Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Bayangan di Gerbang Sekolah
Markas Tim IT Rahardian Group, Lantai 35.
Ruangan itu gelap, hanya diterangi cahaya biru dari puluhan monitor server. Adit berdiri di belakang kursi kepala tim IT Security-nya, Kevin, dengan tangan bersedekap. Wajahnya tegang.
"Dapat?" tanya Adit singkat.
Kevin mengetik serangkaian kode dengan cepat. "Sedikit lagi, Pak. Nomor yang kirim SMS ancaman itu memang nomor sekali pakai (burner phone). Tapi, bodohnya pelaku ini, dia mengaktifkan nomor itu di lokasi yang sama dengan lokasi login akun media sosial lamanya."
Layar besar di depan mereka menampilkan peta digital Jakarta. Sebuah titik merah berkedip.
"Kami melacak sinyal GPS ponsel itu saat SMS dikirim kemarin siang. Titiknya ada di Jalan Kelapa Gading Boulevard, tepat di seberang rumah kosong tempat Bu Nayla kena tipu," jelas Kevin.
"Lalu lintas data menunjukkan ponsel itu bergerak ke arah Jakarta Barat sore harinya, dan berhenti di sebuah kos-kosan kumuh di daerah Grogol."
Adit menatap titik lokasi itu. "Siapa penghuni kos itu?"
"Kami sudah cek silang data mantan karyawan. Alamat IP yang sering mengakses Wi-Fi publik di sekitar sana cocok dengan device fingerprint milik..." Kevin menekan tombol enter.
Sebuah foto muncul di layar. Foto ID Card karyawan lama.
VINA MELINDA.
Ex-Senior Staff Logistic.
"Sudah kuduga," desis Adit. Rahangnya mengeras. "Dia belum puas ternyata."
"Pak, ada satu lagi," tambah Kevin ragu-ragu. "Sinyal ponsel itu aktif lagi sepuluh menit yang lalu. Dan posisinya sekarang ada di..."
Kevin memperbesar peta. Titik merah itu berada di sebuah lokasi di Jakarta Timur.
TK Pertiwi.
Jantung Adit seakan berhenti berdetak.
"Itu sekolah Nando," bisik Adit ngeri. "Kevin, kirim tim keamanan terdekat ke sana sekarang! Hubungi Nayla! Suruh dia jangan biarkan Nando sendirian!"
Adit berlari keluar ruangan IT secepat kilat, meninggalkan Kevin yang buru-buru menekan tombol darurat.
Gerbang TK Pertiwi, Jakarta Timur.
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Anak-anak TK berhamburan keluar dengan seragam warna-warni mereka, disambut oleh orang tua atau jemputan masing-masing.
Nayla terlambat sepuluh menit. Motor beat-nya mogok di tengah jalan, memaksanya berlari kecil menuju sekolah setelah menitipkan motor di bengkel. Napasnya memburu. Perasaannya tidak enak sejak tadi pagi.
Di dekat gerbang sekolah, Nando berdiri sendirian sambil memegang tas ransel robotnya. Ia celingukan mencari ibunya.
"Halo, Nando."
Sebuah suara wanita menyapanya. Nando mendongak. Di depannya berdiri seorang wanita cantik memakai kacamata hitam besar dan topi lebar. Bibirnya dipoles lipstik merah menyala.
"Tante siapa?" tanya Nando polos.
Vina tersenyum di balik kacamata hitamnya. Senyum yang tidak sampai ke mata. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan Nando.
"Tante temennya Om Adit. Om Kue Cokelat. Inget kan?"
Mata Nando berbinar mendengar nama itu. "Inget! Tante disuruh Om Adit jemput Nando?"
"Pinter," puji Vina, tangannya terulur mengelus pipi Nando. Dingin. "Om Adit lagi sibuk kerja, jadi Tante yang disuruh ajak Nando jalan-jalan beli es krim. Mau ikut?"
Nando ragu. Ibunya selalu berpesan jangan ikut orang asing. Tapi Tante ini tahu nama Om Adit.
"Tapi Ibu belum dateng..."
"Ibu kamu lagi sama Om Adit kok. Mereka nunggu di mobil sana," Vina menunjuk sembarang arah ke sebuah mobil sedan merah di ujung jalan. "Ayo, nanti keburu es krimnya leleh."
Vina meraih tangan mungil Nando, menggenggamnya sedikit terlalu keras. Nando meringis.
"Sakit, Tante..."
"Diem! Ayo cepet jalan!" desis Vina, kesabarannya habis. Ia menarik paksa Nando.
"NANDOOO!!"
Sebuah teriakan histeris terdengar dari arah gerbang. Nayla berlari sekuat tenaga, wajahnya pucat pasi melihat anaknya ditarik orang asing.
Vina menoleh. Ia melihat Nayla berlari mendekat. Dan di kejauhan, ia mendengar sirine mobil patroli (yang dikirim Adit) mendekat.
"Sial!" umpat Vina. Waktunya habis. Ia tidak sempat membawa Nando.
Vina melepaskan tangan Nando dengan kasar, lalu menyelipkan sebuah amplop hitam ke saku baju seragam Nando.
"Kasih ini ke Ibumu. Bilang, permainan baru dimulai," bisik Vina di telinga Nando.
Vina bangkit, berlari menuju mobil sedan merahnya, masuk, dan tancap gas tepat saat Nayla sampai di tempat Nando berdiri.
"Nando!" Nayla langsung memeluk anaknya, memeriksa seluruh tubuhnya. "Kamu nggak apa-apa, Nak? Ada yang luka? Siapa tadi? Dia ngapain kamu?"
Nando menangis kaget karena ibunya panik. "Tante itu jahat, Bu... Tangan Nando sakit... Dia bilang temen Om Adit..."
Darah Nayla mendidih. Teman Om Adit?
Mobil sedan merah itu sudah menghilang di tikungan, meninggalkan debu. Beberapa detik kemudian, sebuah mobil Fortuner hitam dengan logo sekuriti Rahardian Group berhenti mendadak. Dua orang berbadan tegap turun.
"Bu Nayla! Kami tim keamanan Pak Adit. Ibu dan Nando aman?" tanya salah satu sekuriti dengan napas ngos-ngosan.
Nayla menatap mereka bingung, lalu menatap Nando yang masih sesenggukan. Tiba-tiba, Nando merogoh saku bajunya.
"Bu, tadi Tante jahat kasih ini..."
Nando menyerahkan amplop hitam itu.
Dengan tangan gemetar, Nayla membuka amplop itu. Di dalamnya ada selembar foto.
Foto Nayla dan Nando yang diambil diam-diam dari kejauhan saat mereka sedang tidur di teras rumah.
Di balik foto itu, ada tulisan spidol merah yang seolah ditulis dengan amarah:
"CINDERELA NGGAK PANTES PUNYA PANGERAN. KALAU LO NGGAK MUNDUR, ANAK LO YANG MAJU."
Nayla menutup mulutnya, menahan jeritan. Tubuhnya merosot lemas ke aspal. Teror ini bukan lagi soal uang atau harga diri. Ini soal nyawa anaknya.
Ponsel Nayla berbunyi. Panggilan video dari Adit. Nayla mengangkatnya dengan tangan gemetar.
Wajah Adit muncul di layar, terlihat sangat panik. "Nay! Kamu di mana?! Nando aman?!"
"Mas..." suara Nayla pecah, air matanya tumpah ruah. "Dia nemuin Nando... Dia mau culik Nando, Mas..."
"Ya Tuhan..." Wajah Adit memucat. "Dengerin saya, Nay. Jangan ke mana-mana. Tim saya di sana akan jaga kamu. Saya meluncur ke sana sekarang. Kita akhiri ini hari ini juga."
"Aku takut, Mas... Aku takut..."
"Saya tau. Saya janji, Nay. Mulai hari ini, nggak akan ada satu orang pun yang bisa nyentuh kalian berdua. Sekalipun saya harus bakar seluruh Jakarta buat nemuin Vina."
Sambungan terputus.
Nayla memeluk Nando erat-erat, seolah ingin menyembunyikan anaknya ke dalam rusuknya kembali. Di tengah terik matahari siang, Nayla merasa kedinginan. Ia sadar, ia tidak bisa lagi menghadapi ini sendirian. Ia butuh Adit. Bukan karena uangnya, tapi karena hanya Adit yang punya kekuatan untuk melawan monster bernama Vina.
...****************...
Bersambung....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️