkan sesuatu sampai membuat Icha sedih seperti ini.
"Iya, lebih baik kamu pulang. Aku yang akan bertanggung jawab pada Tuan Marco." sahut Raymond memberi izin. Icha mengambil tas dan keluar dari ruangan kerjanya. Ia ingin cepat pulang agar tidak bertemu Marco terlebih dahulu. Biarkan mereka instrospeksi diri masing-masing.
"Makasih, Ray." Ucap Icha terisak ketika mereka sudah di depan ruangan kerja Icha. "Makasih banyak. Aku pulang." lanjutnya. Raymond menepuk bahu Icha, memberi kekuatan. Icha segera membalikkan badan dan berjalan menuju lift. Ia cepat-cepat menghapus airmatanya. Takut dilihat karyawan lain.
Sampai di depan lobi kantor, Icha kaget karena pak sopir yang pernah mengantarnya ke kafe Our Coffee sudah menunggu.
"Mari, bu... bapak antar." Ucap pak sopir sopan sambil membuka pintu mobil.
"Nggak usah, pak... saya naik taxi aja." Tolak Icha tak kalah sopan.
"Jangan, bu... bapak sudah diperintah tuan Raymond untuk mengantarkan ibu pulang." Jelas pak sopir. "Mari, bu."
Icha pun masuk ke dalam mobil diikuti pak sopir.
"Ke mana, bu?" tanya pak sopir sambil menjalankan mobil keluar dari halaman perusahaan. Icha memberitahukan alamatnya. Tidak terlalu jauh, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit.
"Jangan panggil saya ibu, pak... panggil aja Icha." Pinta Icha pada pak sopir. Ia merasa masih terlalu muda untuk dipanggil ibu. "Mungkin saya seumuran anak bapa." Lanjut Icha tersenyum. Pak Sopir melihatnya dari spion depan.
"hahaha... iya, neng. Kalo gitu bapa panggil neng aja, boleh?" tanya pak sopir. "kebetulan anak bapa di rumah juga dipanggil neng." Tambahnya lagi.
"Boleh, pak.. " Jawab Icha sopan.
Setelah sampai, Icha mengucapkan terimakasih dan segera masuk ke dalam kostnya. Ia mengunci pintu dari dalam dan langsung luruh ke lantai. Ia menangis sejadi-jadinya. Semua kejadian menyakitkan tadi melintas di otak. Bagaimana Marco mencium Valencia. Untungnya Icha cepat masuk ruangan Marco, mungkin kalau tidak, bisa saja mereka melakukan lebih dari ciuman.
Ringtone hp Icha berbunyi. Tertulis nama 'sayang' di sana. Icha semakin terisak. Ia menjauhkan hp itu dan menutup telinganya.
Setelah puas menangis, ia melihat jam di handphone. Pukul 12 siang. Waktunya makan siang. Namun karena Icha takut Marco menyusulnya sedangkan ia masih belum mau bertemu laki-laki itu, maka gadis manis itu segera mengambil koper di atas lemari dan mengisi beberapa pakaian, beberapa barang di meja rias dan barang di kamar mandi. Icha mengganti pakaian kantor dengan celana panjang jeans dan baju kaos, memakai sepatu rata dan tas samping. Ia segera mendorong koper ke luar kamar kos, mengunci pintu, dan memesan taxi online. Menunggu kira-kira 10 menit, taxi pesanannya datang.
"Ke mana, neng?" tanya sopir taxi.
"Stasiun gambir, kang." Jawab Icha dengan logat Sunda. Karena dari dialeknya Icha tahu sopir ini orang Bandung. Tidak ada perbincangan dalam perjalanan. Hening. Sang sopir pun tidak berani bertanya karena melihat raut wajah sendu Icha. Ditambah dengan mata yang sembab.
Sampai si stasiun, Icha segera membeli tiket Jakarta-Bandung. Satu jam lagi jadwal kereta. Tidak terlalu lama, pikir Icha. Ia mencari warung nasi di dekat stasiun. Terlalu menangis membuat energinya habis. Ia membutuh energi baru.
Ayam lalapan jadi menu makan siangnya. Baru beberapa suap, perut Icha sudah menolak. Dari tadi ia hanya memaksa makan supaya tidak jatuh sakit. Tetapi ternyata napsu makannya benar-benar hilang. Ia meminta pelayan membungkus sisa makanannya untuk dimakan dalam perjalanan nanti.
Sementara itu Marco uring-uringan setelah mendengar dari Raymond bahwa Icha meminta izin untuk pulang. Raymond pun meminta maaf karena sudah lancang mengizinkan. Asisten itu juga mengatakan alasan kenapa Icha harus kembali. Marco duduk terdiam di ruang kerja Icha. Bukannya ia tidak mau menemui Icha tadi, tetapi ia ingin memberi ruang pada Icha untuk menenangkan diri. setelah itu Marco akan menjelaskan semua dengan jujur.
Ketika Raymond hendak pamit kembali ke ruangannya, Marco memanggilnya.
"Ray... "Panggil Marco datar. Raymond berbalik tanpa suara. "Semuanya terjadi begitu cepat. Percayalah, aku tidak mungkin mengkhianati Marissa. Aku sangat mencintainya." Tutur Marco menunduk, menatap lantai. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri.
"Seharusnya dari awal anda jujur soal nona Valencia agar Marisa tidak terluka seperti sekarang ini. Tetapi, semua sudah terjadi. Marissa terlihat sangat kecewa pada anda." Ketus Raymond datar. Marco menganggukkan kepala. Ia menyadari bahwa ia telah menggoreskan luka di hati gadisnya.
"Aku akan ke kostan Icha." Marco berdiri dan kembali ke ruangannya untuk mengambil jas dan tas. Ia melirik sebentar ke jam tangannya. Sudah pukul 17.15 menit. Semua karyawan sudah pulang 15 menit yang lalu. Masih ada beberapa karyawan yang mungkin masih harus menyelesaikan tugas mereka.
Ia segera memasuki mobilnya dan menuju kostan Icha yang tidak terlalu jauh dari perusahaan. Rasa bersalah pada gadis yang dicintainya begitu dalam. Ia berharap Icha mau mendengarkan penjelasannya dan percaya padanya.
tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu terdengar. Tak berapa lama, pintu terbuka.
"Tuan... " Wulan tercengang melihat Marco berdiri di depannya dengan tatapan datar. Wajah Wulan nampak sembab.
"Selamat sore... Saya ingin bertemu Marissa." Ujar Marco berharap Icha mau menemuinya. Wulan tertunduk sedih. Ia tidak menjawab Marco. Ia masuk ke dalam kamar kost untuk mengambil handphone.
"Maaf, tuan... Marissa sudah kembali ke kotanya." ucap Wulan sambil memberikan chat what's up Icha untuknya.
Wulan... aku kembali ke kota x, ya. Hanya sementara kok. Aku hanya ingin menenangkan diri dulu. Kalau Pak Marco datang mencariku, katakan padanya aku ingin sendiri dulu. Biarkan dia menyelesaikan masa lalunya terlebih dahulu.
Marco terduduk lemas. Ia harus bisa menahan diri untuk tidak menemui Icha.
Ya, Tuhan... apakah aku sanggup untuk tidak bertemu dan melihatnya selama berhari-hari? Pekik Marco dalam hati.
Marco menarik napas berat. Ia mengembalikan handphone Wulan.
"Terimakasih... Maaf, sudah menyakiti sahabatmu." Marco meremas rambutnya frustasi. Wulan melihat Marco yang nampak kusut.
"Sebenarnya ada apa, tuan?" Tanya Wulan pelan. Marco melihatnya sekilas. Lalu, ia menceritakan semua yang terjadi tanpa terlewatkan. Ia pun menceritakan hubungannya dengan Valencia.
"Saya sangat mencintainya. Saya sangat mencintai sahabat kamu. Saya berharap Marissa mau mendengarkan penjelasan saya." Seloroh Marco putus asa. Wulan bisa melihat dan merasakan tulusnya cinta Marco pada Icha.
"Icha juga sangat mencintai anda, tuan." Imbuh Wulan. "Percayalah, Icha gadis yang berpikiran dewasa dan sangat positif. Mungkin dia shock melihat anda dan nona Valencia ber-cium-an." sambungnya ragu-ragu menyebut kata berciuman. Marco tertawa kecil kesal mendengar kata berciuman.
"Tidak. Bukan berciuman. Valencia yang tiba-tiba menciumku." Sanggah Marco cepat. "Tunggu.... siapa kamu bilang tadi?" sambung Marco sedikit asing mendengar nama yang disebut Wulan. Wulan tersadar dan menutup mulutnya. Ia lupa kalau tidak ada yang mengetahui nama Icha selain ia dan Arin.
"Icha... itu nama panggilan Marissa, tuan." Sahut Wula tersenyum.
"Ooooh... Icha."
Marco menyebut ulang nama kekasihnya dengan senyum penuh makna.
sehat slalu....🤲🤲🤲 up yg banyak...🙏👍👍