Mutia Arini seorang ibu dengan satu putra tampan dan juga pengusaha bakery wanita tersukses. Kue premium buatannya telah membuat dirinya menjadi seorang pebisnis handal. Banyak cabang telah dibukanya di berbagai kota besar. Pelanggannya adalah golongan menengah ke atas. Di balik kesuksesannya ternyata ada sebuah rahasia besar yang disimpannya. Karena kejadian satu malam yang pernah dilaluinya, mengubah semua arah kehidupan yang dicitakan oleh seorang Mutia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moena Elsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
"Karena kau sudah datang Dena, aku tak istirahat bentar ya. Tolong jagain Langit. Kurang tidur aku semalem" ucap Mutia sambil membaringkan badannya di sofa samping tempat tidur yang ditempati Langit.
"Oke Kak. Kakak sudah makan belum? Tak pesan online aja ya" usul Dena. Mutia malah sudah terlelap, sebelum Dena menyelesaikan ucapannya.
"Nunggu kak Mutia bangun aja kalau gitu pesen makannya" gumam Dena dan duduk dekat pembaringan Langit.
Hanya terdengar suara detikan jam di ruang rawat itu, hening sekali. Lama kelamaan Dena juga terserang rasa kantuk.
Mutia dan Dena terkaget dan terjaga dari tidurnya, karena Langit meracau kembali dalam tidurnya. Mutia dengan sigap memeriksa kening Langit, "Panas lagi" gumamnya.
"Kak, panas lagi ya. Pipi Langit merah sekali?" tanya Dena. Mutia terdiam. Seperti di rumah tadi Langit terus meracau menyebut kata papa. Dena yang baru mengetahui hal itu kembali menatap Mutia seakan butuh penjelasan.
Mutia mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti arti tatapan Dena.
"Kak...." panggil Dena sambil menatap Langit.
"Dari semalam juga begitu Dena. Aku juga nggak tau musti ngapain" jawab Mutia.
"Kak, apa nggak sebaiknya kakak mulai menelusuri jejak laki-laki itu" usul Dena.
"Nggak akan Dena, apa aku harus mencari sosok laki-laki bej4t yang tega memperkos4ku?" tatap tajam Mutia ke arah Dena. Kali ini Dena nggak bisa memaksa Mutia. Masih ada luka di sinar mata Mutia saat mengungkapkan hal itu.
"Baiklah kak, aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi demi Langit, bukalah hatimu kak. Langit juga perlu sosok seorang papa" tukas Dena.
"Akan kupikirkan. Asal jangan dengan laki-laki itu" ucap Mutia lugas dan tegas. Dena terdiam.
Langit terus meracau meski sudah diberi obat penurun panas. "Bagaimana ini kak?" Dena kalut. Mutia memberikan kompres di kening Langit.
"Apa nggak sebaiknya kakak minta tolong tuan Sebastian saja" usul Dena lagi.
"Untuk....????" sela Mutia.
"Biar Langit tenang kak" tukas Dena cepat.
"Aku nggak mau nyusahin orang lain Dena" tolak Mutia tegas.
"Kakak apa nggak kasihan sama Langit?" mohon Dena. "Kali ini aja kak, turunin egonya kakak" lanjut Dena.
"Plisssss" Dena menangkupkan kedua tangannya di depan Dena tanda tak alasan yang akan diucapkan Mutia.
Mutia yang bimbang, akhirnya menyetujui usulan Dena. Dan mulai menghubungi ponsel Sebastian. Sebastian yang sedang berada di mansion tuan Baskoro tak mendengar nada dering ponselnya. Sebastian sedang bicara serius dengan tuan Baskoro di ruang kerja. "Tian, papa tadi sudah nyuruh Dewa untuk mengambil sampling rambut anak itu" ujar tuan Baskoro.
"Untuk apa Pah, bahkan dengan melihatnya saja papa pasti yakin kalau Langit itu sangat mirip denganku. Cukup aku saja yang bego. Yang tak menyadarinya waktu kali pertama bertemu" tukas Sebastian.
"Untuk meyakinkan papa" tegas tuan Baskoro. "Pah.." Sebastian tak setuju.
"Papa akan tetap meneruskannya walau tak ada persetujuan darimu" tuan Baskoro kekeuh dengan keputusannya.
"Kesalahanmu tak patut untuk dimaafkan Tian. Kau sudah merusak masa depan seorang wanita. Setelahnya kau bahkan tak berusaha untuk bertanggung jawab" tegas tuan Baskoro selanjutnya.
"Bukannya aku tak bertanggung jawab Pah, Aku sudah mencarinya kemana-mana, cuma aku kehilangan jejaknya" bela Sebastian.
"Banyak jalan menuju Roma Sebastian" potong tuan Baskoro. Tuan Baskoro menghela nafas, "Tapi nasi sudah menjadi bubur, benar tidaknya Langit itu putramu. Saatnya kau tanggung jawab" tandas tuan Baskoro.
"Untuk keluarga Supranoto biar papa yang bantu bereskan. Fokuslah ke pencarian wanita itu" perintah papa. Sebastian pun mau tak mau menuruti perintah papa-nya, meski sebelumnya Dewa sudah dia suruh untuk menyelidiki Mutia.
Mama Cathleen masuk ke ruang kerja menyusul kedua laki-laki yang sangat dicintainya itu.
"Tian, ponselmu bunyi terus sedari tadi. Waktu coba mama angkat, malah dimatiin" jelas mama Cathleen.
"Siapa Mah?" tanya Sebastian.
"Lihat aja sendiri" tutur mama Cathleen.
Sebastian menggeser kunci ponselnya. Mutia, batin Sebastian. Dia pun akhirnya mencoba menelpon balik Mutia.
Mutia yang sedang memegang ponsel, galau diterima atau tidak panggilan itu. Mutia galau karena sebelumnya saat mencoba menghubungi Sebastian, yang mengangkat adalah seorang wanita. Ponselnya terus berdering. "Kak, siapa sih. Angkatlah" celetuk Dena.
"Halo, iya Tuan" sapa Mutia setelah menggeser icon hijau di ponsel.
"Ada apa Mutia? Maaf nggak dengar pas kamu nelpon tadi" jelas Sebastian. Nggak dengar apanya, pasti dia sengaja nyuruh wanita nya untuk mengangkat panggilanku. Gerutu Mutia dalam hati. "Mutia" panggil Sebastian.
"Nggak jadi Tian. Lagian Langit sudah mulai tenang sekarang. Sementara tadi Langit terus meracau seperti tadi pagi waktu di apartemen" jelas Mutia.
"Boleh video call, aku mau lihat keadaan Langit" pinta Sebastian.
"Tapi Langit sedang tidur sekarang" balas Mutia.
"Sebentar saja, aku nggak akan ganggu Langit tidur" mohon Sebastian. Mutia pun mengalihkan panggilannya ke video call sesuai permintaan Sebastian. Senyum Sebastian langsung merekah begitu melihat wajah Mutia, Mutia terburu-buru memutar arah ponselnya agar Sebastian bisa melihat Langit. Sesuai janjinya, Sebastian tidak bersuara saat video call berlangsung. Mutia mematikan panggilannya setelah dirasa cukup.
"Kak, kau hebat. Seorang CEO Blue Sky menurut denganmu" celetuk Dena mulai mengajak gurau.
"Apanya yang hebat, aku ngubungin dia kan juga karena usulmu" elak Mutia.
"Tapi kan kau bisa nolak usulku kak. Yang ada kau malah nurutin" goda Dena dan tertawa. Mutia cemberut mendengar gurauan Dena. Terus siapa wanita tadi yang mengangkat telpon Sebastian, Mutia penasaran tapi tak berani bilang ke Dena. Yang ada malah dirinya akan kena bullian Dena lagi.
Di tempat lain, tepatnya di mansion tuan Baskoro. "Gimana Pah, sudah lihat wajahnya kan?" tanya Sebastian. "Mirip denganmu Tian" seloroh mama Cathleen.
"Makanya Mah, aku tadi bilang papa nggak usah tes DNA" ucap Sebastian meyakinkan.
"Tetap perlu Tian. Itu semua nantinya diperlukan saat kau akan memberikan waris ke penerus-penerusmu. Harus ada bukti otentik dan legal kalau Langit memang benar-benar sebagai salah satu penerus keluarga kita" ucap mama Cathleen menyetujui ucapan suaminya.
"Lagian pengambilan sampling juga tidak menyakiti Langit kan" papa Baskoro menimpali.
"Terserah papa dan mama saja" Sebastian hendak pergi. "Mau kemana?" tanya mama Cathleen. "Pulang ke apartemen" tukas Sebastian beranjak dari duduknya.
Sebastian menghubungi Dewa saat sedang berada di mobil. "Wa, tolong pesenin makanan dan buah ya. Langsung kirim ke ruang VVIP kamar nomer enam kosong tiga rumah sakit dekat apartemenku" perintah Sebastian. "Siapa yang sakit?" tanya Dewa. Belum sempat mendapat jawaban, panggilan telah ditutup oleh Sebastian. "Sungguh terlalu" gerutu Dewa menirukan ucapan seorang penyanyi dangdut senior itu.
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
to be continued
jadi akhirnya ngga jadi Makan /Smile//Smile/